Jurnalisme Warga
Menikmati Pesona Wisata Alam di ‘Kota Pedir’
Membahas Pidie akan selalu menyenangkan. Sebagai tanah kelahiran tokoh bersejarah, Hasan Muhammad di Tiro, banyak hal yang masih belum diketahui

OLEH IDA FITRI HANDAYANI, Guru SMA 4 Banda Aceh dan Anggota FAMe Chapter Pidie, melaporkan dari Sigli, Pidie
Membahas Pidie akan selalu menyenangkan. Sebagai tanah kelahiran tokoh bersejarah, Hasan Muhammad di Tiro, banyak hal yang masih belum diketahui publik tentang Pidie. Selain nilai budaya, daerah yang berjuluk “Kota Pedir” ini juga menyimpan bermacam peninggalan sejarah, bahkan menjadi warisan yang sampai hari ini masih bisa kita jumpai.
Salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Pidie adalah Padang Tiji. Kecamatan ini tentu tidak asing lagi bagi orang-orang yang sering melintasi jalan Medan-Banda Aceh. Tidak jarang jadi tempat persinggahan, untuk berhenti dari lelahnya perjalanan. Karena pasar induknya berada dekat jalan raya, jadi kita langsung tahu bahwa kita sudah sampai di Padang Tiji.
Pada tahun 1920 di Padang Tiji pernah ada jalur kereta api. Tidak banyak catatan yang membahas perihal sejarahnya, tapi bukti keberadaannya masih bisa dilihat hingga kini. Rel kereta api itu berada di Desa Pasar dan Desa Trieng, Kemukiman Paloh.
Berdasarkan catatan sejarah, jalur kereta api Aceh-Sumatera pertama kali beroperasi untuk rute Koetaradja-Ulee Lheue pada 1876, hanya untuk mobilisasi keperluan militer Belanda. Pada tahun 1882 dibukanya jalur Indrapuri-Lambaro, hingga disusul rute Koetaradja-Lamnyong, empat tahun kemudian baru difungsikan untuk transportasi umum.
Kita tinggalkan sejarah perkeretaapian ini dulu, karena saya ingin menggambarkan beberapa tempat indah yang akan sangat sayang jika melawat ke Padang Tiji tapi tidak kita kunjungi. So, jangan lupa dicoba guna menghilangkan kepenatan dengan wisata alam gratis. Ini dia dua di antaranya!
Lingkong Kuwieng
Lingkok Kuwieng, tempat ini dulunya masih sangat rahasia, tapi sekarang publik sudah banyak tang tahu lokasinya. Di sini terdapat sebuah sungai yang sangat indah, tepatnya di pedalaman hutan Hagu. Masyarakat sekitar sini menyebut nama lain untuk tempat ini adalah Uruek Meuh dan Angkop Kuwieng.
Untuk sampai ke tempat ini butuh waktu 2-3 jam dari Bendungan Rajui dan satu jam dari jalan Desa Pasar Padang Tiji menggunakan sepeda motor.
Untuk menuju ke tempat ini mungkin butuh kesabaran dan kekuatan ekstra, karena jalannya masih bebatuan, bahkan ada yang berlumpur. Lingkok Kuwieng merupakan fenomena alam yang disebabkan erosi oleh air pegunungan yang selalu mengalir dengan volume yang berubah-berubah.
Tempat wisata ini sering disebut hampir mirip dengan Grand Canyon. Jadi, tanpa harus pergi ke Benua Amerika, cukup ke Lingkok Kuwieng saja, kita bisa nikmati sensasi berlibur setara ke Grand Canyon yang eksotik. Dinding sungai di sini berbentuk bebatuan besar yang tersusun rapi menyerupai ngarai besar, seperti peninggalan situ-situs kuno.
Jika ke Lingkok Kuwieng, pengunjung akan disajikan fenomena alam yang sangat unik dan menawan. Selain bisa melihat sebuah sungai dengan airnya yang berwarna hijau, juga dilengkapi dengan tebing batu di sisi-sisinya. Kita juga bisa menikmati suasana alam yang indah dan udara yang sejuk juga pepohonan hijau.
Bagi pecinta alam tempat seperti ini mungkin akan selalu jadi incaran, selain minikmati pesona alam yang masih asli, Lingkok Kuwieng juga bisa dijadikan sebagai tempat camping. Dengan mendirikan tenda di atas tebing-tebing batu, tentu pengunjung bisa merasakan sensasi bermalam di tengah alam bebas dengan ditemani api unggun. Patut dicoba, tapi jangan sendirian, ajak kerabat atau tetangga.
Tuwi Jeureungèh
Tuwi Jeureungèh sekilas terlihat tempatnya hampir sama dengan Lingkok Kuwieng, mungkin yang membedakan jarak tempuh yang lebih mudah dijangkau, hanya 40 menit dari Bendungan Rajui.
Tuwi Jeureungèh artinya genangan air yang jernih. Sesampai di lokasi kita akan lihat genangan air yang di sisinya ada batu-batu besar, tapi saat hujan lebat sering membuat air di sana tak sejernih biasanya.
Tempatnya luas bisa dijadikan tempat bersantai. Bahkan banyak yang datang untuk bakar-bakar ikan di sana, untuk sampai ke lokasi ini hampir sama seperti Lingkok Kuwieng akses jalannya masih sangat susah untuk dilalui, jalan masih bebatuan dan berlumpur.
Dua wisata ini masih belum dikelola baik oleh masyarakat maupun Pemkab Pidie. Jadi, masih sangat asli, tanpa ada perubahan. Bagi sebagian pengunjung, katanya, pesona Lingkok Kuwieng jauh lebih indah dari Tuwi Jeureungèh, tapi itu kembali kepada pribadi masing-masing, bagaimana cara menikmatinya.
Selain pesona yang berbeda, ada satu hal lagi yang membedakan kedua tempat ini bahwa Lingkok Kuwieng kerap mengalami pasang surut air. Pada saat tertentu tempat ini kering. Jadi, sebelum datang, kita harus cari tahu terlebih dahulu, agar tidak kecewa mendapati tempat genangan tanpa air.
Nah, untuk mencapai puncak tentu tidaklah mudah. Kata-kata ini sepertinya sangat cocok untuk menggambarkan susahnya sampai ke dua lokasi ini. Di sekitar lokasi wisata Lingkok Kuwing dan Tuwie Jeureungèh masih belum ditemukan tempat parkir yang aman, toilet umum, dan masjid, atau musala untuk beribadah.
Jika datang tanpa pemandu, kita harus berani bertanya pada masyarakat yang ada di sana agar tidak tersesat, sebab lokasinya tanpa petunjuk arah. Selain itu, Anda diharapkan membawa bekal terlebih dahulu sebelum bertolak ke lokasi wisata ini, karena di sana tidak terdapat penjual makanan atau minuman, dan yang paling penting siapkan stamina tubuh dengan baik.
Itulah dua lokasi wisata yang saya tawarkan, Lingkong Kuwieng dan Tuwi Jeureungèh yang bisa menjadi pilihan akhir pekan bagi Anda bersama teman-teman.
Apabila berkunjung ke sana janganlah membuang sampah sembarangan, termasuk sampah dari sisa makanan snack bawaan Anda.
Alam sudah memberikan kebaikan dan keuntungan yang sangat besar kepada kita, bukan hanya dalam bentuk pesona wisata. Sudah seyogianya alam ini kita jaga. Jika kita rusak, apa yang akan anak cucu kita nikmati lagi? Jadi, mari kita sama-sama melestarikan alam. Jika tidak mampu menjaganya, setidaknya janganlah merusak.