Luar Negeri
Perang Armenia dan Azerbaijan Tak Kunjung Usai, Pemicunya Perbedaan Pandangan Sejarah
Perbedaan pandangan sejarah yang sangat jauh menghalangi pencarian solusi dalam konflik paling sulit yang ditinggalkan oleh runtuhnya Uni Soviet.
Namun, ketika Uni Soviet mulai hancur, sebuah republik yang memisahkan diri diumumkan dan perang pecah.
Bangsa Armenia muncul sebagai pemenang dengan gencatan senjata yang akhirnya disepakati.
Dengan ratusan ribu orang Azerbaijan mengungsi dari Karabakh dan 7 wilayah sekitarnya di Azerbaijan yang diduduki oleh pasukan Armenia, penduduk Karabakh sekarang hampir seluruhnya adalah orang Armenia.
Meski begitu, Nagorno-Karabakh tidak pernah mendapatkan pengakuan kemerdekaannya oleh negara lain, termasuk Armenia sendiri.
"Posisi Armenia dan Azerbaijan begitu mengakar, sehingga komunitas internasional memiliki sedikit pengaruh praktis atas mereka," kata Nicu Popescu, direktur program Eropa Lebih Luas di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.
Dia mengatakan skenario yang paling mungkin bukan mengakhiri siklus konflik atau kemenangan militer langsung, tetapi lebih banyak perang di masa depan untuk "membagi" wilayah.
Kedua belah pihak telah menggandakan posisi mereka sejak pertemuan di Munich.
"Kami harus kembali ke sana (Karabakh)," kata Aliyev di akhir pekan, menggambarkannya sebagai "tanah kami".
Dalam kunjungan ke Karabakh pada Agustus, Pashinyan bahkan telah menyerukan unifikasi dengan Armenia, menyatakan "Artsakh (Karabakh) adalah Armenia, dan hanya itu."
Retorika Amarah
Kedua belah pihak juga menyebarkan pandangan sejarah yang selektif, dengan fokus pada kekejaman yang dilakukan oleh pihak lain sambil mengabaikan kekejaman mereka sendiri.
Orang-orang Armenia mengingat pogrom di Sumgait di Azerbaijan ketika massa mengamuk pada Februari 1988, menyebabkan sedikitnya 26 orang Armenia tewas.
Namun, di Khojaly pada 1992, orang-orang Armenia menembaki warga sipil yang melarikan diri dalam pembantaian yang menurut Azerbaijan menewaskan ratusan orang.
Sejak gencatan senjata mengakhiri gejolak terakhir dalam pertempuran pada 2016, "proses perdamaian telah terhenti secara virtual dengan meningkatnya retorika kemarahan," kata para analis di International Crisis Group.
Peran dari Turki, sekutu utama Azerbaijan, menimbulkan masalah lain karena orang-orang Armenia membenci negara Turki modern karena penolakannya untuk mengakui pembantaian orang-orang Armenia di Kekaisaran Ottoman sebagai genosida.