Berita Politik

Benarkah Cuti Dihapus dan Jam Kerja Bisa Lebih Lama? Begini Isi UU Cipta Kerja

Pada Pasal 81 Omnibus Law UU Cipta Kerja. Di bagian tersebut, hanya tercantum aturan enam hari kerja dalam sepekan bagi para pekerja.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
ILUSTRASI - Massa aksi bersitegang dengan aparat kepolisian saat demonstrasi di Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berakhir ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menghapus ketentuan lima hari kerja dalam sepekan. Sebelumnya diatur dalam Pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 77 ayat (2) disebutkan jam kerja maksimal dalam sepekan adalah 40 jam. Namun, lembur harus mendapat persetujuan antara pengusaha dengan pekerja. Hal ini tertuang dalam Pasal 78:
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Berbeda dari Pasal 78 ayat 1 butir b UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu. Tapi, Omnibus Law mengubah lembur menjadi paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.
Cuti

Pasal 79 ayat 1 UU Cipta Kerja, pengusaha tetap wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada buruh. Cuti paling sedikit diberikan selama 12 hari usai pekerja bekerja 12 bulan secara terus menerus. Sedangkan ketentuan haid dan melahirkan tetap mengacu pada Pasal 81 dan 82 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 79:
(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.

Baca juga: 12 Instruksi Kapolri Idham Azis soal Larangan Demonstrasi Buruh Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Baca juga: Polisi Jatuhkan Gadis 12 Tahun Saat Demonstrasi, Akibatnya Picu Kemarahan Baru di Hong Kong

Baca juga: Pengamat: Jokowi Dulu Dipilih Buruh, Sekarang Menghindar, KSP: Presiden Tak Lari dari Demonstrasi

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
Kerja Bersama.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Celah Aturan 6 Hari Kerja dalam Seminggu

Pada Pasal 81 Omnibus Law UU Cipta Kerja. Di bagian tersebut, hanya tercantum aturan enam hari kerja dalam sepekan bagi para pekerja.

"Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi pasal tersebut. Pasal ini memberi celah bagi pemberi kerja untuk menambah hari kerja pekerja.
Tidak Memberikan Kepastian Pengangkatan Sebagai Pegawai Tetap

Pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Dalam Omnibus Law, batasan perpanjangan waktu kontrak ini yang dihapus. Ketentuan lebih lanjut hanya diatur Peraturan Pemerintah (PP)

Pasal 59

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved