ABK Indonesia di Kapal Taiwan

Derita ABK Indonesia di Kapal Taiwan, Dianiaya, Dikunci dalam Lemari Es, Gaji Ditahan, Kerja 20 Jam

LSM yang berbasis di London telah menerbitkan laporan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang diderita oleh pekerja Indonesia.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Safriadi Syahbuddin
MBC/Screengrab from YouTube
Sebuah tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, eorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China. 

SERAMBINEWS.COM - Sebuah Lembaga Swadaya Msyarakat (LSM) yang berbasis di London menerbitkan laporan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang diderita anak bauh kapal atau ABK Indonesia.

Serta penangkapan ikan ilegal di atas kapal Taiwan. Kapal nelayan Taiwan merupakan salah satu kapa penangkap ikan jarak jauh terbesar di dunia.

The Environmental Justice Foundation (EJF) yang menyatakan telah menyelidiki aktivitas kapal penangkapan ikan Taiwan sejak 2016.

Bulan lalu merilis laporan berdasarkan wawancara dengan 71 ABK Indonesia dari 62 kapal yang dilakukan sejak Agustus 2018 hingga November 2019.

Sebanyak 92 persen nelayan kapal yang disurvei gaji mereka, mengatakan bahwa upah mereka ditahan selama berbulan-bulan.

Sementara itu 82 persen ABK melaporkan mereka harus lembur yang berlebihan, di mana mereka harus bekerja hingga 20 jam per hari dengan sedikit waktu istirahat.

Kemudian, 24 persen ABK Indonesia mengalami penganiayaan fisik.

Nasib ABK Indonesia di Kapal China: Tak Digaji,Tewas Disiksa, Hingga Jenazah Dilarung ke Luat

Isi Surat Pernyataan ABK Indonesia yang Kerja di Kapal China, Kerja Setahun Gaji Tak Sampai 2 Juta

Melansir dari South China Morning Post, Jumat (7/8/2020), salah satu dari delapan studi kasus dalam laporan itu adalah Supri.

Ia bekerja sejak Desember 2018 hingga Maret 2019 bekerja di kapal Taiwan. Kapal itu berlayar mencari ikan di sekitar Samudra Hindia. 

Dia menceritakan bagaimana kapten memintanya untuk masuk ke dalam lemari es sebelum ia mandi.

Kapten kemudian menutup pintu lemari es itu selama sekitar 15 menit.

"Saya merasa sangat kaku dan sulit bernapas," kata Supri, seperti dikutip dalam laporan.

“Akhirnya pintu dibuka dan saya mendengar kapten berkata kepada kru lainnya: 'Jika dia meninggal katakan saja bahwa dia meninggal dalam kecelakaan dan kemudian kita akan membuang tubuhnya ke laut.'” Katanya.

Supri mengatakan dia telah berulang kali menerima insiden kekerasan fisik yang sering terjadi.

Kesaksian ABK Indonesia di Kapal China: Hasan Afriandi Tewas Dianiaya Mandor dengan Besi dan Kayu

Fakta Baru Mayat ABK Indonesia di Freezer Kapal China, Diduga Dianiaya Mandor hingga Tewas

Dalam kasusnya, laporan tersebut menunjukkan bahwa dia tidak bisa melawan karena takut dibunuh oleh kapten.

Supri juga mengklaim bahwa kapten menggunakan selang air bertekanan tinggi untuk mengarahkan semprotan air ke wajahnya yang mengenai bola mata, menyebabkan wajah dan matanya sangat kesakitan.

Dia juga mengatakan kapten memerintahkan anggota kru lainnya untuk menyetrumnya dengan tiang logam yang dihubungkan ke aki mobil - sebuah alat yang digunakan untuk menyetrum ikan.

"Pelanggaran hak asasi manusia yang dijelaskan oleh korban adalah beberapa kasus yang terburuk yang didokumentasikan EJF di armada Taiwan," kata organisasi non-pemerintah itu.

Sebuah laporan dari think tank Stimson Center yang berbasis di Washington, yang diterbitkan tahun lalu, mendapati bahwa kapal-kapal dari Cina dan Taiwan mewakili sekitar 60 persen kapal mereka berlayar jauh di antara 2015 dan 2017.

Kelompok advokasi lingkungan Greenpeace pada Maret tahun ini mengatakan ada 1.100 kapal berbendera Taiwan di seluruh lautan dunia, dengan ratusan lagi kapal milik Taiwan yang membawa bendera negara lain.

Lagi, ABK Indonesia Meninggal di Kapal China

Kemenlu Ungkap Kasus Pelarungan Jenazah ABK Indonesia di Kapal China, Khawatir Nasib ABK Lainnya

Laporan Greenpeace mengatakan kapal dan perusahaan Taiwan termasuk di antara pelanggar terburuk dalam hal pelanggaran hak asasi manusia di kapal ikan.

Dalam beberapa bulan terakhir, cerita kematian dan penganiayaan yang dialami oleh nelayan Indonesia yang bekerja di kapal berbendera China juga bermunculan.

Menurut kelompok aktivis Destructive Fishing Watch Indonesia, 11 WNI tewas di kapal China dari November 2019 hingga Juli 2020, sementara dua nelayan lainnya hilang.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan yang berbasis di Jakarta, mengatakan kekerasan yang dialami oleh nelayan Indonesia di atas kapal yang terkait dengan Taiwan dan China adalah yang terburuk jika dibandingkan dengan negara lain.

Ia menambahkan bahwa organisasinya menerima paling banyak pengaduan terkait sakit dan permintaan perawatan di kapal China dan Taiwan.

Namun, ini bukan satu-satunya kapal di mana pelanggaran tersebut terjadi.

Jenazah ABK Indonesia Dilarung ke Laut, Keluarga Dapat Kabar Duka di Selembar Surat Berbahasa China

Menangis Dengar Nasib ABK Indonesia Diperbudak di Kapal China, Bekerja Tanpa Henti dan Tak Digaji

Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, mengatakan ada juga WNI yang bekerja tanpa perjanjian kerja dan asuransi di kapal Indonesia.

Sementara itu sistem perekrutannya tidak transparan dan memiliki sistem pengupahan yang tidak adil.

“Mayoritas gaji kapal penangkap ikan di Indonesia menggunakan sistem bagi hasil, bukan gaji bulanan, sehingga gaji yang didapat berdasarkan hasil tangkapan dengan pembagian yang tidak adil,” ujarnya.

Menurut Badan Perikanan Taiwan, ada sekitar 35.000 nelayan migran yang bekerja di kapal berbendera Taiwan per Juni 2019.

Lebih dari 60 persen pekerja ini direkrut ke luar negeri.

EJF mempresentasikan laporannya kepada pihak berwenang pada bulan Juni, sebulan sebelum diterbitkan.

Setelah itu Badan Perikanan Taiwan mengatakan telah meluncurkan penyelidikan atas kasus penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia.

Heboh Video Mayat ABK Indonesia Dibuang ke Laut, Disiksa di Kapal China, Ini yang Dilakukan Kemenlu

ABK Indonesia di Kapal China: Tewas Disiksa, Mayat Disimpan di Pendingin Ikan, Lalu Dibuang ke Laut

EJF juga melaporkan bahwa kapal Taiwan juga terlibat dalam penangkapan ikan ilegal, mengutip laporan nelayan yang mengatakan pengkapan sirip hiu.

Hukum Taiwan mewajibkan sirip dan tubuh hiu agar disimpan dalam kapal hingga tiba di pelabuhan.

Laporan itu juga menemukan bahwa 13 persen kapal sengaja menangkap dan membunuh lumba-lumba, sementara 11 persen kapal memenggal paus pembunuh palsu- spesies lumba-lumba.

Pemerintah Taiwan harus "menerapkan sistem pemantauan elektronik untuk kapal penangkap ikan Taiwan termasuk sensor jarak jauh, kamera dan kemampuan awak kapal untuk berkomunikasi dengan dunia luar untuk menyampaikan kekhawatiran", kata laporan itu.

EJF juga meminta Taipei untuk menghapus sistem perekrutan luar negeri, dan mewajibkan semua pekerja migran di kapal penangkap ikan direkrut melalui Taiwan di bawah pengawasan langsung Kementerian Tenaga Kerja.

"Karena sifat global armada Taiwan, ini akan membutuhkan kerja sama lintas pemerintah dan internasional," katanya dalam laporan itu. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved