Kasus Konflik Antarnelayan
Panglima Laot Air Pinang Laporkan Lambannya Proses Hukum Anggota Pokmaswas ke Komnas HAM
Perpanjangan masa penahanan di tingkat penyidikan telah dilakukan sebanyak 3 kali tanpa dilakukan proses pemeriksaan lanjutan.
Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Perwakilan Panglima Laot Air Pinang dan keluarga dari tersangka kasus penganiayaan nelayan kompresor di Kabupaten Simeulue, mengadukan keterlambatan proses hukum yang sedang berlangsung di Polres Simeulue, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) Kantor Perwakilan Aceh di Banda Aceh, Jumat (5/3/2021).
Proses penyampaian aduan ini didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dan diterima oleh Eka Azmiyadi, staf Komnas HAM Perwakilan Aceh, melalui melalui Surat Tanda Terima Pengaduan Nomor: 07.01.P/III/2021.
Azhari dari LBH Banda Aceh, menyampaikan bahwa dalam proses penanganan perkara dan penahanan, lima anggota Pokmaswas itu tidak mendapatkan hak-haknya sebagai tersangka.
Seperti lambannya pengiriman berkas perkara para tersangka ke Kejaksaan Negeri Sinabang, dan masa tahanan yang secara formil telah melewati masa penahanan di tingkat penyidikan.
“Hingga saat ini, para tersangka telah ditahan penyidik Polres Sinabang selama 95 hari,” kata Azhari, dalam rilis yang diterima Serambinews.com, Sabtu (6/3/2021).
Sementara itu, dalam laporannya ke Komnas HAM, Perwakilan Panglima Laot dan Pokmaswas Desa Air Pinang, Edi Saputra, menjelaskan bahwa sejak ditahannya lima anggota Pokmaswas itu, Pemerintah Desa Air Pinang dan tokoh masyarakat telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang sebanyak 2 kali.
Edi juga mempersoalkan proses penyidikan yang dinilai sangat lambat. Karena perpanjangan masa penahanan di tingkat penyidikan telah dilakukan sebanyak 3 kali tanpa dilakukan proses pemeriksaan lanjutan.
“Mereka hanya diperiksa saat 20 hari pertama penahanan,” kata Edi Saputra.
Padahal, menurut Edi, peristiwa pemukulan terhadap nelayan kompresor oleh anggota Pokmaswas itu tidak terlepas dari upaya menjaga kelestarian ekosistem dan dukungan terhadap program Pemerintah dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Simeulue. Dimana nelayan yang menjadi korban pemukulan merupakan pihak yang melakukan pelanggaran dan sudah sering diingatkan.
“Tindakan pemukulan ini memang tidak bisa dibenarkan. Tapi, kejadian tersebut bukan sesuatu yang direncanakan dan merupakan insiden yang sama sekali tidak kami harapkan. Kalau saja setiap hari pihak berwajib melakukan pengawasan terhadap nelayan kompresor, tentu tidak seperti ini kejadiannya,” ungkap Edi.
Edi Saputra juga menyayangkan bahwa apa yang dialami oleh anggota Pokmaswas Air Pinang ini berbanding terbalik terhadap kasus pelanggaran oleh nelayan kompressor yang sedang ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang telah menetapkan 14 orang tersangka dan kasusnya telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sinabang.
Baca juga: Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan
Baca juga: Kasus Nelayan Kompresor di Simeulue Dilimpahkan ke Jaksa, 5 Anggota Pokmaswas Masih Ditahan
Baca juga: Panglima Laot di Simeulue Minta Gubernur Aceh Bantu Anggota Pokmaswas yang Ditahan
Baca juga: DKP Aceh Dukung Penertiban Kompressor, Perlu Perlakuan Khusus untuk Lindungi Kawasan Konservasi
Pelanggaran Hak Tahanan
Dewi, istri seorang anggota Pokmaswas yang ditahan, menjelaskan bahwa selama menjadi tahanan Penyidik Polres Simeulue, para tersangka tidak mendapatkan hak-hak sewajarnya.
Di antaranya, jadwal makan tidak tepat waktu, makanan yang diantar oleh keluarga hanya sebagian yang diterima oleh para tahanan dan pernah diubrak-abrik oleh petugas.
“Selain itu, pelayanan kesehatan juga tidak maksimal, sementara beberapa orang yang ditahan memiliki riwayat penyakit asam lambung,” kata Dewi.