Luar Negeri

Sosok Jenderal Min Aung Hlaing, Pemimpin Sementara Myanmar Usai San Suu Kyi dan Presiden Ditangkap

Melalui siaran televisi, pihak militer mengumumkan bahwa kekuasaan saat ini untuk sementara dipegang oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing

Editor: Faisal Zamzami

Di antaranya adalah melanggar gencatan senjata selama 20 tahun, membuat 30.000 orang terpaksa mengungsi ke China.

Dan yang paling penting, mengusir kelompok separatis dari perbatasan yang selama ini memang diposisikan untuk jadi jalur perdagangan utama.

s
Polisi berjaga-jaga di sepanjang jalan di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, pada 29 Januari 2021, menjelang pembukaan kembali parlemen pada 1 Februari menyusul pemilu November 2020 yang dimenangkan Aung San Suu Kyi dari NLD secara telak. [Thet Aung/AFP](Thet Aung/AFP)

Jadi panglima militer, dianggap sosok negarawan

Pada 30 Maret 2011, Min Aung Hlaing menjadi panglima angkatan bersenjata Myanmar, dikenal sebagai Tatmadaw.

Dia memimpin transisi kekuasaan dari tangan militer yang hampir 50 tahun berkuasa ke tangan sipil.

Namun, pengamat menyebut itu semu.

Sebabnya, hubungan itu dianggap sekadar top-down.

Militer tidak ingin gerakan rakyat makin meluas sembari mereka memertahankan kekuasaan.

Selain itu, dia juga membuyarkan harapan negara Barat yang menganggap sang panglima sebagai sosok negarawan dan caranya berbicara sangat jelas.

Pada 2015, kepada BBC dia mengungkapkan tidak bisa mengatakan dengan pasti kapan pemerintahan Myanmar akan diserahkan ke sipil seluruhnya.

"Mungkin saja lima tahun. Mungkin juga bisa berlangsung selama 10 tahun. Saya tak bisa mengatakannya dengan jelas," paparnya.

Min, meski hanya memimpin tiga kementerian, pertahanan, urusan perbatasan, dan urusan dalam negeri, pengaruhnya sangat besar.

Sementara pemerintahan sipil bisa menelurkan legislasi, Min dan kroninya memegang kekuasaan dari polisi, pasukan perbatasan, hingga Departemen Administrasi Umum.

Min Aung Hlaing juga mendapat wewenang memilih seperempat anggota parlemen, yang bisa memveto jika ada kebijakan yang tak menguntungkan.

Kemudian mereka sewaktu-waktu bisa melakukan kudeta, dengan klausul "militer berhak mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati".

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved