Internasional

Erdogan Menilai Rusia Tak Ingin Perdamaian di Suriah, Jet Tempur Gempur Pemberontak Dukungannya

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Rabu (28/10/2020) mengecam keras Rusia karena melakukan serangan udara yang menewaskan puluhan pemberontak

Editor: M Nur Pakar
AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berbicara dalam konferensi pers di Ankara, Turki, Senin (26/10/2020). 

Menurut Samuel Ramani, seorang analis Timur Tengah di Universitas Oxford, Rusia semakin khawatir Turki mungkin meningkatkan dukungan untuk kelompok dan organisasi pemberontak yang dipandang Moskow sebagai ekstremis.

Serangan udara Rusia terbaru menunjukkan Moskow bersedia mendorong Turki untuk mendukung ekstremisme, katanya kepada Arab News.

Namun, Orwa Ajjoub, peneliti afiliasi di Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Lund di Swedia, mengatakan serangan udara terhadap pemberontak yang didukung Turki harus dilihat sebagai bagian dari konflik yang lebih luas antara kedua negara.

"Ankara dan Moskow gagal tiga kali mempertahankan gencatan senjata permanen di Nagorno-Karabakh, di mana kedua aktor tersebut masing-masing mendukung negara berbeda, Azerbaijan dan Armenia," katanya kepada Arab News.

Ditambahkan, di Libya, sudah ada gencatan senjata permanen yang ditengahi PBB antara pasukan Jenderal Khalifa Hafter yang didukung Rusia, UEA dan Arab Saudi, dan pemerintah Kesepakatan Nasional yang didukung oleh Turki dan Qatar.

Warga Suriah mengambil bagian saat prosesi pemakaman 10 pejuang faksi pemberontak Faylaq al-Sham yang didukung Turki di Suriah, di kota barat laut Idlib, pada 26 Oktober 2020, setelah kematian mereka dalam serangan udara Rusia.
Warga Suriah mengambil bagian saat prosesi pemakaman 10 pejuang faksi pemberontak Faylaq al-Sham yang didukung Turki di Suriah, di kota barat laut Idlib, pada 26 Oktober 2020, setelah kematian mereka dalam serangan udara Rusia. (Mohammed AL-RIFAI / AFP)

Baca juga: FOTO - Prosesi Pemakaman Puluhan Pemberontak Suriah, Korban Serangan Udara Pesawat Tempur Rusia

Tetapi, katanya, juga disambut dengan kecurigaan dan kegelisahan, baik Ankara dan Moskow harus menarik tentara bayaran mereka dari negara itu sebelum mengamankan kemenangan yang menentukan.

Kementerian Luar Negeri Turki belum membuat pernyataan apa pun tentang serangan Rusia tersebut.

Selama kunjungan ke Athena pada Senin (26/10/2020), Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengomentari hubungan kedua negara, dengan mengatakan:

"Kami memiliki hubungan baik dengan Turki, tetapi bukannya tanpa masalah."

Namun, Ajjoub yakin Rusia berharap untuk mengubah kartu di Suriah dalam upaya menekan Turki di Nagorno-Karabakh dan Libya.

"Keputusan Rusia untuk melakukan serangan terhadap proxy utama Ankara dirancang untuk mengubah status quo di Idlib," katanya.

Sejak gencatan senjata 5 Maret 2020 antara Turki dan Rusia, Idlib telah relatif tenang tetapi serangan udara telah menanggngu kehidupan penduduk.

Serangan itu ditujukan untuk menggambar ulang peta barat laut Suriah, tambah Ajjoub.

Baca juga: Presiden Turki Tuntut Politisi Belanda Anti-Islam, Geert Wilders, Menggambarkannya Sebagai Teroris

“Turki, yang telah menunjukkan fleksibilitas dengan menarik pasukannya dari pos militer Morek, tampaknya tidak tertarik untuk menawarkan lebih banyak konsesi kepada Rusia.

"Dengan melakukan serangan yang begitu signifikan ke markas Faylaq Al-Sham, Rusia sebenarnya ingin mengingatkan Turki,'katanya.

Dsebutkan, konflik multi-front, terutama di Nagorno-Karabakh dan Libya, dapat dirusak di Suriah, di mana kekuatan militer Moskow tidak perlu dipersoalkan.

Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, berbicara dengan Lavrov melalui telepon pada Selasa (27/10/2020) tentang serangan udara Rusia menduduki puncak agenda Turki.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved