Opini

Investasi Kesehatan Jiwa Menuju Insan Paripurna  

Pandemi Covid-19 terus bergulir tanpa bisa diprediksi secara pasti kapan akan berakhir. Dampak yang dirasakan bukan hanya mengancam kesehatan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Investasi Kesehatan Jiwa Menuju Insan Paripurna   
IST
dr. Humaira, ASN pada Rumah Sakit Jiwa Aceh, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unsyiah

Oleh dr. Humaira, ASN pada Rumah Sakit Jiwa Aceh, Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unsyiah

Pandemi Covid-19 terus bergulir tanpa bisa diprediksi secara pasti kapan akan berakhir. Dampak yang dirasakan bukan hanya mengancam kesehatan masyarakat secara fisik saja, namun juga secara psikis. Masalah kesehatan jiwa yang terjadi selama pandemi disebabkan karena masyarakat dikelilingi oleh keadaan yang tidak pasti, kecemasan, isolasi, kegelisahan, kemiskinan, dan kematian.

Begitu banyak berita buruk yang diterima, membuat masyarakat cemas akan kehidupan diri mereka sendiri, keluarga, teman terdekat, dan bahkan lingkungan sekitarnya. Berita di media sosial yang berbeda- beda sumbernya juga memperparah rasa ketakutan di masyarakat.

Bagi sebagian orang, rasa stres dan cemas menghadapi pandemi ini bisa sampai mengganggu kehidupan sehari-hari dan berlanjut menjadi gangguan jiwa. Terlebih jika sebelumnya seseorang telah memiliki riwayat cemas, depresi, serangan panik, atau gangguan jiwa lainnya.

Peningkatan jumlah orang dengan masalah kesehatan jiwa setelah adanya Covid-19 ini memang belum terekam jelas secara statistik di Indonesia. Data tentang mereka yang mengalami masalah kesehatan jiwa akibat pandemi ini belum terpetakan sebagai dasar untuk membuat kebijakan lebih lanjut. Namun, beberapa negara sudah mengukur dampak Covid-19 terhadap kesehatan jiwa.

Amerika Serikat melaporkan sebanyak 33% warga negaranya mengalami masalah pada kesehatan jiwa, Kanada dan Inggris sebanyak 26%, sedangkan India melaporkan permasalahan kesehatan jiwa meningkat sebanyak 20%

Beberapa kelompok yang rentan mengalami masalah psikis selama pandemi ini adalah anak-anak, lansia, dan tenaga kesehatan. Perubahan drastis dirasakan untuk anak-anak usia sekolah yang dipaksa beradaptasi dengan belajar dari rumah, berkurangnya kontak fisik dengan guru dan teman serta perasaan cemas akan masa depan mereka. Orang tua usia lanjut merasa cemas dengan kondisi kesehatan fisik mereka apabila terpapar Covid-19.

Tenaga kesehatan memberikan pelayanan diliputi rasa ketakutan membawa virus saat pulang ke rumah. Masyarakat mengalami kegamangan dalam menghadapi tatanan kehidupan baru yang penerapannya terlihat gampang tetapi susah dilaksanakan. Dampak secara psikologis ini sering kali dilupakan bahkan kalah gaung dari dampak ekonomi. Padahal, apabila tidak dikelola dengan baik maka efek jangka panjang akan terasa lebih berat. 

Data The Lancet Commission on Global Mental Health and Sustainable Development menyebutkan bahwa banyak orang yang dulu berhasil mengatasi stres, sekarang kurang mampu mengatasinya karena berbagai stresor yang ditimbulkan oleh pandemi. Semua ini bisa dimaklumi mengingat banyaknya ketidakpastian dan tekanan yang dihadapi jauh lebih berat, lebih banyak, dan lebih lama. Berbagai jurnal menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif kuat antara cemas dengan imunitas tubuh. Imunitas yang rendah akan mempermudah virus menyerang seseorang bahkan memperparah penyakit yang ada.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan jiwa merupakan salah satu bidang kesehatan yang sering terabaikan baik dari segi anggaran maupun penyediaan sumber daya manusianya. Rata-rata negara di dunia hanya mengalokasikan dana untuk kesehatan jiwa sebesar 2% dari anggaran kesehatan. Padahal, kenyataan di dunia selama ini satu miliar orang hidup dengan gangguan jiwa, tiga juta orang meninggal setiap tahun karena penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri.

Dan sekarang, miliaran orang di seluruh dunia telah terkena dampak psikologis akibat pandemi. Alokasi anggaran tersebut tidak sebanding dengan angka kejadian gangguan jiwa dan dampak yang ditimbulkannya.

Saat ini investasi dalam program kesehatan jiwa menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Investasi ibaratnya sebagai tabungan pembangunan untuk masa depan yang lebih baik. Melihat dampak pandemi begitu besar maka anggaran untuk kesehatan jiwa haruslah dialokasikan lebih proporsional. Diperlukan terobosan baru dalam kesehatan jiwa, sehingga berdiri sejajar dengan kesehatan fisik dan pendidikan.

Program utamanya difokuskan untuk program promotif dan preventif, bukan hanya kuratif. Sasaran investasi terutama adalah pada sumber daya manusia untuk kesehatan jiwa baik keluarga, masyarakat, juga tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas dari tingkat primer

Sesuai rekomendasi dari beberapa akademisi Universitas Indonesia terdapat beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi masalah kesehatan jiwa terkait pandemi ini. Dukungan dan partisipasi dari masyarakat tentunya menjadi modal utama dalam melaksanakan upaya tersebut. Pertama menyediakan sumber daya kesehatan jiwa bahkan di tingkat gampong. Salah satu tugasnya melakukan pengamatan atau surveilans masalah kesehatan jiwa.

Surveilans ini berguna selain sebagai sumber data juga untuk alat deteksi dini masalah kesehatan jiwa di masyarakat. Upaya kedua memberi dukungan dan pemdampingan psikososial bagi kelompok usia produktif dan kelompok rentan lainnya. Pendampingan ini terutama diperlukan dalam proses adaptasi menghadapi tantangan tatanan kehidupan baru yang serba tidak pasti.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved