Kupi Beungoh
Romantisasi Kerja Tanpa Pamrih
Pertanyaannya, mungkinkah manusia bekerja tanpa pamrih dan tidak terasing? Mungkin saja jika relasi kerja dan keadilan sosial ditata ulang
Oleh: Akhsanul Khalis
Di banyak tempat kerja, kata-kata motivasi kerap muncul justru ketika gaji terlambat atau beban kerja meningkat. Ketika ada yang mencoba menyuarakan keberatan, pimpinan segera mengutip dalil: “Bekerjalah dengan ikhlas, jangan terlalu hitung-hitungan dengan upah.”
Kalimat itu terdengar mulia, tapi juga peringatan halus: jangan banyak menuntut. Di balik ajakan moral itu, sering tersembunyi relasi kuasa yang membuat ketulusan menjadi beban, dan kerja yang seharusnya merupakan hak hidup, perlahan berubah menjadi kewajiban untuk terus mengalah.
Fenomena bekerja tanpa pamrih
Seperti diketahui dalam ruang sosial masyarakat kita: adat ketimuran, terutama yang tumbuh dalam tradisi komunal dan religius, kerja tanpa pamrih memang memiliki pijakan historis.
Banyak aktivitas sosial lahir bukan dari motif ekonomi, melainkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama. Membersihkan tempat ibadah, menjaga lingkungan kampung, atau mengajar di lembaga pendidikan keagamaan. Semua dilakukan tanpa menimbang upah. Kerja, dalam konteks ini, adalah bagian dari ibadah dan solidaritas sosial.
Imbalannya pun lebih bersifat immaterial: kehormatan, kebersamaan, ketenangan batin, hingga keyakinan akan pahala di akhirat.
Terkadang merasa malu kalau dicap matrealistis yang orientasinya uang. Di sini, kerja berfungsi sebagai penyucian diri dan pengikat komunitas, bukan hanya pertukaran tenaga dengan uang.
Kendati nilai kebersamaan dan pengabdian dijunjung tinggi, setiap orang saat ini juga tunduk diatur oleh rasa kepemilikan.
Melatih moralitas tanpa hasrat memiliki lebih bukan perkara mudah; ia memerlukan kerja batin yang panjang agar kepemilikan tidak berubah menjadi kerakusan. Nah, bagaimana melatih moralitas ini? Tentu agak terdengar klise.
Baca juga: Prompt Gemini AI Prewedding di Masjid Raya Baiturrahman Aceh,Modal Prompt Bisa Edit Foto Dimana Saja
Makna Kerja
Guna memahami makna kerja tanpa pamrih di era paling serba uang ini dapat dibaca melalui tahapan sejarah. Sejak kapitalisme menggantikan hubungan feodal, kerja mulai diperlakukan sebagai komoditas.
Sebagai konsekuensi historis yang lahir dari kepemilikan privat dan struktur kekuasaan. Kerja pun terfragmentasi dengan ragam spesialisasi. Masuk ke era revolusi industri di Inggris, spesialisasi kerja kerap dipuja sebagai simbol efisiensi modern.
Tujuan spesialisasi kerja guna menutupi kelangkaan sumber daya—scarcity—di tengah kebutuhan manusia yang tidak pernah berakhir.
Dari situ lahir semacam metafisika ekonomi: keyakinan bahwa efisiensi dan pembagian kerja adalah hukum alam (alamiah) kehidupan sosial.
Dalam mazhab ekonomi neo klasik, Adam Smith atau David Ricardo, menyebutnya sumber produktivitas dan kemakmuran, ketika setiap orang fokus pada tugasnya, masyarakat akan makmur bersama.
Akibatnya Individualisme yang kompetitif muncul di kemudian hari. Bekerja cerminan egosentrisme, potret siapa dirinya: identitas setiap individu, bentuk pembuktian dan penerimaan sosial. Orang akan merasa malu ketika gagal menunaikan kewajiban mencari nafkah.
| 3 Kuda Poni Kematian Finansial: Judi Online, Pinjol & Penipuan Menghancurkan Kelas Menengah Digital |
|
|---|
| Kisah Pilu Nelayan di Peukan Bada: Hidup di Gubuk Reot, Anak-anak Putus Sekolah |
|
|---|
| Rendah Mutu Dan Reputasi Kampus: Akibat Stagnasi Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi |
|
|---|
| Migas Aceh, Hantu di Bawah Tanah, Bayang-bayang di Atas Kemiskinan |
|
|---|
| Saat Perpustakaan Tak Lagi Jadi Tempat Favorit Anak Muda |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.