Luar Negeri

Kisah Keluarga Tanpa Sidik Jari, Terus Menerus Didenda Karena Tak Bisa Membuat SIM, KTP & Paspor

Dalam panggilan video dengan wartawan BBC News, Apu Sarker menunjukkan telapak tangannya yang terbuka.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Zaenal
Dok, keluarga Apu Sarker via BBC NEWS
Kisah keluarga tanpa sidik jari, terus menerus didenda polisi karena gagal mendapatkan SIM. Bahkan, mereka juga tidak bisa mendapatkan KTP dan Paspor 

SERAMBINEWS.COM – Sebuah kelainan genetika terjadi pada keluarga ini, di mana mereka tidak memiliki sidik jari.

Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatkan kartu identitas juga surat izin mengemudi (SIM).

Dalam panggilan video dengan wartawan BBC News, Apu Sarker menunjukkan telapak tangannya yang terbuka.

Awalnya tidak ada yang aneh dengan tangan Apu, namun ia memeperlihatkan tangannya lebih dekat dan melihat permukaan halus dari ujung jarinya.

Melansir dari BBC News, Senin (28/12/2020), Apu Sarker (22), tinggal bersama keluarganya di sebuah desa di distrik utara Rajshahi, Bangladesh.

Dia bekerja sebagai asisten medis sampai saat ini. Ayahnya dan kakeknya bekerja sebagai petani.

Seluruh pria di keluarga Apu tampak mengalami mutasi genetik yang sangat langka, yang diperkirakan hanya dialami oleh sejumlah kecil keluarga di seluruh dunia, yakni mereka tidak memiliki sidik jari.

Pada zaman kakek Apu, tidak memiliki sidik jari bukanlah masalah besar. 

Baca juga: Ungkap Pembunuh Pensiunan Guru di Mibo, Banda Aceh, Polisi Dalami Keterangan Enam Saksi

Baca juga: Satpol PP Razia Masker di Pantai Ujong Kareung, 20 Pengunjung Terjaring

"Menurut saya, dia (kakek) tidak pernah menganggapnya sebagai masalah," kata Apu.

Namun selama beberapa dekade, sidik jari telah menjadi data biometrik yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. 

s

Orang-orang menggunakannya untuk segala hal, mulai dari bepergian ke luar negeri, hingga mengikuti pemilu dan membuka smartphone.

Pada tahun 2008, ketika Apu masih kecil, Pemerintah Bangladesh memperkenalkan kartu ID Nasional (KTP) untuk semua orang dewasa dan database membutuhkan cap jempol. 

Para petugas pelayanan yang bingung tidak tahu bagaimana cara mengeluarkan kartu untuk ayah Apu, Amal Sarker. 

Akhirnya, dia menerima sebuah KTP dengan cap "Tanpa Sidik Jari".

Pada 2010, sidik jari menjadi wajib untuk pembuatan paspor dan SIM. 

Baca juga: Polisi Periksa CCTV Mesin Absensi, Ambil Sidik Jari dan DNA di Tombol Lift

Setelah beberapa kali mencoba, Amal bisa mendapatkan paspor dengan menunjukkan surat keterangan dari papan medis. 

Walaupun ia tidak pernah menggunakan paspor itu, hal itu sebagai antisipasinya karena takut akan masalah yang dia hadapi di bandara. 

Meskipun mengendarai sepeda motor menjadi hal yang penting sebagai pekerja petani, Amal tidak pernah mendapatkan SIM. 

“Saya sudah bayar biayanya, lulus ujian, tapi mereka tidak mengeluarkan izin karena saya tidak bisa memberikan sidik jari,” ujarnya.

Amal membawa tanda terima pembayaran biaya lisensi, tetapi itu tidak selalu membantunya saat ditilang polisi.

Ia mengatakan bahwa dirinya telah didenda dua kali oleh polisi karena tidak bisa memperlihatkan SIM.

Amal menjelaskan kondisinya kepada petugas yang bingung, dan mengangkat ujung jarinya yang halus agar polisi bisa melihat. 

Namun, jari-jari yang diperlihatkannya itu tidak membuatnya dibebaskan dan tetap ditilang.

"Ini selalu menjadi pengalaman yang memalukan bagiku," kata Amal.

Baca juga: Antisipasi Corona, Pemerintah Aceh tak Berlakukan Absen Sidik Jari untuk ASN dan Tenaga Kontrak

Pada 2016, pemerintah mewajibkan mencocokkan sidik jari dengan database nasional untuk membeli kartu sim telepon seluler.

“Mereka kelihatannya bingung ketika saya pergi membeli (kartu) Sim, alat mereka terus eror setiap kali saya meletakkan jari saya di sensor,” kata Apu sambil tersenyum masam. 

Apu dan keluarga lannya tidak bisa mendapatkan kartu sim, dan semua anggota laki-laki dari keluarganya sekarang menggunakan kartu Sim yang dikeluarkan atas nama ibunya.

s

Kondisi langka yang mungkin menimpa keluarga Sarker disebut Adermatoglyphia. 

Paman Apu Sarker, Gopesh, yang tinggal di Dinajpur, sekitar 350 km dari Dhaka, harus menunggu dua tahun untuk mendapatkan paspor resmi, katanya.

"Saya harus melakukan perjalanan ke Dhaka empat atau lima kali dalam dua tahun terakhir untuk meyakinkan mereka bahwa saya benar-benar memiliki kondisi tersebut," kata Gopesh.

Ketika kantornya mulai menggunakan sistem absensi sidik jari, Gopesh harus meyakinkan atasannya untuk mengizinkannya menggunakan sistem lama, yakni menandatangani lembar absensi dengan pena.

Amal Sarker menjalani sebagian besar hidupnya tanpa terlalu banyak kesulitan, katanya, tetapi dia merasa kasihan pada anak-anaknya.

"Itu tidak ada di tangan saya, itu adalah sesuatu yang akan saya warisi," katanya. 

"Tapi cara saya dan anak-anak saya menghadapi segala macam masalah, bagi saya ini sangat menyakitkan," ujarnya.

Baca juga: Tak Bisa Sidik Jari, Pasien RS Sigli Mengaku Disuruh Pulang, Direktur: Tetap Dilayani Manual

Amal dan Apu baru-baru ini mendapatkan jenis KTP baru yang diterbitkan oleh pemerintah Bangladesh, setelah menunjukkan sertifikat medis. 

KTP ini juga menggunakan data biometrik lain, dengan menggunkan pemindaian retina dan pengenalan wajah.

Tetapi mereka tetap tidak bisa membeli kartu sim untuk HP atau mendapatkan SIM, dan mendapatkan paspor adalah proses yang panjang dan berlarut-larut.

"Saya lelah menjelaskan situasi berulang-ulang. Saya sudah meminta nasehat banyak orang, tetapi tidak ada dari mereka yang bisa memberi saya jawaban pasti," kata Apu. 

"Seseorang menyarankan agar saya pergi ke pengadilan. Jika semua opsi gagal, itulah yang mungkin harus saya lakukan," sambungnya.

Apu berharap dia bisa mendapatkan paspor, katanya. 

d

Dia ingin sekali bepergian ke luar Bangladesh. Dia hanya perlu memulai lamarannya.

Kelainan genetika ini pertama kali dikenal luas pada tahun 2007 ketika Peter Itin, seorang dokter kulit Swiss, dihubungi oleh seorang wanita di negara itu, yang mengalami kesulitan memasuki AS. 

Wajahnya cocok dengan foto di paspornya, tetapi petugas bea dan cukai tidak dapat merekam sidik jari.

Setelah pemeriksaan, Profesor Itin menemukan wanita dan delapan anggota keluarganya memiliki kondisi aneh yang. 

Bekerja dengan dokter kulit lain, Eli Sprecher, dan mahasiswa pascasarjana Janna Nousbeck, Profesor Itin melihat DNA dari 16 anggota keluarga.

Mereka menemukan tujuh orang dengan memiliki sidik jari dan sembilan lainnya tanpa sidik jari.

"Kasus ini sangat jarang terjadi, dan tidak lebih dari beberapa keluarga yang didokumentasikan," kata Prof Itin kepada BBC.

Baca juga: Hasil Otopsi Ungkap Vera Disiksa Sebelum Dimutilasi, Ada Sidik Jari Mantan Pacarnya Oknum TNI

Pada tahun 2011, tim menemukan satu gen, SMARCAD1, yang bermutasi pada sembilan anggota keluarga yang tidak memiliki sidik jari.

Mereka mengidentifikasinya sebagai penyebab penyakit langka tersebut. Nyaris tidak ada yang diketahui tentang gen tersebut pada saat itu.

Mutasi tersebut tampaknya tidak menimbulkan efek kesehatan yang buruk selain dari efek pada tangan.

Mutasi yang mereka cari selama tahun-tahun itu memengaruhi gen yang "tidak diketahui siapa pun", kata Profesor Sprecher, karenanya butuh waktu bertahun-tahun untuk menemukannya. 

Plus, mutasi mempengaruhi bagian gen yang sangat spesifik, katanya, "yang tampaknya tidak berfungsi, dalam gen yang tidak berfungsi".

Setelah ditemukan, penyakit itu dinamai Adermatoglyphia, tetapi Prof Itin menjulukinya sebagai "penyakit penundaan imigrasi", setelah pasien pertamanya kesulitan masuk ke AS. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca Juga Lainnya:

Baca juga: Bagaimana Menyikapi Perayaan Tahun Baru Masehi Bagi Muslim, Begini Penjelasan Buya Yahya

Baca juga: Atta Halilintar Hadiri Ultah Kiano Tanpa Aurel Hermansyah, Bukti Sudah Putus dengan Aurel?

Baca juga: Habib Hasan Assegaf Meninggal Dunia, Dimakamkan di Belakang Masjid Agung Al-Anwar Kota Pasuruan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved