Opini
MoU Helsinki Di Masa Pandemi
Usia perdamaian Aceh genap sudah lima belas tahun (15 Agustus 2005-15 Agustus 2020). Refleksi peringatan MoU Helsinki pada kesempatan

Oleh Muhammad Heikal Daudy, SH., MH, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Banda Aceh
Usia perdamaian Aceh genap sudah lima belas tahun (15 Agustus 2005-15 Agustus 2020). Refleksi peringatan MoU Helsinki pada kesempatan ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sepantasnya pada tahun ini tiada seremonial megah dengan balutan piasan raya (pesta akbar) yang hendak digelar, atau pecahan rekor kolosal yang ingin diukir. Tak elok rasanya, jikalau gelaran piasan donya tersebut tetap menjadi suguhan.
Selain berpretensi negatif, juga potensial memantik `murka' publik di tengah kondisi daerah yang tak luput dari pandemi Covid-19 secara global, yang telah berdampak langsung pada kelesuan daya-beli masyarakat dan menjadi sebab utama terhadap rapuhnya sektor ekonomi makro maupun mikro banyak negara dewasa ini. Konon lagi di Aceh, terdapat trend peningkatan korban terinfeksi positif yang signifikan dalam beberapa pekan terakhir, dimana penanganannya juga masih menyisakan sejumlah catatan.
MoU Helsinki bagi masyarakat Aceh merupakan peristiwa sejarah yang tidak berdiri-sendiri. Betapa gempa dan tsunami telah menggugah kesadaran pihak GAM dan Pemerintah RI untuk duduk merendah dalam satu meja perundingan, setelah berkonflik cukup panjang selama hampir tiga puluh tahun. Tentu pencapaian semua itu merupakan anugerah Allah SWT. Dari sana, andil masyarakat internasional tergerak melalui inisiasi Crisis Management Initiative (CMI) dikomandoi oleh Marthi Arthisari (mantan Presiden Finlandia). Beliau hadir sebagai sosok dengan intuisi sensitiveness dan sense of crisis yang tinggi, hingga mampu mendalami persoalan yang dialami masyarakat Aceh dan republik ini pada saat itu.
Dimanapun, keberhasilan banyak pihak yang pernah bertikai untuk berdamai di meja perundingan, tidak luput dari `modal kepercayaan' yang diberikan masing-masing pihak. Modal tersebut menjadi faktor penentu. Dengan modal itu pula, MoU Helsinki menjadi cetak biru (blue print) mengisi perdamaian di Aceh. Secara politik MoU Helsinki menjadi starting point bagi penegasan posisi Aceh di mata Jakarta. Fakta ini bertalian dengan sejarah eksistensi entitas keacehan dalam konteks keindonesiaan, dalam rangka pemenuhan prinsip-prinsip ideal menjalankan konsep sebuah negara-bangsa (nation-state).
Keutuhan dan terawatnya perdamaian di Aceh, juga tak lepas dari kesadaran kolektif masyarakat Aceh yang berpegang teguh pada Dienul Islam. Sejarah mencatat, komitmen untuk mengaplikasikan Syari'at Islam secara kaffah, merupakan eskalasi dari keinginan kuat masyarakat Aceh yang ingin berdamai dengan masa lalu (kembali ke era keemasan di masa Sultan Iskandar Muda), serta menjadi masyarakat muslim yang paripurna dan cinta damai.
Fase pascatransisi lima belas tahun ini (sepuluh tahun lalu sebagai fase transisi), masih menyisakan catatan-catatan korektif. Sejumlah koreksi mulai dari ranah politik, ekonomi, sosial hingga budaya ikut menjadi perhatian. Pemerintah Aceh dan segenap stakeholders dinilai belum maksimal memainkan peran strategisnya. Indikator sederhananya terkait soalan-soalan implementasi MoU Helsinki yang termanifestasi di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang belum sepenuhnya terealisasi dengan baik, bahkan dari waktu ke waktu kondisinya semakin `jauh panggang dari api'.
Persoalan mendasar dewasa ini yang menghambat Aceh pada fase pascatransisi adalah persoalan membangun kepercayaan (trust building) yang seyogyanya merupakan modal awal MoU Helsinki itu sendiri. Bukti dari adanya `sumbatan' tersebut tercermin dari `disharmonisnya' hubungan eksekutif dengan legislatif Aceh sebagai representasi Pemerintahan Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Sejatinya peran kedua lembaga tersebut adalah sebagai komunikator, dinamisator, danfasilitator dalam memperjuangkan kepentingan Aceh di Jakarta. Namun publik Aceh mencatat, bahwa sejak kisruh kedua lembaga tersebut mencuat dan seakan tak berkesudahan. Sejak itu pula, Kekhususan dan Keistimewaan Aceh tak lagi ada yang menarasikannya.
Tantangan utama lainnya adalah optimalisasi peran para ulama dengan umara di Aceh. Sinergi antara kedua pilar pembangunan ini, dituntut untuk mampu mengayomi, mengawal dan terpenting ialah membentuk karakter masyarakat Aceh sesuai identitasnya sebagai masyarakat religious dan egaliter. Dan bukan tidak mungkin, besar peluang bagi Aceh untuk tampil sebagai salah satu pioneer pusat penanaman nilai-nilai peradaban (center of value) dengan memainkan peran strategisnya di kawasan antara lain dengan menjadi: a) Pusat resolusi konflik; b) Pusat mitigasi bencana; dan c) Pusat peradaban Islam di nusantara.
Diakui bahwa usaha ke arah itu terlihat dan terus diikhtiarkan. Walaupun hasilnya belum tampak signifikan karena program-program yang dilahirkan tak satupun menjadi leading sector dan terkesan minim progresivitas. Di mata publik, konsepsi yang sedang berjalan saat ini belum berskala masif dan membumi sehingga belum dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat Aceh secara luas.
Semoga saja, kisruh dua lembaga sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tidak berimbas kepada peran para ulama-umara. Publik senantiasa berharap agar kedua pilar ini konsisten menjaga amanah dalam melayani dan memenuhi kepentingan umat. Jangan sampai, ada ulama di Aceh digiring atau latah melakukan trik-intrik untuk dilemahkan perannya, dengan motif atau modus operandi berbagai macam hingga memicu konflik sektarian atau horizontal. Karena pada umumnya yang menjadi korban adalah masyarakat awam yang terbatas pengetahuan agamanya dan buta politik.
Terang saja bahwa publik Aceh ingin nanggroe endatu ini tidak lagi bergolak dalam desingan peluru. Tidak tampak lagi anasir-anasir jahat di pentas politik, yang saban kali menjadi pemicu konflik kepentingan sesama elit. Hubungan antara ulama dan umara harus berjalan dinamis, dengan saling berbagi peran bukan berbagi `keran'. Sepatutnya ulama tidak mudah terkontaminasi godaan syahwat elit politik yang hobi menjadikannya sebatas lips services melalui janji manis untuk kepentingan sesaat bak musim kampanye.
Oleh karena itu, persoalan membangun kepercayaan haruslah menjadi fokus yang tak mengenal waktu dan lelah yang secara berkesinambungan seharusnya menjadi perhatian segenap pihak khususnya Pemerintahan Aceh dalam visi-misi membangun Aceh pascadamai. Jangan sampai ada lagi yang berfikir bahkan berasumsi bahwa konflik di Aceh, merupakan romantisme sejarah yang terkesan berulang dan tak berujung. Cukuplah sudah.
Hari-hari ke depan merupakan pembuktian bahwa Aceh mampu tampil lebih baik. Waktu 15 tahun merupakan modal historis, psikologis sekaligus modal spiritual masyarakat Aceh untuk melanjutkan pembangunan daerahnya. Walaupun membuka lembar demi lembar masa pascatransisi ini, Aceh masih menyisakan sejumlah catatan buram berdimensi sosial yang membutuhkan solusi penanganan segenap pihak untuk dituntaskan.
Publik Aceh tak henti berharap bahwa persoalan reintegrasi dapat menemukan metode jitu untuk kelanjutannya. Jurang disparitas antara si kaya dan si miskin yang semakin menganga, semoga dapat teratasi. Praktik korupsi, judi dan prostitusi sebagai biang keladi perusak moral pejabat agar berhenti dan tidak menjadi-jadi. Tindak kriminal, akibat peredaran senjata api dan bom-bom sisa konflik yang luput untuk dimusnahkan kiranya segera ditindak dan diadili. Hilangnya akal sehat remaja karena mengonsumsi narkotika dan ekstasi agar segera terobati.
Mengakhiri tulisan ini, Selamat Milad 15 Tahun MoU Helsinki dan Dirgahayu 75 Tahun Indonesia Padamu Negeri.