Kisah Keganasan 'Bujang Senang,' Buaya Raksasa yang Berhasil Ditaklukkan dengan Paku
Serangan ini mengingatkan kita pada kisah Bujang Senang, seekor buaya yang pernah meneror wilayah sungai Batang Lupar pada tahun 1940-an.
Jenazahnya dan istrinya dibiarkan tenggelam di sungai, tetapi entah mengapa dewa yang berada di sungai itu mengutuk tubuh Simalungun menjadi buaya raksasa , yang diidentifikasikan dengan garis putih di punggungnya .

Sejak saat itu, buaya yang disebut 'Bujang Senang' itu meneror keturunan para pembunuhnya yang tinggal di dekat Batang Lupar.
Tapi kenapa disebut 'Bujang' (bujangan) padahal menurut mitos, Simalungun sudah menikah?
“Nama sehari-hari 'bujang' berarti seseorang yang adalah seorang juara, orang yang hebat, dan itu adalah tanda penghormatan untuk memanggil seorang pria bujang."
"Jadi reptil liar ini disebut bujang sebagai tanda penghormatan. ” - Indet Sanabong , Dukun Buaya. Kutipan dari Kosmo.
Masa kejayaan Bujang Senang konon terjadi pada tahun 1940-an, namun setelah itu cerita tentang kekejamannya mereda untuk sementara waktu.
Pada 1980-an, Bujang Senang kembali bangkit.
Bujang Senang mengamuk lagi, tapi kali ini dikalahka dengan peluru paku.
Pada kedatangannya kembali pada tahun 1982 , korban dilaporkan pertama Bujang Senang adalah Lurah Bangan dari Pali Longhouse di Sri Aman.
Konon kepala desa itu diserang saat sedang memancing udang di tepi sungai.
Kakaknya, Kebir, yang saat itu bersamanya, gagal menyelamatkannya.
Tapi dia melihat garis putih di punggung buaya, membuatnya percaya bahwa yang mereka hadapi adalah Bujang Senang yang legendaris.
Setelah kejadian itu, polisi setempat melancarkan 'Operasi Buaya Ganas' di semua sungai besar di Sarawak, tetapi mereka tidak dapat menemukan Bujang Senang.
Bujang Senang terus mengamuk, dan antara tahun 1982 dan 1991 diyakini ada 13 orang yang menjadi korban amukan binatang raksasa itu.
Kekuasaan terornya mencapai puncaknya pada Mei 1992, ketika binatang itu menyambar korbannya yang ke-14.