Berita Banda Aceh
Walhi Aceh Nilai Konflik Satwa Dipicu Karena Maraknya Kerusakan Hutan
Konflik satwa yang terjadi di Aceh Utara selama ini ternyata tidak terlepas dari maraknya pembukaan lahan secara massif akibat kebijakan pemerintah...
Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Nurul Hayati
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menilai, konflik satwa yang terjadi di Aceh Utara selama ini ternyata tidak terlepas dari maraknya pembukaan lahan secara massif, akibat kebijakan pemerintah dan pembiaran praktik illegal logging.
Laporan Masrizal | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menilai, konflik satwa yang terjadi di Aceh Utara selama ini ternyata tidak terlepas dari maraknya pembukaan lahan secara massif, akibat kebijakan pemerintah dan pembiaran praktik illegal logging.
Seperti kasus serangan kawanan gajah liar terhadap kebun warga di Desa Pase Sentosa, Kecamatan Simpang Keramat, Aceh Utara awal tahun 2019 silam.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur kepada Serambinews.com, Rabu (1/7/2020), hingga saat ini belum ada penanganan dari pihak BKSDA, untuk melakukan penghalauan kawanan gajah tersebut ke kawasan hutan.
"Sikap ini menunjukkan ketidakmampuan negara mengatasi masalah. Kebijakan yang diambil justru mempermudah izin yang dibantu oleh lembaga teknis kepada pengusaha atas nama investasi akan menimbulkan masalah baru, sayangnya ketika konflik terjadi warga selalu menjadi korban, baik korban harta benda bahkan nyawa," katanya.
Muhammad Nur menyatakan, serangan gajah liar di kawasan Desa Pase Sentosa telah merusak 70 hektar lahan perkebunan milik warga yang didalamnya sudah ditanami pinang, sawit, kakao, pisang dan palawija.
Hingga saat ini lanjutnya, belum ditemukan adanya korban jiwa dalam serangan gajah liar tersebut.
• 500 Ribu Jargas Disiapkan untuk Aceh
Namun kawanan gajar liar yang berjumlah sekitar 20 ekor tersebut, masih berada di kawasan perkebunan dan meresahkan warga.
"Para petani telah melakukan upaya dengan membentuk tim antar petani untuk menghalau gajah liar dengan menggunakan mercon yang difasilitasi oleh BKSDA Aceh konservasi Wilayah I Lhokseumawe, akan tetapi upaya tersebut masih belum membuahkan hasil dan gajah belum bisa digiring ke dalam hutan," lanjut dia.
Aktivis lingkungan itu menilai, pola penghalauan menggunakan mercon atau pengeras suara secara tiba tiba seperti itu bisa saja membuat satwa mengalami stres hebat dalam waktu jangka panjang.
Sehingga gajah sebagai satwa lindung akan punah, jika terus berkonflik dengan manusia.
Disebabkan oleh prilaku pemerintah tidak memperhatikan kekayaan flora fauna dan species kunci lainnya, dalam setiap pemberian ruang untuk berbagai rencana pembangunan.
• AirAsia Kembali Terbang, Ini Syarat Calon Penumpang
Keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Aceh Utara, misalnya, seperti PT RPPI menguasai 10.300 ha, dan PT Mandum Payah Tamita (MPT) 8.015 ha, Proyek Energi, Pertambangan mineral bukan logam dan batuan seluas 28,1 ha, Perkebunan dengan luas 25.815 ha yang dikuasai oleh 20 HGU, pembangunan waduk keureuto menghabiskan ruang 9.420 ha, dan praktek illegal logging di hutan telah merusak sumber sumber kehidupan bagi satwa lindung.
Kondisi itu, lanjut Muhamamd Nur, membuktikan pemerintah gagal melindungi manusia maupun satwa yang bernama gajah atas nama investasi di dalam kawasan hutan.