Opini
Pemimpin Harus Cerdas dan Adil
Akhir-akhir ini, protes terkait BLT pada kantor geuchik lebih intens terjadi di berbagai daerah, termasuk Aceh. Seperti yang terjadi

M. Anzaikhan, S.Fil.I., M.Ag
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry.
Akhir-akhir ini, protes terkait BLT pada kantor geuchik lebih intens terjadi di berbagai daerah, termasuk Aceh. Seperti yang terjadi di Desa Ujong Tanoh Darat, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat. Warga dan geuchik bersitegang karena penyalura BLT dinilai kurang tepat sasaran. Akibat demo tersebut, data penerima bantuan diverifikasi ulang dengan menghadirkan camat dan disaksikan oleh kaum emak-emak setempat (Serambi, 16 Juni 2020).
Lebih ekstrim lagi yang terjadi di Tanah Gayo, diduga karena permasalahan BLT kantor reje dibakar oleh warga (Serambi, 12 Juni 2020). Hal senada juga yang terjadi di Lhokseumawe, dipicu BLT yang tak kunjung cair, warga segel kantor geuchik di desa Alue Awe, Kecamatan Muara Dua (Serambi, 12 Juni 2020).
Berbagai polemik BLT di atas, sejatinya bukanlah kasus baru di tengah pandemi seperti saat ini. Tak heran jika kejadian semacam itu berdampak pada kicauan dunia medsos. Sering warganet yang membuat postingan agar pihak pemerintah tidak menyalurkan bantuan Covid-19 melalui pimpinan desa, karena dianggap tidak objektif dan memilih kaum kerabat belaka.
Pertanyaan selanjutnya, jika tidak melalui kepala desa, melalui siapa lagi bantuan tersebut akan disalurkan? Apakah oknum selain perangkat desa bisa menjamin lebih baik? Ini adalah PR penting, khususnya oleh para pemimpin atau wakil rakyat yang mesti memperhatikan agar masyarakat mendapatkan haknya. Persoalan bantuan di tengah pandemi bukan cukup sekadar seremonial di depan kamera belaka, harus jelas siapa dan bagaimana mereka menerimanya. Semakin banyaknya konflik dan laporan ketidakpuasan terhadap penyaluran bantuan BLT menunjukkan bahwa ada kesalahan atau masalah yang perlu ditindaklanjuti.
Kalaupun permasalahan bukan berasal dari pimpinan gampong, bisa jadi memang masyarakat yang ingin ribut khususnya mereka yang merasa sulit dan membutuhkan bantuan. Semua itu butuh evaluasi dan titik terang, minimal memperjelas siapa yang salah dalam kasus BLT yang semakin menjamur. Beragam kejadian memilukan di atas tentu bisa diantisipasi jika suatu daerah memiliki pemimpin yang adil.
Pemimpin yang paham mana hak dan yang batil, serta pemimpin yang memprioritaskan kepentingan umum di atas kepentingan golongan.
Mencari pemimpin yang adil memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di dunia demokrasi yang semuanya serba pandai bersandiwara saat masa pemilihan tiba. Terkadang bukan masyarakat yang tidak ingin memilih pemimpin adil, namun kejadian di lapangan sering jauh panggang dari api. Kelihatannya adil, kelihatannya amanah, namun setelah menjabat baru ketahuan belangnya.
Belum lagi ada oknum yang dianggap mampu (menjadi pemimpin) namun enggan menjabat. Padahal, salah satu kelompok yang pertama masuk surga adalah para pemimpin yang adil. Menunjukkan begitu pentingnya kedudukan dan posisi pemimpin dalam hidup sosial-beragama. Mungkin mereka takut, sebab separuh kaki pemimpin itu sudah di neraka dikarenakan besarnya ancaman dan godaan jatuh pada kedzaliman. Seperti bersikap nepotisme, mengutamakan sanak saudara dalam setiap penyaluran bantuan yang ada, dan penyalahan wewenang lainnya.
Selain adil, pemimpin juga harus harus cerdas. Kejadian konflik masyarakat terkait BLT dan sejenisnya mengingatkan saya pada cara Nabi menyikapi problema perselisihan di masa silam. Ketika Nabi melihat kegaduhan di Mekkah, dimana para petinggi Arab ingin menjadi orang yang mengangkat Hajar Aswad, Nabi dengan kebijaksanaannya meletakkan kain di bawah batu sehingga batu tersebut bisa diangkat bersama-sama. Akibat tindakannya, para petinggi Mekkah bisa mengangkat Hajar Awad bersama tanpa saling sikut.
Jika dikontekstualisasikan dengan kasus BLT saat sekarang ini, pemimpin seharusnya mengambil peran sebagai agen solusi. Meskipun wacana Hajar Aswad berbeda dengan santunan bantuan BLT, namun secara urgentif memiliki kesamaan sebagai sesuatu yang sama-sama diperebutkan. Harus ada kebijakan khusus agar semua pihak bisa merasakan bantuan walau sedikit. Misalnya dengan membagi biaya ke seluruh penduduk sama banyak, atau dengan melakukan sumbangan terpisah pada warga yang mampu untuk menutupi kekurangan. Semuanya pasti ada jalan bila ingin menegakkan keadilan dengan benar.
Selain itu, pemimpin juga tidak boleh menunggu. Pemimpin harus menjemput bola dalam menyikapi masalah ekonomi yang kian memburuk akibat terseret arus Covid-19. Pemimpin harus menyiapkan berbagai rencana alternatif dengan memperhatikan segala potensi desa yang ada. Jika memang biaya operasional menjadi kendala, maka bisa memanfaatkan sistem gotong-royong sebagai ciri khas budaya bangsa Indonesia.
Pemimpin gampong bersama pemuda bisa sama-sama membuka dapur sembako yang diisi oleh hasil kerja keras warga. Membuka pasar tradisional kampung dengan hanya menjual hasil panen warga. Bahkan, pemimpin bisa mencanangkan program bimbingan belajar online lokal, yang pengajarnya adalah muda-mudi kampung yang ada. Dengan begitu, sedikit banyak stabilitas perekonomian masyarakat tetap terjaga. Bila sudah demikian, maka warga tidak harus berebut bantuan pemerintah seperti halnya BLT dan bantuan lainnya.
Hakikat pemimpin
Sejatinya, pemimpin itu memang harus ada dalam kehidupan bersosial. Sebegitu pentingnya pemimpin, bahkan ketika tiga (3) orang bepergian sekalipun, maka mereka wajib memilih salah satunya sebagai pemimpin. Begitu juga dalam kehidupan berorganisasi, harus ada pemimpin yang menjadi sosok pengkordinir agar suatu komunitas bisa bersatu, bertahan, dan sejalan. Tanpa adanya pemimpin, suatu kelompok pasti akan bercerai berai. Ibarat batu-bata yang disusun tinggi namun tanpa perekat (semen), maka tunggu kehancurannya.
Begitu juga dalam kehidupan berkeluarga selaku organisasi terkecil dalam tatanan sosial. Di dalamnya wajib ada pemimpin yang lazimnya dalam hal ini adalah seorang ayah atau suami. Posisi suami sebagai pemimpin bukan serta merta karena ia lebih kuat atau lebih superior, lebih dari itu adalah karena lelaki lebih stabil kondisinya karena biologis tidak mengalami meanstruasi atau melahirkan.
Ini mungkin yang membuat lelaki lebih ideal jadi pemimpin dalam keluarga, di samping sebagai sosok yang lebih berkapasitas sebagai pelindung istri dan anak-anaknya. Meskipun suami sebagai kepala keluarga, maka posisi istri sebagai leher. Artinya, kepala tidak bisa bergerak tanpa leher. Mengisyaratkan bahwa keduanya saling melengkapi dan berbagi peran masing-masing.
Maka dari itu, pemimpin bukan berarti diktator atau sosok yang merasa agung (bos). Pemimpin yang baik justru adalah mereka yang berjiwa musyawarah dan mufakat. Seperti halnya Nabi Muhammad Saw, beliau adalah seorang Rasul Allah, namun beliau sangat terbuka menerima pendapat para sahabat. Ini menunjukkan bahwa adil seorang pemimpin bukan hanya dalam konteks materi, namun juga bisa diimplementasikan dalam ranah imateri seperti keadilan dalam memberikan pendapat.
Pemimpin yang adil tidak melihat pendapat berdasarkan siapa orangnya, namun kualitas pendapat itu sendiri yang menjadi acuan. Meskipun perempuan, meskipun remaja, meskipun kalangan awam, jika suatu pendapat itu bagus maka menjadi inspirasi bersama.