G30SPKI
Sejarah G30S/PKI di Aceh: Kekerasan Rasial Menyasar Etnik Tionghoa, Puluhan Ribu Melarikan Diri
Panglima Militer Aceh (Kodam I/Iskandar Muda), Ishak Djuarsa mengambil tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM - Seiring gerakan anti-PKI yang diusung Angkatan Darat Indonesia (TNI), sentimen anti-China juga berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan termasuk di Aceh.
Warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding sebagai pendukung, bahkan, anggota PKI itu sendiri.
Telegram Kedutaan AS untuk Kemenlu 12 November 1965 menyebutkan,
"90 persen toko-toko milik orang Tionghoa di Makassar dijarah dan dihancurkan pada kerusuhan 10 November yang dilakukan hampir seluruh penduduk."
• Disebut Terlibat PKI Karena Menari Genjer-Genjer, Ibu Warisi Dosa Turunan ke Anak hingga Cucu
Bahkan lebih jauh lagi, alat-alat produksi milik orang Tionghoa diambil paksa tentara.
Dalam kabel diplomatik untuk Kemenlu pada 7 Desember 1965 memuat informasi bahwa, aset orang Tionghoa disita tentara.
Menteri Pertanian pada masa itu, Sudjarwo mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.
• Terungkap Sosok Pembunuh Jenderal TNI dalam Tragedi G30S/PKI, Ada Video Rekaman Dokumenter Langka
Apa yang Diketahui tentang Kekerasan Anti-Tionghoa di Aceh Selama Penumpasan PKI berlangsung?
Telah dibuktikan dalam literatur bahwa, kekerasan ditujukan secara khusus menargetkan komunitas etnis Tionghoa di Aceh selama periode penumpasan PKI.
• BERITA POPULER - Tawaran Pinjaman Online, Indonesia Resesi, Anggota DPRD Bandar Narkoba
Dalam Jurnal Jess Melvin (2013) yang berjudul, Why Not Genocide? Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965–1966.
Seperti yang dijelaskan Charles Coppel dalam studinya tahun 1983, yang berjudul, Etnik Tionghoa Indonesia dalam Krisis,
“Tanda paling serius dari (prasangka anti-Tionghoa yang muncul ke permukaan) adalah di Aceh, di mana ribuan orang Tionghoa diusir dari provinsi (Aceh) di Lhokseumawe, Aceh Utara, tekanan besar diterapkan pada Tionghoa asing (dari April 1966)”
Setelah pengusiran yang kejam ini, Panglima Militer Aceh (Kodam I/Iskandar Muda), Ishak Djuarsa mengambil tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya,
dengan mengeluarkan perintah pengusiran "semua orang Tionghoa asing" untuk meninggalkan provinsi Aceh pada tanggal 17 Agustus 1966.