Konflik Nelayan

Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan

Akibat konflik antarnelayan yang terjadi, pelaku pelanggaran dan pihak yang mengawasi, kini sama-sama terjerat hukum.

Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
Foto kiriman warga
Boat robin yang digunakan lima nelayan penyelam di Kabupaten Simeulue yang melakukan pelanggaran karena menggunakan kompressor. 

SERAMBINEWS.COM, SINABANG – Usaha memelihara ekosistem laut dengan melindunginya dari penggunaan alat tangkap yang dilarang oleh Pemerintah di Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PISISI) di Kabupaten Simeulue, memakan korban dari pihak nelayan.

Upaya melindungi kawasan perairan demi menyejahterakan nelayan yang digaungkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui pembentukan Pokmaswas, malah berujung konflik antarnelayan itu sendiri.

Pada Minggu (29/11/2020) dini hari, nelayan yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Air Pinang, terlibat bentrok fisik dengan nelayan dari desa tetangga yang melakukan pelanggaran karena menggunakan kompressor.

Informasi yang dihimpun Serambinews.com, lima nelayan yang menjadi korban masing-masing bernama Armada (52), Hamdan (30), Harus Jamil (40), Muldalami (25) dan Rusman (45), yang merupakan warga Desa Suka Maju dan Desa Ana A’o, Kecamatan Simeulue Timur.

Beberapa dari mereka mengalami luka serius di bagian mata, wajah dan kepala, akibat dugaan penganiayaan yang dilakukan nelayan anggota Pokmaswas Air Pinang.

Kejadian ini berawal saat kelima nelayan itu pergi mencari tripang dan lobster di perairan yang masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PISISI), pada Minggu (29/11/2020) sekitar pukul 02.00 WIB.

Mereka menyelam mencari tripang dan lobster menggunakan mesin kompressor sebagai alat pernapasan yang dihubungkan dengan selang, dan telah dilarang penggunaannya oleh Pemerintah. Karena terumbu karang sering kali rusak terbelit selang atau terinjak saat mereka beraktivitas di dasar laut, dan bisa menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian bagi nelayan itu sendiri.

Menjelang pukul 03.00 WIB, mereka didatangi anggota Pokmaswas Air Pinang yang melakukan pemantauan, dan sebelumnya sudah mendeteksi adanya pelanggaran penggunaan kompressor.

Menurut versi keluarga korban, pihak Pokmaswas langsung melemparkan jangkar ke perahu mereka dan mengenai wajah seorang korban bernama Armada, hingga wajah dan matanya mengalami cedera.

Perahu mereka pun ditarik paksa ke wilayah pantai Desa Air Pinang.

Sesampai di pantai, seluruh barang yang ada di boat disita, dan mereka dipukuli hingga seorang korban bernama Muldalami sempat tak sadarkan diri. Kemudian mereka pun dibawa ke rumah Panglima Laot setempat untuk diinterogasi dan ditahan di sana hingga pagi.

Paginya, sekitar pukul 08.00 WIB, Kepala Desa Suka Maju, Dahlinuddin yang juga mertua dari salah satu korban bernama Muldalami, datang ke rumah Panglima Laot Lhok Air Pinang, setelah mendapat pemberitahuan dari Kepala Desa Air Pinang.

Dahlinuddin pun membawa para nelayan yang menjadi korban penganiayaan itu ke RSUD Simeulue.

Tak terima dengan penganiayaan itu, ia kemudian melaporkan peristiwa ini ke Polres Simeulue.

“Benar bahwa nelayan kami menangkap ikan menggunakan alat kompressor. Tapi kami tidak bisa terima dengan tindakan pemukulan seperti ini,” kata Dahlinuddin yang dihubungi Serambinews.com, Jumat (4/12/2020) malam.

Sedangkan menurut versi pihak Pokmaswas Air Pinang, nelayan yang melakukan pelanggaran berusaha kabur, padahal sudah diingatkan melalui pengeras suara yang dibawa oleh tim Pokmaswas untuk menghentikan perahunya.

“Namun karena mereka tidak mau berhenti, kami melemparkan jangkar ke bagian depan perahu nelayan itu untuk mencegah mereka kabur, dan tanpa sengaja mengenai seorang nelayan di dalam perahu itu,” kata Boyon, Ketua Pokmaswas Air Pinang.

Mengetahui ada nelayan yang terluka karena terkena jangkar, mereka pun langsung membawanya dengan satu perahu anggota Pokmaswas ke Puskemas Pembantu (Pustu) Air Pinang untuk mendapat perawatan. Sedangkan empat nelayan lainnya  dibawa dengan perahu terpisah ke Desa Air Pinang.

Saat tiba dipantai, Boyon mengakui ada terjadi pemukulan oleh anggota Pokmaswas yang tersulut emosi. Namun beberapa warga bersama tokoh masyarakat langsung melerai dan mengendalikan situasi.

Selanjutnya, keempat nelayan itu diinapkan dengan layak di rumah Panglima Laot Lhok Air Pinang, dan paginya dijemput oleh Kepala Desa Suka Maju untuk dibawa ke RSUD guna mendapat perawatan.

Sementara, aparatur desa bersama pemangku adat dan tokoh masyarakat, bermusyawarah mencari penyelesaian secara damai.

Upaya Mediasi Gagal

Upaya untuk mendamaikan kedua pihak, sudah coba dilakukan yang difasilitasi pihak kepolisian, dengan melibatkan Muspika dan tokoh masyarakat dari masing-masing desa. Karena kedua pihak dianggap sama-sama melakukan kesalahan.

Pihak nelayan warga Suka Maju dan Ana A’o yang menjadi korban, melakukan kesalahan dengan melanggar hukum adat laot dan peraturan perundang-undangan terkait penggunaan kompressor. Sehingga bisa dijerat dengan hukum adat maupun hukum positif.

Sementara di pihak Desa Air Pinang juga melakukan kesalahan, karena ada warganya yang melakukan penganiayaan terhadap nelayan. Sehingga lima warga Desa Air Pinang yang diduga melakukan pemukulan pun kemudian ditahan oleh polisi.

Saat dilakukan mediasi pada Jumat (4/11/2020), pihak nelayan yang menjadi korban pemukulan menuntut uang damai hingga ratusan juta rupiah. Namun tuntutan itu tak sanggup dipenuhi oleh pihak Desa Air Pinang.

“Kami mau mengalah. Karena meskipun mereka melakukan pelanggaran, namun bagaimanapun pemukulan ini memang tidak selayaknya terjadi. Tapi untuk mencari uang ratusan juta rupiah dalam waktu yang singkat, kami tidak mampu,” kata Sahmal, Panglima Laot Lhok Air Pinang, kepada Serambinews.com, tadi malam.

Sementara itu,  dari pihak Desa Suka Maju juga mengisyaratkan bahwa proses hukum atas kasus ini tetap berlanjut. “Ya, sepertinya proses hukum berlanjut. Karena upaya mediasi tidak mencapai kata sepakat,” ujar Dahlinuddin, Kepala Desa Suka Maju yang menantunya turut menjadi korban pemukulan.

Hingga tadi malam, upaya mendamaikan kedua pihak itu belum berhasil, meski masih ada harapan jika saja para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten bersedia membantu menalangi “uang damai” yang diminta pihak Desa Suka Maju kepada pihak Desa Air Pinang.

Soal Kompressor dan Penertibannya

Panglima Laot Lhok Air Pinang, Sahmal, mengaku menyesal atas adanya peristiwa pemukulan itu, dan berharap kejadian ini tidak terulang lagi ke depannya.

Ia menyebutkan, peristiwa ini dipicu oleh adanya nelayan yang melakukan pelanggaran dalam menggunakan alat tangkap yang dilarang, yaitu soal penggunaan kompressor oleh nelayan pencari tripang dan lobster. Apalagi pelanggaran ini dilakukan di wilayah kawasan konservasi perairan (KKP PISISI) yang ditetapkan berdasarkan KepMen KP Nomor 78 tahun 2020.

Kompressor ini sebenarnya bukan alat tangkap ikan seperti pukat harimau atau semacamnya. Mesin kompres udara yang biasa digunakan oleh penambal ban ini, lebih digunakan sebagai alat bantu pernapasan, karena fungsinya mengisap dan menyimpan udara ke dalam tabung.

Udara bertekanan di dalam tabung kemudian disalurkan melalui selang untuk menyuplai oksigen kepada penyelam yang mencari tripang dan lobster di dasar laut.

Para pencari tripang dan lobster di Simeulue, senang menggunakan alat ini. Karena selain murah dan mudah didapat, mereka juga bisa bertahan berjam-jam di dasar laut.

Sementara, jika menggunakan alat selam modern seperti Scuba Diving, selain mahal dan butuh keahlian khusus untuk menggunakannya, juga hanya bertahan paling lama satu jam. Selanjutnya penyelam harus naik ke permukaan untuk mengganti tabung oksigen.

Sebelumnya, kompressor ini sudah cukup lama digunakan oleh para penyelam pencari tripang dan lobster. Hingga kemudian alat ini dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan membahayakan penggunanya.

Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang  Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana Pasal 9 Ayat (2) mengatur ketentuan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan.

Pada penjelasan Pasal 9 UU tersebut, dirincikan bahwa; alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan, termasuk di antaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan kompressor.

Di Kabupaten Simeulue, selain dilarang dalam hukum adat laot, penegakan atas aturan ini kembali diperkuat dengan Surat Edaran (SE) Bupati Simeulue Nomor 523/875/2020 Tentang Peningkatan Koordinasi Penertiban Nelayan Pengguna Kompressor, yang ditujukan kepada seluruh camat di kabupaten itu, untuk menertibkan nelayan yang menggunakan kompressor, bersama Panglima Laot setempat.

Sedangkan kegiatan pengawasan dan pemantauan dilimpahkan kepada Pokmaswas, sebuah lembaga yang pembentukannya digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dan kemudian di-SK kan oleh pimpinan daerah setempat (bupati/wali kota). Lembaga ini dibentuk di tiap desa yang bersinggungan dengan kawasan konservasi perairan.

Karena lembaga ini bukan sebagai perangkat penegakan hukum, maka Pokmaswas hanya bisa memantau dan melaporkan berbagai pelanggaran yang ditemukan, kepada pihak Panglima Laot untuk penindakan secara adat, atau kepada kepolisian untuk proses hukum positif.

Pola kerja seperti ini sudah berjalan di Kabupaten Simeulue, setidaknya sejak tahun 2017. Namun pelanggaran masih saja terus terjadi, yang berakibat pada kerusakan ekosistem laut yang semakin parah di kawasan itu.

Panglima Laot Lhok Air Pinang mengungkapkan, upaya sosialisasi dan membangun pemahaman tentang pentingnya pelestarian ekosistem laut di Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PISISI) sudah dilakukan sejak tahun 2013. Namun upaya yang lebih massif terhadap nelayan yang melanggar, baru dilakukan mulai tahun 2017.

Dari hasil pemantauan secara swadaya oleh nelayan di kawasan itu pada periode 2017 hingga 2020, tercatat 346 kali terjadi pelanggaran berupa penangkapan ikan/tripang/lobster menggunakan alat bantu kompressor.

Sementara, dalam periode yang sama, juga dilakukan delapan kali patroli bersama oleh sejumlah Pokmaswas di sekeliling kawasan, dan ditemukan 5 kali pelanggaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan penindakan.

Terhadap lima pelanggaran yang ditemukan itu, dua kasus diselesaikan dalam sidang adat di tingkat Panglima Laot Lhok Air Pinang. Dimana, sidang adat pertama digelar pada 4 Juni 2017, dan sidang adat kedua pada 17 Desember 2017. Dengan menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 2,5 juta kepada nelayan yang melanggar.

Kasus ketiga dengan pelanggaran yang sama, terjadi pada Januari 2019, yang kemudian diselesaikan secara damai di tingkat kabupaten, dengan melibatkan banyak stakeholder termasuk Dinas Kelautan dan Perikanan serta Majelis Adat Aceh Kabupaten Simeulue.

Namun penggunaan kompressor oleh nelayan masih saja terjadi.

Dan pada Juni 2020 lalu, satu kasus yang sama dilaporkan ke penegak hukum hingga berujung ke pengadilan. Nelayan yang melakukan pelanggaran pun divonis penjara 3 bulan oleh Pengadilan Negeri Sinabang.

Penegakan hukum ini ternyata tidak juga memberi efek jera. Nelayan pencari tripang atau lobster, masih saja menggunakan kompressor yang dilarang secara undang-undang dan hukum adat setempat.

Di saat yang sama, ekosistem laut di kawasan konservasi perairan ini pun semakin rusak dan ikan hasil tangkapan semakin berkurang.

Hal ini tampaknya cukup membuat frustasi pihak Pokmaswas yang ditugaskan mengawasi kawasan konservasi perairan, seperti yang dialami Pokmaswas Air Pinang di Kabupaten Simeulue, hingga terjadinya bentrok antarnelayan pada Minggu (29/11/2020) lalu.

Berharap Ada Pembinaan dari KKP

Terkait insiden pemukulan nelayan yang terjadi Minggu dini hari itu, Ketua Pokmaswas Air Pinang, Boyon, mengatakan pihaknya bersama tokoh masyarakat sudah berusaha mencegah warga memukuli nelayan yang melakukan pelanggaran.

Menurut Boyon, kemarahan warga kepada nelayan itu memuncak, karena nelayan penyelam yang menggunakan kompressor sering mengintimidasi anggota Pokmaswas dan nelayan warga Air Pinang dengan berbagai  cara. Mulai dari mengejek, memaki, melempari dengan benda keras, hingga menabrak perahu nelayan pancing yang biasanya juga ikut dalam kegiatan pemantauan terhadap pelanggaran oleh nelayan pengguna kompressor dari desa tetangga.  

Sikap bermusuhan dan tindakan pelanggaran  ini tampaknya akan masih terus berlangsung. Karena tingginya harga tripang dan lobster membuat sebagian nelayan termotivasi untuk terus mengambil sumberdaya tersebut dari alam, meski dengan cara yang dilarang. Karena nelayan pun tidak dilatih dan difasilitasi dalam melakukan budidaya lobster maupun tripang.

Di sisi lain, pola kerja dan pola koordinasi antara pihak yang diberi tugas melakukan pengawasan dengan pihak yang berwenang melakukan penindakan, belum berjalan seiring. Sehingga, program konservasi perairan yang digagas Pemerintah melalui KKP RI dengan tujuan menyejahteraan nelayan, malah berujung pada konflik horizontal antarnelayan di satu kawasan.

Akhirnya, pelaku pelanggaran dan pihak yang mengawasi, kini sama-sama terjerat hukum.

“Karena itu kami sangat berharap, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan pembinaan dan pendampingan secara intens, baik kepada Pokmaswas maupun terhadap nelayan di sekitar kawasan konservasi perairan. Jangan bebankan seluruh tanggung jawab ini kepada masyarakat, dan membiarkan kami menghadapi sendiri persoalan yang terjadi di masyarakat,” ujar Panglima Laot Lhok Air Pinang, Sahmal, mewakili seluruh nelayan di Simeulue.(*)

Baca juga: Pria di Sudan Selatan Anggap Dirinya Lebih Superior dari Perempuan, Pengadilan Khusus Pun Dibentuk

Baca juga: Manfaat Minyak Ikan untuk Hewan Peliharaan, Bagus untuk Kulit, Otak dan Jantung

Baca juga: Dikira Ikan Besar, Nelayan Kaget Seekor Buaya Berukuran 2 Meter Tersangkut di Jaringnya

Baca juga: Kalah 5 Laga Beruntun, Patrick Vieira Mantan Pemain Arsenal Dipecat dari Pelatih Nice Klub Perancis

Baca juga: Pakistan Masukkan Mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif Sebagai Buronan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved