ABK Indonesia di Kapal Taiwan
Derita ABK Indonesia di Kapal Taiwan, Dianiaya, Dikunci dalam Lemari Es, Gaji Ditahan, Kerja 20 Jam
LSM yang berbasis di London telah menerbitkan laporan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang diderita oleh pekerja Indonesia.
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Safriadi Syahbuddin
Supri juga mengklaim bahwa kapten menggunakan selang air bertekanan tinggi untuk mengarahkan semprotan air ke wajahnya yang mengenai bola mata, menyebabkan wajah dan matanya sangat kesakitan.
Dia juga mengatakan kapten memerintahkan anggota kru lainnya untuk menyetrumnya dengan tiang logam yang dihubungkan ke aki mobil - sebuah alat yang digunakan untuk menyetrum ikan.
"Pelanggaran hak asasi manusia yang dijelaskan oleh korban adalah beberapa kasus yang terburuk yang didokumentasikan EJF di armada Taiwan," kata organisasi non-pemerintah itu.
Sebuah laporan dari think tank Stimson Center yang berbasis di Washington, yang diterbitkan tahun lalu, mendapati bahwa kapal-kapal dari Cina dan Taiwan mewakili sekitar 60 persen kapal mereka berlayar jauh di antara 2015 dan 2017.
Kelompok advokasi lingkungan Greenpeace pada Maret tahun ini mengatakan ada 1.100 kapal berbendera Taiwan di seluruh lautan dunia, dengan ratusan lagi kapal milik Taiwan yang membawa bendera negara lain.
• Lagi, ABK Indonesia Meninggal di Kapal China
• Kemenlu Ungkap Kasus Pelarungan Jenazah ABK Indonesia di Kapal China, Khawatir Nasib ABK Lainnya
Laporan Greenpeace mengatakan kapal dan perusahaan Taiwan termasuk di antara pelanggar terburuk dalam hal pelanggaran hak asasi manusia di kapal ikan.
Dalam beberapa bulan terakhir, cerita kematian dan penganiayaan yang dialami oleh nelayan Indonesia yang bekerja di kapal berbendera China juga bermunculan.
Menurut kelompok aktivis Destructive Fishing Watch Indonesia, 11 WNI tewas di kapal China dari November 2019 hingga Juli 2020, sementara dua nelayan lainnya hilang.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan yang berbasis di Jakarta, mengatakan kekerasan yang dialami oleh nelayan Indonesia di atas kapal yang terkait dengan Taiwan dan China adalah yang terburuk jika dibandingkan dengan negara lain.
Ia menambahkan bahwa organisasinya menerima paling banyak pengaduan terkait sakit dan permintaan perawatan di kapal China dan Taiwan.
Namun, ini bukan satu-satunya kapal di mana pelanggaran tersebut terjadi.
• Jenazah ABK Indonesia Dilarung ke Laut, Keluarga Dapat Kabar Duka di Selembar Surat Berbahasa China
• Menangis Dengar Nasib ABK Indonesia Diperbudak di Kapal China, Bekerja Tanpa Henti dan Tak Digaji
Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, mengatakan ada juga WNI yang bekerja tanpa perjanjian kerja dan asuransi di kapal Indonesia.
Sementara itu sistem perekrutannya tidak transparan dan memiliki sistem pengupahan yang tidak adil.
“Mayoritas gaji kapal penangkap ikan di Indonesia menggunakan sistem bagi hasil, bukan gaji bulanan, sehingga gaji yang didapat berdasarkan hasil tangkapan dengan pembagian yang tidak adil,” ujarnya.
Menurut Badan Perikanan Taiwan, ada sekitar 35.000 nelayan migran yang bekerja di kapal berbendera Taiwan per Juni 2019.