Luar Negeri
Prancis Deportasi 66 Imigran Ilegal, Ancam Tutup 76 Tempat Ibadah
Pemerintah Prancis mendeportasi 66 imigran tak berdokumen atau ilegal, yang terindikasi terkait gerakan ekstrem di negara itu.
SERAMBINEWS.COM, PARIS – Pemerintah Prancis mendeportasi 66 imigran tak berdokumen atau ilegal, yang terindikasi terkait gerakan ekstrem di negara itu.
Para imigran itu umumnya berasal dari negara-negara Afrika Utara yang dilanda konflik, serta pendatang dari Timur Tengah serta Asia Tengah.
Langkah yang belum terjadi sebelumnya itu menjadi bagian tindakan keras pemerintah terhadap apa yang disebut ekstremisme agama.
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, menambahkan, sebanyak 76 tempat ibadah atau pusat keagamaan dicurigai sebagai tempat persemaian gerakan ekstrem dan separatisme.
“Dalam beberapa hari mendatang, pemeriksaan akan dilakukan di tempat-tempat ibadah ini. Jika keraguan ini dikonfirmasi, saya akan meminta penutupannya," kata Darmanin di Paris, Kamis (3/12/2020).
Pemerintahan Presiden Emmanuel Macron menanggapi rentetan serangan mematikan di negara itu dengan janji menindak apa yang dikatakan Darmanin sebagai musuh di dalam negara.
Pada Oktober 2020, Macron menyusun rencana mengatasi apa yang disebutnya "separatisme Islam".
Macron menggambarkan Islam sebagai agama yang mengalami krisis di seluruh dunia.
Komentarnya itu memicu kemarahan umat Muslim di Prancis dan di dunia.
Aksi-aksi besar menentang Prancis berlangsung di Bangladesh, Pakistan, Jakarta, dan berbagai kota besar di Timur Tengah.
Baca juga: Pria Prancis Dihukum 25 Tahun Penjara, Terbukti Membunuh dan Membakar Istrinya Sendiri
Baca juga: Presiden Prancis Kritik The New York Times Atas Laporan Ekstremisme Islam
Prancis selama bertahun-tahun adalah rumah bagi populasi minoritas muslim terbesar di Eropa.
Negara itu juga jadi tempat favorit imigran dari Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan, hingga Amerika Selatan.
Langkah keras Prancis, meski sebelumnya pernah menerima serangan teror mematikan oleh kelompok radikal Islam, dipicu pembunuhan seorang guru, Samuel Paty di pinggiran Paris.
Paty dibunuh seorang pemuda berdarah Chechnya karena menunjukkan karikatur Charlie Hebdo di kelas sejarah sekolahnya.
Ia dicegat di jalan sepulang mengajar, lalu dipenggal kepalanya oleh pelaku.