Breaking News

KPK Khawatir Publik Curiga, Mahkamah Agung Sunat Lagi Hukuman Koruptor

Menanggapi fenomena memprihatinkan tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menegaskan, menghargai dan menghormati independensi kekuasaan kehakiman.

KOMPAS / AGUS SUSANTO
Boneka didandani koruptor dimasukkan dalam jeruji besi proyek jalan yang terbengkalai di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (13/12). Kritikan terhadap pelaku koruptor terus disuarakan oleh aktivis untuk mendorong tindakan lebih tegas dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lainnya. (KOMPAS / AGUS SUSANTO) 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) kembali memberikan potongan hukuman kepada koruptor.

Kali ini terpidana kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik Irman dan Sugiharto.

Putusan MA tersebut menambah panjang daftar terpidana korupsi yang hukumannya mendapat diskon dari Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali (PK).

Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2019 hingga saat ini, terdapat 20 perkara korupsi yang ditangani lembaga antikorupsi yang hukumannya dikurangi melalui putusan PK MA.

Menanggapi fenomena memprihatinkan tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menegaskan, menghargai dan menghormati independensi kekuasaan kehakiman.

Ini Nama 20 Koruptor Masa Hukumannya Dipangkas Mahkamah Agung, OC Kaligis hingga Patrialis Akbar

Najib Razak Terbukti Sebagai Koruptor, Didenda Rp 732 Miliar dan Dihukum 12 Tahun Penjara

Sempat Gegerkan Publik, Yasonna Laoly Ungkap Sosok yang Memberinya Ide Membebaskan Napi Koruptor

Namun, Nawawi yang juga berlatar hakim, khawatir maraknya sunatan massal hukuman koruptor memunculkan kecurigaan publik akan tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi.

Untuk itu, ia meminta MA menyampaikan argumentasi dan jawaban dalam putusan-putusannya, terutama dalam putusan PK yang mengurangi hukuman koruptor.

"Dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya Mahkamah Agung dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusannya, khususnya putusan Peninjauan Kembali (PK), yaitu legal reasoning 'pengurangan' hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi," kata Nawawi dalam keterangannya, Selasa (29/9/2020).

Argumentasi MA dalam putusannya penting disampaikan kepada publik lantaran fenomena sunatan massal hukuman koruptor melalui putusan PK marak terjadi setelah MA ditinggal oleh sosok Hakim Agung Artidjo Alkotsar yang kini bertugas sebagai Dewan Pengawas KPK.

Nawawi khawatir, pengurangan hukuman koruptor ini memunculkan anekdot 'bukan soal hukumnya tapi siapa hakimnya'.

Residivis Ini Ternyata Napi yang Mendapat Asimilasi Covid-19 dari Lapas Kelas IIB Langsa

Pasien Covid-19 Terus Meningkat, Kapolres Gayo Lues Tinjau Kesiapan RSUD Muhammad Ali Kasim

Amnesty International Tutup Kegiatan di India, Rekening Bank Dibekukan oleh Pemerintah.

"Terlebih putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini, marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artidjo Alkostar. Jangan sampai memunculkan anekdot hukum 'bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya'," ujarnya.

MA menyunat hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terpidana korupsi proyek e-KTP, Irman dan Sugiharto, melalui putusan PK.

"Permohonan PK Pemohon/Terpidana Sugiharto dikabulkan oleh MA dalam tingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi kemarin.

Dalam amar putusannya, Majelis PK MA menjatuhkan hukuman 10 tahun pidana penjara terhadap Sugiharto yang merupakan mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemdagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP.

Hukuman tersebut berkurang lima tahun dari putusan Kasasi yang menjatuhkan hukuman 15 tahun pidana penjara terhadap Sugiharto.

Sumber: Tribunnews
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved