Luar Negeri

HRW Ungkap Penderitaan Etnis Rohingya, Disiksa dan Dibunuh Jika Kabur dari Kamp

Pasalnya mereka menganggap kondisi kamp tersebut masih “tidak dapat ditinggali” setelah didirikan sejak delapan tahun lalu.

Editor: Faisal Zamzami
SERAMBI/ZAKI MUBARAK
Puluhan wanita Etnis Rohingya, tertidur setelah terdampar di Pantai Ujong Blang Lhokseumawe, Senin (7/9/2020). 

SERAMBINEWS.COM, RAKHINE - Para aktivis hak asasi manusia (HAM) telah membuat seruan terbaru baru kepada Myanmar untuk menutup kamp-kamp penahanan Rohingya.

Pasalnya mereka menganggap kondisi kamp tersebut masih “tidak dapat ditinggali” setelah didirikan sejak delapan tahun lalu.

Sekitar 130.000 Muslim Rohingya tinggal di 24 kamp di negara bagian Rakhine, Myanmar, sebagaimana dilansir dari Sky News, Kamis (8/10/2020).

Mereka tinggal di sana karena dipaksa keluar dari rumah mereka oleh Pemerintah Myanmar pada 2012.

Dalam laporan terbaru, Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa kamp-kamp tersebut dianggap sebagai “penjara terbuka".

HRW mengklaim bahwa etnis Rohingya akan disiksa dan dibunuh jika kedapatan berada di luar kamp tersebut.

Sementara itu, jika mereka tetap tinggal di dalam kamp, etnis Rohingya dihadapkan dengan kekurangan gizi, penyakit, kematian ibu dan anak, dan kebrutalan penjaga.

Dokumen setebal 169 halaman ini didasarkan pada 60 wawancara dengan Muslim Rohingya dan Muslim Kaman, serta 100 dokumen dari pemerintah, PBB, dan LSM.

Seorang pria Rohingya mengatakan kepada HRW bahwa kamp tersebut tidak bisa ditinggali lagi oleh mereka.

Sementara itu, seorang wanita Rohingnya yang diwawancarai mengatakan Pemerintah Myanmar sengaja membuat sistem tersebut permanen.

“Tidak ada yang akan berubah. Ini hanya bualan,” kata wanita tersebut dalam laporan yang diterbitkan HRW.

Dandim 0102/Pidie Target Rehab 2 Rumah Warga Miskin di Padang Tijie Tuntas 8 Hari, TMMD Ke-109

Korea Utara Punya Rudal Bisa Jangkau New York, Bisa Hancurkan Pangkalan Militer Amerika Serikat

Pada 2017, Pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, berjanji untuk menutup kamp-kamp tersebut pada 2017.

Namun janji tersebut urung terlaksana.

Pada 2019 mereka mengadopsi strategi yang mereka namakan Strategi Nasional Premukiman Kembali Orang-Orang yang Terlantar Secara Internal (IDP) dan Penutupan Kamp-kamp IDP.

Tapi sejak saat itu, belum ada tanda-tanda penutupan kamp-kamp Rohingnya.

Sebagai gantinya para petugas telah membangun bangunan permanen agar Rohingya tinggal di sana hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Selain jam malam yang ketat yang membatasi kebebasan bergerak, penduduk juga tidak diberi pendidikan dan perawatan kesehatan.

 Lapora HRW juga menambahkan akses bantuan kemanusiaan dan persediaan makanan juga diblokir.

Beberapa warga Rohingnya mengatakan kehidupan mereka di kamp-kamp itu sama halnya sebagai seorang pesakitan.

"Kehidupan di kamp sangat menyakitkan. Tidak ada kesempatan untuk bergerak dengan bebas. Kami tidak memiliki apa pun yang disebut kebebasan,” kata seorang pria Rohingnya dalam laporan HRW.

Shayna Bauchner, penulis laporan tersebut, mengatakan Pemerintah Myanmar telah menahan 130.000 Rohingya dalam kondisi tidak manusiawi selama delapan tahun.

 Mereka terputus dari rumah, tanah, dan mata pencaharian mereka dengan sedikit harapan bahwa keadaan akan kembali membaik.

"Klaim pemerintah bahwa mereka tidak melakukan kejahatan internasional yang paling parah akan menjadi hampa sampai mereka memotong kawat berduri dan memungkinkan Rohingya untuk kembali ke rumah mereka, dengan perlindungan hukum penuh,” tulis Bauchner.

Dia juga meminta badan-badan internasional dan pemerintah asing untuk mengutuk apa yang dia gambarkan sebagai "apartheid" terhadap etnis Rohingya.

Ratusan ribu lebih Muslim Rohingya tinggal di kamp serupa di negara tetangga, Bangladesh. Sementara yang lain melarikan diri dengan perahu ke negara-negara lain seperti Indonesia.

Nasib Kelompok Rohingya Setelah 3 Tahun Eksodus dari Tanah Kelahiran

Tiga tahun lalu, militer Myanmar membakar habis desa Rohingya di Kan Kya dan membuldoser sisanya.

Tahun lalu, pemerintah menghapus namanya dari peta resmi, menurut PBB.

Kan Kya terletak sekitar 5 km dari Sungai Naf yang menandai perbatasan antara negara bagian Rakhine Myanmar dan Bangladesh.

Kan Kya adalah rumah bagi ratusan orang, sebelum tentara mengejar 730.000 Rohingya keluar dari negara itu pada 2017 dalam apa yang oleh PBB digambarkan sebagai "contoh buku teks tentang pembersihan etnis."

Militer Myanmar, yang sekarang menghadapi tuduhan genosida, mengatakan sedang melakukan "operasi pembersihan" yang menargetkan militan, seperti yang dikutip dari Reuters pada Jumat (11/9/2020).

Tempat Kan Kya pernah berdiri, sekarang ada puluhan bangunan pemerintah dan militer termasuk pangkalan polisi yang luas dan berpagar, menurut gambar satelit yang tersedia untuk umum di Google Earth.

Desa di daerah terpencil di barat laut negara yang tertutup bagi orang asing, terlalu kecil untuk dinamai di Google Maps.

Pada peta yang diproduksi pada 2020, oleh unit pemetaan PBB di Myanmar, yang dikatakan didasarkan pada peta pemerintah Myanmar, situs desa yang hancur sekarang tidak bernama dan diklasifikasikan kembali sebagai bagian dari kota terdekat Maungdaw.

Unit tersebut membuat peta untuk penggunaan badan-badan PBB, seperti badan pengungsi UNHCR, dan kelompok kemanusiaan yang bekerja dengan PBB di lapangan.

Kan Kya adalah satu dari hampir 400 desa yang dihancurkan oleh militer Myanmar pada 2017, menurut gambar satelit yang dianalisis oleh Human Rights Watch yang berbasis di New York.

Selain itu, salah satu dari setidaknya puluhan yang namanya telah dihapus.

"Tujuan mereka adalah agar kami tidak kembali," kata pemimpin agama Mohammed Rofiq, mantan ketua desa dekat Kan Kya yang sekarang tinggal di kamp pengungsi di Bangladesh yang menceritakan tentang pemerintah Myanmar.

Kementerian Kesejahteraan Sosial, Departemen Administrasi Umum (GAD), yang mengawasi kegiatan pembangunan kembali Myanmar di negara bagian Rakhine, menolak menjawab pertanyaan dari Reuters tentang penghapusan nama desa atau kebijakan pemerintah terkait kembalinya pengungsi Rohingya.

Perwakilan pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh penasihat negara Aung San Suu Kyi, juga menolak untuk menanggapi.

Departemen peta PBB telah menghasilkan setidaknya 3 peta sejak awal tahun yang menunjukkan sejumlah nama desa Rohingya telah hilang atau diklasifikasikan ulang oleh Myanmar.

PBB mengatakan telah menghapus beberapa peta negara bagian Rakhine dari situs webnya pada Juni.

Kemudian, memulai studi untuk menilai dampak kebijakan pemerintah terhadap penduduk desa dan pengungsi yang kembali setelah Organisasi Nasional Rohingya Arakan, sebuah kelompok hak-hak Rohingya yang berbasis di Inggris, mengeluh kepada PBB tentang penghapusan nama desa.

PBB mengatakan studi tersebut belum mencapai kesimpulan apapun.

Yanghee Lee, mantan utusan hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, mengatakan pemerintah sengaja mempersulit para pengungsi untuk kembali ke tempat-tempat tanpa nama dan tidak ada bukti bahwa mereka pernah tinggal di sana.

“Ini cara untuk memusnahkan identitas dasar mereka,” katanya.

 Lee juga mengatakan bahwa PBB terlibat dalam hal itu terjadi dengan tidak menentang pemerintah Myanmar.

“Tidak ada kepemimpinan yang akan berkata, 'Tunggu sebentar, tanggung jawab berhenti di sini, kami tidak akan membiarkan ini berlanjut',” ujarnya.

Beberapa pejabat PBB yang diwawancarai oleh Reuters menolak untuk secara langsung membahas mengapa PBB tidak mengajukan keberatan atau mencoba menghentikannya.

Ola Almgren, kepala misi PBB untuk Myanmar, mengatakan dia tidak mengangkat masalah penghapusan nama desa dengan pemerintah Myanmar, tapi mengatakan dia telah mendesak pemerintah Myanmar untuk menciptakan "kondisi yang kondusif" bagi pemulangan pengungsi.

Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengatakan penggolongan ulang beberapa desa sebagai bangsal adalah "prosedur administrasi rutin."

Unit pemetaan PBB "menggunakan nama resmi pemerintah tempat untuk menghindari kebingungan di antara pekerja bantuan dan pejabat pemerintah di lapangan," kata Guterres.

"Praktik PBB yang berdiri di seluruh dunia adalah menggunakan nama tempat yang ditunjuk secara resmi untuk semua peta dan produk yang didistribusikan secara publik," lanjutnya.

Dujarric mengatakan bahwa mengubah status hukum desa dapat menjadi "lapisan kerumitan tambahan" bagi pengungsi yang mengklaim kembali rumah mereka sebelumnya, tanpa memberikan rincian.

Bupati Abdya Berikan 50 Hektare Lahan Eks HGU PT CA kepada BKM Agung Baitul Ghafur

Presiden Jokowi Didesak Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja

Lagi, Empat Wanita Rohingya Kembali Kabur dari Pengungsian Sementara di BLK Lhokseumawe

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Penderitaan Etnis Rohingya, "Disiksa dan Dibunuh" Jika Kabur dari Kamp"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved