Kisah Nyata
32 Tahun Terpisah, Hamzah Bertemu Keluarganya karena Google Maps, Sempat Mengira Hilang Saat Tsunami
Hamzah (61) meninggalkan keluarganya di Uleelheu pada tahun 1989 untuk merantau ke Bukittinggi, Sumatera Barat.
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Amirullah
PENGANTAR - Ini adalah kisah nyata tentang pertemuan seorang pria yang selama 32 tahun hilang kontak dengan keluarganya.
Hamzah (61) meninggalkan keluarganya di Uleelheu pada tahun 1989 untuk merantau ke Bukittinggi, Sumatera Barat.
Ketiadaan sarana komunikasi dan keterbatasan ekonomi, membuat dia kehilangan kontak dengan keluarganya.
Bahkan, setelah tsunami menghantam Aceh pada 26 Januari 2004, Hamzah menganggap seluruh keluarganya yang tinggal di Uleelheue telah menjadi syuhada.
Sebaliknya, keluarganya di Aceh juga telah menganggap Hamzah sebagai anak yang hilang.
Hingga sebuah keajaiban terjadi pada bulan Februari 2021. Hamzah ditemukan oleh keponakannya melalui aplikasi Google Maps.
Kisah pertemuan yang mengaduk-aduk emosi dan nyaris tidak masuk akal ini, kami turunkan dalam dua bagian.
(BAGIAN PERTAMA)
DADA Hamzah (61) terasa sesak saat melihat sosok pria yang sangat mirip dengan dirinya, di Terminal Bus Batoh, Banda Aceh, Rabu (17/2/2021) pagi.
Bergegas Hamzah turun dari Bus Sempati Star yang membawanya dari Bukittinggi, Sumatera Barat, sejak Senin (15/2/2021) malam.
Dadanya terasa sesak saat memeluk pria muda di depan dirinya.
Kedua pria kekar ini tak merasa sungkan menumpahkan air mata di depan khalayak.
Betapa tidak, ini adalah pertemuan pertama kali kakak beradik, setelah terpisah 32 tahun lamanya.
“Ya, enggak tahu mau bilang gimana, pokoknya perasaan saya campur aduk lah. Paling terasa ya dada seperti sesak,” ungkap Hamzah membagikan kisahnya kepada Serambinews.com, di Lhokseudu, Kecamatan Leupueng, Aceh Besar, Rabu (17/2/2021) malam.
Ketika ditemui Serambinews.com, Hamzah didampingi oleh adiknya Zulfikar (46) yang menjemput dirinya ke terminal Batoh.
Baca juga: Gaji Tak Dibayar, ART Makan Sisa Sampah Karena Kelaparan dan Lompat dari Lantai 2 Rumah Majikan
Dari teminal Batoh, Zulfikar membonceng sang abang ke rumahnya di Lhokseudu, Aceh Besar.
Isak tangis kembali pecah ketika Hamzah dan Zulfikar tiba di Lhokseudu.
Di desa wisata ini, Hamzah bertemu adik lainnya, yaitu Iskandar dan Safaruddin.
Seperti halnya Hamzah dan Zulfikar, Iskandar dan Safaruddin juga sudah berkeluarga.
“Satu adik lagi, yaitu Khairuddin atau Buyung belum jumpa. Dia tinggal dan bekerja di Banda Aceh. Tapi dia sudah tahu saya pulang,” ujar Hamzah.
Baca juga: Gaji Tak Dibayar, ART Makan Sisa Sampah Karena Kelaparan dan Lompat dari Lantai 2 Rumah Majikan
Baca juga: Motif Pembunuhan Ibu dan Anak Terungkap, Dipicu Dendam & Utang Piutang, Pelaku Terancam Hukuman Mati
Baca juga: Bocoran One Piece chapter 1005: Zoro & Kekuatannya Bakal Lampaui Kaido, Sosok Misterius Akan Muncul
Hilang Kontak Sejak 1989
Ditemui Serambinews.com di Lhokseudu, Hamzah bercerita dia terakhir kali bertemu dengan keluarganya pada tahun 1989.
Saat itu, keluarga Hamzah tinggal di Uleelheue, di kawasan yang kini telah menjadi kompleks kuburan massal syuhada tsunami.
Saat ditinggalkan Hamzah, keluarga mereka masih lengkap yaitu ayah Hasballah dan sang bunda Zuraida.
Hamzah adalah anak tertua dalam keluarga itu.
Baca juga: Proyek Kilang Minyak Tuban Bikin Warga Jadi Kaya Mendadak, Dulunya Sempat Ditolak, Ini Alasannya
Ia punya empat adik laki-laki dan satu adik perempuan, yaitu Nur Azizah, Iskandar (saat ini tinggal di Lhoong), Khairuddin alias Buyung (tinggal di Banda Aceh), serta Safaruddin dan Zulfikar (tinggal di Lhokseudu).
Sebagai anak sulung, Hamzah menjadi harapan untuk membantu ayah mencari nafkah.
Karenanya, sejak remaja Hamzah telah bekerja sebagai sopir truk.
Pria kelahir Bireuen bulan April 1958 ini bercerita, saat lajang dulu, sekitar tahun 1978-1980, ia menjadi salah satu sopir truk terlibat dalam proyek pembangunan jalan Banda Aceh - Meulaboh.
Ia juga menjadi sopir truk pemasok material untuk proyek pembangunan PT Semen Andalas Indonesia (sekarang bernama PT Solusi Bangun Indonesia), serta proyek pembangunan Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang.
Pada tahun 1981 atau pada usia 23 tahun, Hamzah menikah dengan dengan Erni, gadis asal Sumatera Barat.
Pernikahan mereka berlangsung di kampung asal orang tua Hamzah, di Bireuen.
Pada tahun 1984, Hamzah bersama istrinya pergi ke kampung halaman orang tua istrinya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Baca juga: VIDEO - Percakapan Anak pada Ibu Kenapa Mama Tidak Izinkan Ayah Nikah Lagi Respon Ibu Terkejut
Lima tahun berselang, Hamzah sempat kembali ke Aceh pada tahun 1989.
Hanya beberapa bulan, Hamzah kembali ke kampung halaman istrinya Erni di Sungai Jariang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.
Kali ini dia sempat mengajak adiknya Safaruddin, untuk jalan-jalan dan melihat peluang bekerja di Bukittinggi.
Namun, setelah beberapa minggu, Safaruddin memutuskan kembali ke Aceh.
Sejak kepulang Safaruddin ke Aceh pada tahun 1989 itu lah, Hamzah yang telah menetap di Sungai Jaring Bukit Tinggi dan bekerja sebagai petani, kehilangan kontak dengan keluarganya.
Hanya Safaruddin satu-satunya yang tahu nama desa tempat Hamzah tinggal.
Ketiadaan telepon dan keterbatasan ekonomi, membuat Hamzah benar-benar terputus hubungan dengan keluarganya.
(Zainal Arifin/Bersambung)
Baca juga: Gagal Investasi UEA, Aceh Singkil Dapat Udang Vaname Seribu Hektar
Baca juga: Ini Pernyataan Dayana yang Bikin Netizen Indonesia Kecewa, Ramai-ramai Pilih Unfollow Instagramnya
Baca juga: Terseret Kasus Narkoba, Segini Jumlah Harta Kompol Yuni: Punya Utang Ratusan Juta