Pojok Humam Hamid

Zohran Mamdani, Islamophobia, dan New York “Baru”

Pidato pertama Zohran Mamdani setelah terpilih sebagai Wali Kota New York terasa seperti ledakan moral di tengah hiruk pikuk politik Amerika

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Pidato pertama Zohran Mamdani setelah terpilih sebagai Wali Kota New York terasa seperti ledakan moral di tengah hiruk pikuk politik Amerika. 

Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, “Tidak akan ada lagi tempat bagi Islamofobia di New York.” 

Kalimat itu sederhana, tapi di kota yang dua dekade terakhir hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan prasangka, kata-kata itu terasa seperti gempa kecil yang mengguncang jantung bangsa.

Sejak 11 September 2001, New York sering memamerkan wajah pluralisme, tapi di balik slogan interaksi leburan budaya antar ras -“melting pot” itu tersimpan luka yang belum sembuh. 

Warga Muslim masih sering dicurigai, diawasi, diperlakukan seolah mereka tamu di kota yang mereka ikut bangun. 

Nama-nama Arab diabsenkan dengan nada curiga, perempuan berhijab dipelototi di kereta bawah tanah, dan kebijakan keamanan terlalu sering dijadikan tameng bagi diskriminasi yang tersusun rapi.

Mamdani tahu itu bukan dari laporan, tapi dari pengalaman. 

Ia tumbuh di tengah generasi yang hidup di bawah tatapan curiga dan narasi ketakutan. 

Ia bukan hanya politisi muda berdarah imigran, tapi saksi hidup bagaimana prasangka berubah menjadi sistem. 

Baca juga: Calon Didukung Trump Kalah, Zohran Mamdani: New York Tetap Jadi Kota Para Imigran

Maka ketika ia berjanji menghapus Islamofobia, itu bukan sekadar slogan kampanye. Itu adalah pembangkitan kembali bara yang lama hampir padam, keyakinan bahwa kota ini masih bisa adil bagi semua orang.

Namun New York bukan kota yang mudah diubah. 

Di setiap jantungnya berdetak kepentingan, di setiap memorinya tersimpan trauma. 

Janji untuk melawan kebencian adalah janji yang berisiko.

Ia akan diserang dari kanan sebagai pemimpin yang “lunak terhadap ancaman”, dan dari kiri sebagai tokoh yang “terlalu simbolik tanpa strategi nyata.” 

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved