16 Juni 1948 dalam Sejarah
Hari Ini 72 Tahun Lalu, Ketika Soekarno Menolak Jamuan Makan Malam Saudagar di Hotel Atjeh
Adegan jamuan makan malam itu salah satu bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Nur Nihayati
Adegan jamuan makan malam itu salah satu bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang.
Laporan Fikar W Eda | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Hari ini, 72 tahun lalu, atau tanggal 16 Juni 1948, sebuah sejarah besar tentang keberadaan Bangsa Indonesia terjadi di Banda Aceh, tepatnya di Hotel Atjeh.
Pada hari itu, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menghadiri undangan jamuan makan malam yang diselenggarakan Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida), di Hotel Atjeh yang berada di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Namun, dalam pertemuan sebelum jamuan makan, Presiden Soekarno angkat bicara.
“Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul.”
Peserta pertemuan yang terdiri dari para saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik.
Lalu salah seorang dari mereka bangun.
Seorang pria muda, berusia sekitar 30 tahun.
Dia saudagar. Namanya M Djoened Joesof.
“Saya bersedia,” Djoened Joesof yang juga menjabat Ketua Gasida.
Selanjutnya menyusul kesediaan saudagar lainnya.
Alhasil malam itu terkumpul dana yang cukup besar.
Presiden Soekarno puas dan menyunggingkan senyum.
Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan.
Adegan jamuan makan malam itu salah satu bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang.
• Kisah Keluarga Miskin di Aceh Timur dengan Tiga Anak Didera Lumpuh Layu
• Korban Puting Beliung di Aceh Utara Sudah Sepekan Mengungsi, Begini Kondisinya
• Polisi Tangkap Bandar Sabu di Asrama Mahasiswa Aceh Selatan, Ini Barang Bukti yang Diamankan
Kehadiran Presiden Soekarno dan rombongan ke Aceh pada waktu itu dalam rangka mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang.
Penulis sejarah Tgk AK Jakobi mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya “Aceh Daerah Modal” (Yayasan Seulawah RI-001, 1992).
“Bung Karno mengharapkan malam itu dapat terkumpul sejumlah dana perjuangan untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan dalam tahap perjuangan kemerdekaan saat itu,” tulis AK Jakobi.
Penulis sejarah Aceh lainnya, H.Muhammad TWH dalam satu artikelnya (Tabloid Bersatu, 1999) mengutip buku ”Modal Perjuangan Kemerdekaan” yang ditulis TA Talsya, menyebutkan Presiden Soekarno dalam pertemuan itu menyampaikan pidato antara lain berbunyi;
“Harga satu pesawat Dakota hanya M$ 120.000. Saya belum mau makan sebelum mendapat jawaban ’ya’ atau ’tidak’,” kata Soekarno yang berhasil membakar semangat para saudagar itu.
Dalam pertemuan tatap muka Presiden Soekarno dengan tokoh-tokoh pejuang, tokoh masyarakat, pengusaha serta pemuda, di Hotel Atjeh itu, Bung Karno mencetuskan sebuah ide dan menantang jiwa patriotisme rakyat Aceh untuk meneruskan dan melestarikan perjuangan kemerdekaaan.
Presiden Soekarno tak hanya meminta dukungan moril, tapi juga materil.
“Melihat hasil dana yang masuk, Bung Karno dengan senyum berseri mulai mengajak hadirin beranjak ke meja makan,” tulis AK Jakobi lagi dalam ”Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemrdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, PT. Gramedia, 1998.”
Rapat Raksasa di Blangpadang
Presiden Soekarno dan rombongan tiba di Banda Aceh dengan dengan pesawat, mendarat di lapangan terbang Lhoknga, pada 16 Juni 1948.
Dalam rapat raksasa di Lapangan Blangpadang, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda.
Karena itu Aceh disebut ”Daerah Modal” yang berarti ”daerah untuk meneruskan cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah.”
(Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemrdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, PT. Gramedia, 1998)
Ketika Soekarno mengakhiri kunjungannya di Aceh pada 20 Juni 1948, dana yang terkumpul untuk pembelian pesawat itu berjumlah 120.000 dollar Singapura dan 20 Kg emas.
(Buku Sejarah Perjuangan Indonesian Airways, 1979, menyebut 130.000 Straits Dollar).
Dana tersebut dihimpun dari masyarakat Aceh oleh Panitia Dana Dakota (Dakota Fund) di Aceh yang dipimpin HM Djoened Joesoef dan Said Muhammad Alhabsji.
Adalah Opsir Udara II Wiweko Soepeno yang ditugasi membeli pesawat dari hasil sumbangan rakyat Aceh tersebut.
Selang tiga bulan kemudian, pesawat berhasil didapatkan, jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin di Hongkong.
Pesawat dengan kode VR-HEC itu mendarat di Maguwo Padang dan kemudian diregistrasi RI-001.
Adalah Presiden Soekarno sendiri yang memberi nama “Seulawah” pada pesawat tersebut.
Dana dan emas yang terkumpul cukup untuk membeli dua pesawat dakota.
Pesawat sumbangan Aceh inilah yang kelak menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia.
Hari ini, 72 tahun setelah peristiwa bersejarah itu terjadi, Hotel Atjeh tak lagi berbentuk.
Generasi Aceh saat ini hanya bisa membaca sejarah itu dari buku-buku dan catatan di internet.
Tak ada lagi catatan dan bukti fisik yang tersisa, atau foto-foto yang terpampang di dinding Hotel Atjeh.
Beberapa kali, Hotel Atjeh pernah ingin dibangun kembali sebagai pengingat sejarah, tapi beberapa kali pula rencana itu gagal dengan berbagai alasan.
Tapi, sejarah tetap tidak boleh terlupakan. Di sini, para Saudagar Aceh menjadi pilar utama yang memperkuat kemerdekaan Indonesia pada masa-masa awal dahulu. (Fikar W Eda)