Pelaku Pemerkosaan dan Pencabulan terhadap Anak akan Dipasangi Gelang Elektronik
Namun begitu Pasal 4 menjelaskan, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik tidak berlaku bagi pelaku anak.
"Karena itu, karena hukumannya sudah maksimal sama kebiri kimia, saya kira perlu dikoordinasikan supaya tidak disalahgunakan karena ini menyangkut soal medis. Berarti perlu koordinasi efektif dengan pihak stakeholder yang punya tugas dan fungsi terkait itu," ujarnya.
Di saat yang sama beberapa kalangan juga menentang aturan baru itu.
"Terkait dengan PP untuk pelaksanaan kebiri, Komnas Perempuan seperti halnya sikap awal ketika terhadap Perppu Nomor 1/2016 tentang Perubahan ke 2 atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak disahkan yang kemudian menjadi UU Nomor 17 tahun 2016, menyatakan bahwa Komnas Perempuan menentang pengebirian apapun bentuknya," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Ada sejumlah alasan yang dipaparkan Komnas Perempuan terkait menentang PP tersebut. Alasan pertama, tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, serta menyelesaikan konflik.
"Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban," ujar Siti.
Alasan kedua, kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau untuk kepuasan seksual. Tetapi, kata Siti, terjadi karena sebagai bentuk penaklukan, ekspresi inferioritas maupun menunjukkan kekuasaan maskulin, kemarahan atau pelampiasan dendam.
"Jadi mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual," katanya.
Sementara Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai PP Nomor 70 Tahun 2020 ini bermasalah lantaran tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas.
Beleid ini dinilai tak menjelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan untuk menerapkan kebiri kimia.
"PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan, dan pelaksanaan yang bersifat klinis ke aturan yang lebih rendah," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulisnya.
Bukan cuma aspek pelaksanaan, Erasmus menilai mekanisme pengawasan dan pendanaan juga belum jelas diatur dalam PP.
"Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," kata Erasmus.
Erasmus menjelaskan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tak bisa berbasis hukuman seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Sampai detik ini, kata Erasmus, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti.
"Maka jelas pelaksanaannya melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah," kata Erasmus.(tribun network/fik/fah/sen/dod)
