Breaking News

Perjanjian Perdagangan

Referendum IE-CEPA dan Kekhawatiran Eropa Atas Isu Keberlanjutan di Indonesia, Khususnya Soal Sawit

Eropa sudah lama menyoroti soal sawit di Indonesia yang menurut mereka dijalankan dengan praktik pertanian dan ekonomi yang tidak pro-lingkungan.

Editor: Taufik Hidayat
For Serambinews.com
Pekerja sedang memuat TBS kelapa sawit di areal perkebunan milik petani di kawasan Jalan 30 atau Jalan Lingkar Babahrot-Surien, Kecamatan Kuala Batee, Abdya, Sabtu (14/9/2019). Harga sawit di tingkat petani mulai bersaing setelah pengusaha PMKS di Subulussalam meningkatkan harga beli TBS sawit dari Abdya. Harga sawit Abdya selama dua hari terakhir masih bervariasi antara Rp 850 sampai Rp 920 per kg. 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Setelah referendum di Swiss tentang Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement IE-CEPA) dimenangkan oleh pendapat yang pro terhadap perjanjian ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mengembangkan produk-produk ramah lingkungan, berkelanjutan dan tidak eksploitatif, terutama kelapa sawit.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan inovasi tersebut penting untuk mendukung kelancaran komoditas Indonesia masuk dan bersaing di pasar Eropa.

IE-CEPA menang tipis dalam referendum dengan mengumpulkan suara 51,6 persen suara dari total 2,7 juta penduduk Swiss yang memberikan suaranya pada referendum tersebut.

“Hal ini menandakan bahwa masih banyak warga Swiss yang khawatir dengan isu keberlanjutan di Indonesia,” ujar dia.

Blok EFTA INI terdiri dari empat negara yaitu Liechtenstein, Norwegia, Islandia dan Swiss.

Norwegia dan Islandia telah menyelesaikan ratifikasi perjanjian ini.

Ratifikasi di Swiss menghadapi penolakan dari salah satu organisasi masyarakat sipil karena menganggap komoditas Indonesia yaitu kelapa sawit dituduh melakukan praktik yang merusak lingkungan.

Referendum ini sendiri digelar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Menurut dia Eropa sudah lama menyorot sawit yang menurut mereka dijalankan dengan praktik pertanian dan ekonomi tidak pro-lingkungan.

Dalam perjanjian perdagangan ini sendiri, kata Pingkan ada platform kerja sama EFTA dan Indonesia untuk mengurangi deforestasi dan memastikan keanekaragaman hayati tetap terjaga.

Hal ini menunjukkan kekhawatiran besar pada Indonesia yang dianggap tidak bisa menjaga kelestarian lingkungan.

Selain itu Indonesia juga mempunyai kewajiban berbagi praktik yang berhasil untuk direplikasi di sektor komoditas agro lainnya.

“Indonesia perlu terus menunjukkan komitmennya dalam peningkatan praktik keberlanjutan dan perhatian pada aspek lingkungan jika ingin mengoptimalkan manfaat IE-CEPA,” ujar dia.

IE-CEPA menurut Pingkan diharapkan dapat membuka akses pasar, memperkuat transfer teknologi, pengetahuan, dan kapasitas, serta mendorong investasi di Indonesia.

Hasil positif dari perjanjian ini menurut Pingkan bisa menjadi kesempatan meneruskan perundingan perdagangan dengan negara juga yang mempunyai perhatian khusus aspek keberlanjutan.

Seperti perundingan kerja sama ekonomi komprehensif dengan Uni Eropa yang memasuki putaran ke-10.

Uni Eropa seperti diketahui sudah menerapkan delegated act (aturan pelaksanaan) atas Renewable Energy Directive/ RED II yang mengurangi penggunaan kelapa sawit hingga 0 persen pada 2030 karena dianggap menyebabkan deforestrasi besar-besaran.

“Metode budidaya tanaman yang ramah lingkungan penting untuk ditingkatkan. Jika kita memikirkan nasib petani kelapa sawit, hal ini harus dilakukan,” ujar dia.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan kesiapan Indonesia bekerja sama peningkatan perdagangan dan investasi di bawah payung IE– CEPA.

Perjanjian ini menurut Menteri Lutfi mengakui semangat kerja sama, saling menghargai, dan saling menguntungkan untuk produk andalan Indonesia, minyak sawit dan turunannya.

“Indonesia sangat menghormati proses demokrasi di Swiss, dan hasil referendum ini memberikan angin segar bagi implementasi IE–CEPA segera,” kata Menteri Lutfi.

Indonesia kata dia juga menyambut baik rencana kerja sama di bidang keberkelanjutan yang diatur dalam perjanjian ini.

Salah satunya lewat Indonesia–Swiss Economic Cooperation and Development Programme 2021-2024, dengan fokus kerja sama rantai nilai yang berkelanjutan (sustainable value chain).

“Ini merupakan afirmasi Indonesia dan negara-negara EFTA untuk mengedepankan kerja sama, bukan kompetisi atau konfrontasi, termasuk dalam memperlakukan isu-isu keberkelanjutan,” ujar dia.

Menurut data pada Kementerian Perdagangan pada 2020, ekspor non-migas Indonesia ke negara-negara EFTA mencapai USD2,45 miliar dan impor dari EFTA tercatat sebesar USD830 juta.

Angka ini menyumbang surplus bagi neraca perdagangan nonmigas Indonesia sebesar USD 1,62 miliar.

Sebanyak 97,77 persen ekspor Indonesia ke EFTA diserap oleh Swiss, sedangkan impor Indonesia dari EFTA datang dari Swiss sebesar 81,33 persen.

Baca juga: Buah Sawit Berserakan di Jalan, Polisi Imbau Truk Angkut Sawit Pakai Jaring Pengaman

Baca juga: Lima Pemuda Rudapaksa Siswi SMP di Kebun Sawit, Pelaku Ditangkap Polres Sergai setelah Dijebak

Baca juga: Seharian tak Pulang ke Rumah, Faisal Ditemukan Tewas Tergantung di Kebun Sawit

Perundingan panjang

IE-CEPA ini sendiri termasuk perjanjian dengan proses perundingan yang panjang.

Pada 7 Juli 2010, Presiden Republik Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, bersama dengan Presiden Swiss, Doris Leuthard, meluncurkan perundingan IE-CEPA.

Terhitung sejak Januari 2011 hingga Mei 2014 telah terjadi 9 kali perundingan yang membahas 12 ragam aspek.

Isu runding paling mendapat sorotan masyarakat Swiss adalah perdagangan dan pembangunan berkelanjutan.

Perundingan mengalami kemajuan signifikan pada 2018 setelah berhasil menyelesaikan total 15 perundingan substansial.

Melalui perjanjian ini, produk-produk Indonesia akan mendapatkan akses pasar berupa konsesi penghapusan dan pengurangan tarif.

Menurut pemerintah, paling tidak ada 7.042 penghapusan pos tarif di Swiss dan Liechtenstein.

Kemudian di Norwegia ada 6.338 pos tarif dan 8.100 pos tarif di Islandia.

Pemerintah memperkirakan akan ada sekitar 8.000-9.000 produk Indonesia akan diberikan fasilitas tarif Bea Masuk sebesar 0 persen dengan perjanjian ini.

Baca juga: Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 14, Buat Akun di www.prakerja.go.id

Baca juga: Nazaruddin Diisukan Jabat Bendahara Umum Partai Demokrat Kubu Moeldoko, Ini Jawaban Jhoni Allen

Baca juga: Motif Pembunuh Berantai di Bogor, Pengakuan Pelaku Mengejutkan: Saya Benci Perempuan

Indonesia masih rugi

Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan hasil referendum di Swiss tidak bisa diartikan sebagai perubahan industri kelapa sawit menjadi lebih ramah lingkungan.

Menurut perjanjian ini, Indonesia hanya bisa menikmati penurunan bea masuk pada ekspor 12.500 ton minyak kelapa sawit ke negara EFTA karena ketatnya standar process and production method (PPM).

Standar tersebut menurut Rachmi antara lain produksi sawit tidak boleh di atas lahan tebas bakar, lahan gambut, bebas polusi udara dan air, serta menjamin terlindunginya hak petani kecil dan masyarakat adat.

“Tidak ada produsen sawit di Indonesia yang bebas dari masalah itu. Artinya kecil kemungkinan Indonesia bisa mengekspor kelapa sawit dengan fasilitas penurunan tarif,” ujar dia.

Sawit, menurut Rachmi hanyalah bagian kecil dari kepentingan Swiss di Indonesia.

“Kepentingan besar Swiss tentu ada di sektor lain seperti finansial, pertanian, dan farmasi,” ujar dia.

Di sektor pertanian Indonesia diharuskan memberikan ekslusivitas data bagi input pertanian seperti pupuk dan pestisida selama 10 tahun.

Aturan ini akan membuat harga input pertanian lebih mahal.

“Itu tidak seberapa dengan trade off yang dilakukan pemerintah terhadap sektor kesehatan dan pertanian Indonesia,” ujar dia.

Perjanjian ini juga akan meningkatkan impor ikan Indonesia dari negara EFTA seperti Norwegia.

Padahal selama ini 60 persen dari total impor salmon berasal negara itu.

“Jika perjanjian ini berlaku maka lebih dari 80 persen ekspor negara itu akan bebas bea masuk. Indonesia akan kebanjiran ikan impor. Sementara nelayan makin terpuruk di tengah ketidakpastian industri perikanan,” ujar dia.

Klaim bahwa salmon akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat tidak sepenuhnya relevan, karena Indonesia juga memiliki jenis ikan lain dengan kandungan gizi beragam dibanding salmon maupun cod.

“Kami kecewa dengan hasil referendum Swiss. Ini akan menjadi pukulan besar bagi petani kita dan potensi terhambatnya akses kesehatan yang berkeadilan untuk masyarakat Indonesia akibat monopoli perusahaan farmasi,” ujar dia.(AnadoluAgency)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved