Advertorial
Undang-undang Pemerintahan Aceh untuk Kebangkitan Politik Aceh
ACSTF bekerja sama dengan Global Partnership for the Prevention of Armed Conflict (GPPAC) melakukan review implementasi UUPA.
BANDA ACEH - Darussalam memiliki pondasi bernegara yang jelas dan kuat sebelumnya, terutama pada era Aceh di bawah kepemimpinan kesultanan.
Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1530) setelah berhasil mengusir Portugis dari Pasai dan Pedir, serta menaklukkan Daya.
Sebelumnya, kerajaan Samudera Pasai (1297, tahun wafatnya Sultan Malik As-Salih, raja pertama) yang sudah terlebih dahulu meraih kemakmuran. Termasuk, Kerajaan Peureulak yang dipimpin oleh Sultan Alaudin Syah (1161-1186).
Ketiga kerajaan tersebut menjadi pondasi peradaban Aceh, bahwasanya “nation building” yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa telah membentuk karakter berbangsa rakyat Aceh untuk memiliki dan mempertahankan wilayahnya sampai zaman milenial ini.
Kurang lebih 742 tahun, Aceh menjalankan pemerintahan di bawah Kesultanan, baik Peureulak, Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam, tentunya para endatu Aceh memiliki kemampuan dan kapasitas kepemimpinan yang kuat. Termasuk kemampuannya untuk berinteraksi dengan bangsa dan budaya dunia, ditunjukkan oleh beberapa manuskrip kerajaan Aceh di beberapa museum yang ada di Inggris maupun negara Eropa lainnya.
Baca juga: ACSTF Akan Optimalkan Implementasi UUPA
Baca juga: Beleidsregel Menegasikan UUPA
Baca juga: UUPA Pijakan Pilkada Aceh 2022
Tentunya, banyak manuskrip Aceh tersebar di seluruh belahan dunia, termasuk tata kelola pemerintahan yang dikenal dengan manuskrip “Bustanussalatin”.
Keruntuhan Aceh
Maklumat perang Belanda 26 Maret 1873 menjadi titik tolak keruntuhan kesultanan Aceh. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903) langsung memimpin perang melawan Belanda. Perjuangan tersebut berdampak negatif terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh. Hanya kalangan Ulee Balang saja yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah Belanda. Lembaga pendidikan yang aktif adalah dayah-dayah yang tersebar di seluruh tanah Aceh.
Konsentrasi perang menyebabkan tidak cukup masa untuk mengembangkan diskursus tentang bernegara.
Bahkan pasukan Aceh melakukan perlawanan dengan Belanda sampai ke Medan area, memastikan Belanda dan Jepang keluar dari Pulau Sumatera (1942). Namun demikian, pada 23 Januari 1951, Aceh dileburkan dalam Sumatera Utara oleh Kabinet Natsir, sehingga 21 September 1953 perlawanan Aceh dipimpin langsung oleh Tgk Daud Beureueh dimulai.
Perjuangan pertama dalam menuntut keadilan bagi Aceh berakhir dengan musyawarah pada 9 Mei 1962.
Beberapa kebijakan republik diberlakukan, salah satu perdagangan Internasional Aceh yang tadinya dapat dilakukan di beberapa pelabuhan di Aceh, namun dipindahkan ke Belawan Sumatera Utara. Menurut Dahlan Sulaiman, “para saudagar Aceh kemudian pindah ke Medan dan menepati kawasan Kesawan”.
Saat Soeharto menjadi presiden, kebijakan terakhir yang merusak struktur perekonomian Aceh dan Kebudayaan Aceh adalah eksploitasi Migas di Blang Lancang dan penghentian status Pelabuhan Sabang tahun 1986. Setelah itu, salah satu komoditi unggulan Aceh yaitu cengkeh, juga mengalami turbulensi karena monopoli oleh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin Tommy Soeharto pada 1992.
Aset Politik
Patriotisme dan nilai-nilai perjuangan yang dilakukan Sultan Mahmud Daudsyah melawan Belanda, begitu pula Tgk Daud Beureueh menghadapi kebijakan Jakarta yang tidak menghormati kedaulatan dan keadilan bagi Aceh, dan terakhir Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Tgk Muhammad Hasan di Tiro (1976) merupakan semangat perjuangan rakyat dalam menjaga dan membangun Aceh.
Spirit dan nilai-nilai perjuangan itu adalah kuatnya nilai-nilai kebangsaan, identitas, harga diri, harkat dan martabat, serta kedaulatan yang sudah tumbuh dan mengakar sejak 700-800 tahun yang lalu. Semua itu merupakan “Aset Politik” yang akan terus tumbuh dan berkembang sepanjang zaman.
Baca juga: Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh; Kunci Perdamaian Aceh, UUPA dan MoU Helsinki
Baca juga: Revisi UUPA, Nasir Djamil : Kekhususan Aceh dan Dana Otsus Harus Abadi
Baca juga: Revisi UUPA Belum Tentu Prioritas
Periodesasi perjuangan selalu mengisahkan kedukaan dan heroisme, namun demikian era perjuangan kekinian dengan titik tolaknya perjanjian damai 15 Agustus 2005 di Helsinki-Finlandia dan pemberlakuan UU No.11/2006 menandakan era perjuangan politik dan diplomasi.
Saatnya GAM yang bertransformasi menjadi KPA dan Partai Aceh kembali membangun lobi-lobi dalam memobilisasi kekuatan politik untu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat Aceh.
Identitas dan Kebanggaan (pride) orang Aceh disebabkan oleh kuatnya akar kebudayaan yang dipengaruhi oleh Ke-Islaman. Ke-Acehan dan Ke-Islaman terpatri dalam sanubari orang Aceh, nilai-nilai itu yang menjaga dan mengawal setiap pola pikir, perilaku dan tindakan.