Luar Negeri
Thailand Akan Perluas Produksi Ganja, Kabinet Setujui Draf Revisi UU Narkotika
Thailand jadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalisasi mariyuana untuk keperluan riset dan medis pada 2017.
Kajian yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute dan Kamp Biawak, Jumat (31/1/2020) sore, mengangkat tema tentang 'potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentasan kemiskinan'.
Diskusi rutin yang biasanya hanya dihadiri sekitar 20 peserta saja, tiba-tiba dipenuhi pengunjung dari berbagai kalangan.
Panitia mengatakan, tema tersebut diusung karena baru-baru ini Aceh dihebohkan dengan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan Aceh masih sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
Sejumlah pihak mengkritik Pemerintah Aceh karena dinilai gagal mengentaskan kemiskinan di tengah uang yang melimpah.
Untuk tahun 2020 saja, Pemerintah Aceh mengelola APBA Rp 17,2 triliun.
Diskusi di Kamp Biawak, kawasan Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar ini, menghadirkan tiga pembicara yaitu, Prof Dr Musri Musman MSc (peneliti ganja), Dhira Narayana (Ketua Lingkar Ganja Nusantara-lembaga yang fokus mengadvokasi legalisasi ganja untuk kesehatan di Indonesia), dan Jamaica (pemerhati ganja).
Prof Dr Musri Musman yang melakukan penelitian terhadap ganja mengatakan dirinya menemukan banyak manfaat dari tanaman yang di Indonesia masuk dalam kategori terlarang ini.
Mulai untuk kebutuhan medis, tekstil, hingga untuk bahan pembuatan kertas.
"Dari segi kebutuhan pasar saat ini sangat besar, kemudian peluang itu diperoleh karena kandungan CBD minyak (ganja) yang dihasilkan itu tidak dapat dihasilkan dari wilayah lain," kata Prof Musri.
Menurut Prof Musri, hal ini menjadi satu peluang bagi Indonesia untuk memproduksi minyak dari tanaman ganja karena kandungan cannabidiol (CBD) ganja Indonesia terbaik di dunia.
Tapi pengembangan itu harus melibatkan masyarakat dan tidak boleh ada monopoli harga.
"Bila setiap penduduk memiliki kesempatan untuk menanam (ganja) dan ada regulasinya yang mengatur itu, saya sangat berkeyakinan wilayah Aceh dan penduduknya ini tidak perlu disubsidi oleh negara. Mereka dapat membiayai diri sendiri dan bisa menyumbang untuk daerah lain," ujar dia.
Jika hal itu terjadi, Prof Musri menyakini Aceh akan terbebas dari belenggu kemiskinan.
"Kesejahteraan itu lahir berangkat dari kebersamaan. Kita selama ini melihat adanya praktik monopoli yang menyebabkan sebagian masyarakat terpinggirkan dan sebagai diuntungkan," ujarnya.
Karena itu, ia berharap pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam lima tahun saja untuk menanam sendiri tanaman ganja, tetapi tetap diikat dengan regulasi.