Tabayyun untuk Hasil MTQ
MUSABAQAH Tilawatil Quran (MTQ) sudah ada di Indonesia sejak 1940-an, ditandai berdirinya Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz oleh Nahdlatul Ulama
Oleh Tgk Akmal Abzal, SHI, Anggota Komisi Independen Pemilihan Aceh
MUSABAQAH Tilawatil Quran (MTQ) sudah ada di Indonesia sejak 1940-an, ditandai berdirinya Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz oleh Nahdlatul Ulama (NU), ormas terbesar di Indonesia. Sejak 1968, ketika Menteri Agama KH Muhammad Dahlan (salah seorang ketua Pengurus Besar NU), MTQ dilembagakan secara nasional.
MTQ pertama diselenggarakan di Makassar pada bulan Ramadhan tahun 1968. Kala itu hanya melombakan tilawah dewasa dan melahirkan qari terbaik nasional atas nama Ahmad Syahid dari Jawa Barat dan Muhammadong dari Sulawesi Selatan.
MTQ kedua di Banjarmasin pada 1969. Selanjutnya pada 1970 dilaksanakan MTQ ketiga di Jakarta, sangat meriah. Kini, sejarah MTQ sudah memasuki penyelenggaraan ke-28, yaitu di Kota Padang, Sumatera Barat, 12-21 November 2020. MTQ Nasional ke-28 di Padang menjadi unik dan berbeda dengan sebelumnya.
Even kali ini berlangsung di tengah wabah virus corona. Dampaknya sangat luas, bahkan termasuk dalam proses dan pelaksanaan MTQ. Dilematis ini bukan hanya dihadapi pemerintah, pengusaha, dunia pendidikan, ekonomi, agenda politik yang sedang berlangsung bahkan berdampak besar pada berbagai agenda keagamaan, seperti MTQ Nasional ke-28.
Pascapenglepasan kafilah Aceh ke MTQ Nasional di Padang oleh Gubernur Nova Iriansyah di Pendopo Gubernur Aceh, Senin 9 November 2020, doa dan harapan digantungkan kepada duta Aceh sebanyak 60 orang. Sesuatu yang manusiawi, harapan membawa pulang tropi juara, peringkat lebih tinggi. Keharuman nama Aceh dan lain-lain menjadi impian peserta, ofisial, pemerintah daerah dan juga masyarakat.
Impian serta harapan peserta yang dibarengi dengan semangat juang tinggi agar terwujud hasil maksimal di MTQ Nasional kali ini bukan sebatas asa tanpa dasar. Merujuk pada pergerakan peringkat MTQ Nasional dua periode sebelumnya menjadi keyakinan dan motivasi bagi kafilah Aceh untuk meraih target lebih baik di Padang.
Pada 2016, di MTQ Nasional di NTB, prestasi Aceh di peringkat 8 nasional. Dua tahun kemudian, pada MTQ Nasional 2018 di Medan, Sumatera Utara, prestasi kafilah Aceh naik satu tingkat atau di posisi 7 besar nasional. Bukankah hasil dua kali MTQ Nasional ini menjadi fakta yang patut menjadi modal keyakinan jika kafilah Aceh akan mampu menempatkan belasan finalis?
Ternyata, manusia berhak punya harapan, impian dan cita-cita tapi otoritas Allah 'azza wa jalla tak bisa diintervensi. Aceh hanya mampu mengirim satu peserta menembus final. Hasil akhirnya, peringkat tujuh berubah dratis ke posisi 20 nasional.
Sejak beredarnya Keputusan Dewan Hakim MTQ Nasional XXVIII Nomor 01/Kep.DH/MTQN-XXVIII/2020 tentang Penetapan Peserta Finalis pada Setiap Cabang dan Golongan MTQ Nasional XXVIII di Kota Padang, Rabu 18 November 2020, peserta, ofisial dan para pihak yang terlibat bahkan masyarakat Aceh khususnya, nyaris tak percaya. Jika bisa berharap, sungguh hasil itu cukup dialam mimpi saja, bukan kenyataan. Tetapi fakta tak bisa dibantah.
Yang lebih menyedihkan adalah, kondisi tak menguntungkan kafilah Aceh ini ditanggapi bukan dengan rasa prihatin dan empati, justru komentar dan sindiran pesimis, beragam tudingan, kecaman, hujatan, kritik dan teumeunak menghiasi media sosial. Banyak juga yang berujung ke personal dan jabatan.
Tabayyun
Harus diakui, media sosial bisa dimasukkan apa saja, bahkan sampah sekalipun. Tetapi, jangan mentang-mentang bisa apa saja, lalu yang marak justru perang caci maki nyaris tanpa sensor. Semuanya berlomba menjadi paling garang, paling `kritis, paling galak, dan paling banyak mendapat `like', bahkan bisa diviralkan.
Nah, kembali ke hasil MTQ Nasional ke-28 di Padang. Seharusnya kita tabayyun atas segenap hal karena bicara tanpa sensor dilarang Allah (QS. Al Hujurat 6 dan 12). Jika semua punya nurani, bisa konfirmasi kepada anggota kafilah Aceh yang notabenenya meraka adalah teman, anak, adik, dan sahabat kita semua.
Adakah upaya crosschek awal kepada para peserta terhadap kendala-kendala yang mereka hadapi? Adakah upaya kita mencari tahu bagaimana upaya persiapan pra, sedang, dan pasca MTQ? Motivasi apa dan siapa yang memberikan, stakholder mana dan sejauh mana mereka telah bekerja. Ya, sangat banyak yang harus dicari tahu. Bukan hanya melihat kegagalan mencetak gol tanpa mau tahu kenapa gol gagal dicetak. Ini penting karena tujuan kritik adalah untuk perbaikan.
Penghakiman sepihak amatlah berisiko pada penilaian subjektif dan tentu cara-cara seperti ini bukan karakter seorang muslim. Lebih disayangkan lagi jika komentator itu berbasis akademisi, tokoh agama, publik figur yang setiap ucapannya menjadi referensi bagi pengikutnya. Maka, statemen tanpa dasar, ungkapan berbau kebencian, kritik menjatuhkan adalah tindakan-tindakan prematur atau lebih tepatnya adalah primitif.
Dewasa ini setiap narasi dapat ditakar kadar intelektualitas dan objektifitasnya. Hal penting lagi, beragam komentar positif atau negatif terhadap suatu kasus maka rekam digitalnya tak akan pernah terhapus lagi. Maka penggunaan kalimat kritik dan saran sebaik mungkin berbasis narasi santun dan beretika.
Tulisan ini dibuat bukan menggiring para pihak berhenti mengkritik dan sumbang saran. Kita tentu sepakat tanpa kiritik maka perbaikan ke depan akan mustahil terjadi. Namun, sekali lagi kita saling mengingatkan, kritiklah secara konstruktif dengan semangat perbaikan pelbagai lini, termasuk di bidang MTQ.
Bagian dai usaha untuk mencapai hasil maksimal, misalnya pemerintah perlu memberi perhatian kepada peserta dengan reward lapangan kerja bagi yang mengukir prestasi. Ini bentuk motivasi yang sangat wajar dilakukan berbagai provinsi lainnya, termasuk Papua.
Selain itu, kita juga harus menjadi makhluk perasa. Artinya, cobalah `masuk' dan merasakan bagaimana terpukulnya mental para peserta ketika usaha dan kerja keras mereka tidak membuahkan hasil. Sudahlah terpukul karena gagal, ditambah lagi hujatan yang tak habis-habisnya. Ingat, adik-adik dan anak-anak kita itu adalah bagian dari kita, mereka jangan sampai terimbas `polusi' dari sampah medsos.
Kalau kita memang sepakat MTQ ke depan lebih baik, silakan berkonstribusi nyata selain retorika. Harus ada solusi dan saran perbaikan. Stop menohok individu karena orang juga bisa mempertanyakan konstribusi apa yang telah kita berikan. Jika semua memiliki semangat yang sama untuk kebajikan maka Dinas Syariat Islam Aceh sebagai leader di bidang MTQ ini mesti berani melakukan sesuatu yang ekstra.
Apakah perbaikan itu berawal dari sistem, SDM, dukungan anggaran, pelatihan atau fasilitas pendukung lainnya. Sesegera mungkin merespons masukan, kritik dan tanggapan masyarakat agar MTQN ke-29 pada 2022 Aceh bisa mengukir prestasi terbaik di tingkat nasional.
Jadikan setiap kritik sebagai cemeti dan bentuk kontrol publik atas penggunaan anggaran daerah.
Sebagai masyarakat kami bangga ketika peserta berani berangkat ke Padang dalam kondisi pandemi Covid-19. Mengutip pernyataan Kadis Syariat Islam Aceh menjelang keberangkatan kafilah ke Padang, ini juga seharusnya bahan renungan kepada kita. "Persiapan sudah oke, meskipun pembinaan secara tatap muka tidak dapat kita laksanakan karena kendala Covid-19. Anak-anak tetap berlatih rutin secara daring di bawah arahan pelatih masing-masing."
Akhirnya kita tahu bahwa agenda nasional seperti MTQ Nasional, apalagi di tengah wabah corona yang juga berdampak pada refocusing anggaran, perlu disikapi sebagai upaya positif dan plus minus. Tentu, segenap pihak bisa introspeksi diri dengan kondisi objektif ini.