Kupi Beungoh

Haruskah Mempermalukan Rakyat Demi Kuota BBM Bersubsidi?

"Kita berharap daripada terlalu memaksakan mempermalukan rakyat, lebih baik menguatkan sosialisasi dan pemahaman masyarakat terhadap BBM."

Editor: Nasir Nurdin
For Serambinews.com
Zainal Abidin Suarja 

Oleh: Zainal Abidin Suarja *)

SEJALAN dengan pernyataan Pemerintah Aceh bahwa program stickering terhadap kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, ternyata di ranah publik suara yang mempersoalkan kebijakan itu tidak juga berkurang.

Rasanya tidak ada alasan untuk tidak sependapat dengan Ketua Komisi II DPRA yang mengharapkan kebijakan itu ditinjau ulang.

Ya, harus ditinjau ulanglah, minimal ada penyesuaian kalimat pada stiker supaya lebih manusiawi.

Pemerintah harusnya paham dampak pandemi Covid-19 telah menjalar ke semua lini dan segi.

Kondisi ini harusnya bisa memberikan sedikit empati kepada masyarakat, termasuk pemilik mobil yang terpaksa menggunakan BBM bersubsidi.

Tidak semua mobil dapat dikategorikan mewah sehingga tidak berhak mendapat premium.

Mobil-mobil tipe LCGC (Low Cost Green Car), misalnya, yang sebagian besar digunakan teman-teman transportasi online mau tidak mau harus mendapatkan BBM subsidi.

Alasannya, pekerjaan mereka sekarang sangat hancur-hancuran.

Penumpang yang berkurang drastis sampai penghilangan bonus dan insentif membuat mereka harus rela antre premium berjam-jam di SPBU.

Sebenarnya antrean di SPBU sendiri adalah seleksi alami terhadap siapa yang berhak mendapatkan premium.

Artinya, orang-orang yang cukup mampu rasanya tidak akan menghabiskan waktu percuma di deretan antrean yang mengular.

Seharusnya pemerintah melalui lembaga/dinas terkait, misalnya ESDM bisa memberikan sosialisasi dan pemahaman terhadap persepsi-persepsi yang “belum sama”. Konon, ada beberapa data yang bahkan agak aneh untuk dicermati.

Jika kuota subsidi BBM Pusat untuk Aceh sudah terpakai hampir 50 persen di Agustus 2020 ini, ternyata selama ini masyarakat malah tidak mendapatkan hak sebagaimana mestinya.

Angka 50 persen itu harusnya muncul pada Juni 2020 dan sekarang harusnya sudah tersalurkan 66 persen.

Apakah pemerintah sengaja membatasi penyaluran kuota tersebut agar pada akhir tahun kuota Aceh tidak terserap 100 persen dan tahun depan dikurangi?

Persepsi selanjutnya adalah penggunaan kendaraan dinas yang tidak sepatutnya.

Bukan masalah kendaraan dinas tidak mengisi BBM bersubsidi, tetapi penggunaan mobil dan BBM yang disubsidi oleh masyarakat ternyata masih banyak terlihat untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Jika ternyata dari awal stiker tersebut bisa dicetak dan diperbanyak sendiri oleh masyarakat, kenapa 156.000 stiker yang dicetak awal dibagikan begitu saja.

Seharusnya bisa dikurangi dan dibatasi hanya untuk mobil/pengemudi kendaraan umum saja, karena para pemilik mobil pribadi yang menyelinap untuk mendapatkan stiker akhirnya melepas sendiri yang kemudian antre kembali untuk mendapatkan stiker baru.

Manajemen pencatatan di SPBU yang masih manual (kertas) sudah pasti tidak akan bisa memvalidasi mobil mana yang sudah pernah mendapatkan stiker sebelumnya.

Kita sudah lihat buktinya bagaimana kegaduhan di media sosial tentang mobil-mobil mewah juga dipasangi stiker.

Jika memang mereka tidak berhak mendapatkan premium lebih baik tidak diizinkan masuk antrean. Tidak perlu membuang-buang energi dan waktu serta formalitas dengan menempel stiker.

Bagi masyarakat, mobil dan BBM yang mereka beli adalah dari hasil jerih payah sendiri. Mereka tidak akan malu karena persepsi masyarakat para pencuri dan koruptorlah yang harusnya malu.

Sebagaimana daerah lain, masyarakat Aceh juga ingin keterbukaan dan harapan penurunan harga BBM.

Dulu, ketika BBM naik itu dikarenakan harga minyak dunia melonjak, nah ketika harga minyak dunia anjlok kenapa harga BBM di dalam negeri tidak turun-turun?

Sekadar catatan, harga minyak dunia terus menyusut. Seperti pada perdagangan Jumat (22/08/2020), terjadi pelemahan karena turunnya permintaan sebagai dampak pandemi Covid-19. 

Kita berharap daripada terlalu memaksakan mempermalukan rakyat, lebih baik menguatkan sosialisasi dan pemahaman masyarakat terhadap BBM.

Lagi-lagi ini masalah persepsi. Masyarakat hanya diajarkan bahwa premium adalah BBM bersubsidi tanpa tahu hitung-hitungan bagaimana dan kenapa disubsisi pemerintah.

Jika menggunakan standar harga minyak dunia, rasanya masyarakat yang memberikan subdisi kepada pemerintah dengan harga minyak yang mahal.

Juga beredar itu liar bahwa premium lebih baik dari pertalite. Nah, kenapa tidak fokus membranding pertalite dan sejenisnya bahwa ini lebih baik dengan bukti dan alasan yang benar jika memang itu suatu kebenaran.

Yang terakhir adalah terkait konsistensi kebijakan.

STNK dan faktur pajak kendaraan bermotor harusnya juga mengubah jenis bahan bakar yang tertulis di dokumen tersebut.

Sejak Pertamax dan Pertalite lahir pada 1999 dan 2015, semua dokumen STNK dan faktur pajak tetap menuliskan bahan bakar bensin, premium atau solar.

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Riset Natural Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved