Keunikkan di Bunin
Bunin, Desa yang Warganya Saat Panen Buah-Buahan Berbagi dengan Orang Utan
Kearifan ketiga, penduduk desa ini pada saat panen buah-buahan, terutama durian, sering berbagi dengan orang utan (mawas).
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Nur Nihayati
Kearifan ketiga, penduduk desa ini pada saat panen buah-buahan, terutama durian, sering berbagi dengan orang utan (mawas).
Laporan Yarmen Dinamika | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Masyarakat Gampong Bunin yang berada di pedalaman Kecamatan Serba Jadi, Aceh Timur, memiliki kearifan lokal yang unik dan menarik.
Pertama, mereka aktif menjaga kelestarian hutan adat secara bergiliran agar tidak dirambah para penjarah kayu.
Kedua, pada hari Jumat, di desa ini tidak ada warga yang pergi ke hutan untuk mencari kayu atau hasil hutan lainnya. Kalau pantangan itu dilanggar, maka akan dijatuhi sanksi adat.
Kearifan ketiga, penduduk desa ini pada saat panen buah-buahan, terutama durian, sering berbagi dengan orang utan (mawas).

Baca juga: Gawat! KPI Bakal Panggil Stasiun TV Tayangkan Langsung Lamaran hingga Pernikahan Aurel dan Atta
Baca juga: 5 Pemain Barcelona Bersiap Terkena Imbas dari Transfer Penyerang Borussia Dortmund Erling Haaland
Baca juga: Arsenal Vs Tottenham Hotspur - Mikel Arteta Ingatkan Waspada Lini Pertahanan
Menurut mereka, jumlah yang dimakan mawas tidak sampai 10% dari keseluruhan panen mereka,
Tiga informasi itu diperoleh Serambinews.com Minggu (14/3/2021) pagi dari Dr Muhammad Adli Abdullah SH MCL yang sedang berada di Gampong Bunin untuk melakukan riset tentang hukum adat khas masyarakat Bunin.
Dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) itu berkunjung ke Bunin bersama dua peneliti dari fakultas yang sama, yakni Dr Sulaiman Tripa dan Dr Teuku Muttaqin Mansur.
Ketiga akademisi ini tiba di Bunin yang berjarak 437 km dari Kota Banda Aceh difasilitasi oleh Crisna Akbar dari Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAKA) Banda Aceh.
Kepada Serambinews.com, Minggu pagi, Crisna Akbar menjelaskan bahwa kunjungan pihaknya kali ini membawa para akademisi dari USK dimaksudkan untuk membantu petua adat di Gampong Bunin menggali dan menginventarisasi adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di desa tersebut.
Pertemuan para akademisi dengan perangkat desa dan masyarakat Bunin dimoderatori oleh Crisna Akbar selaku Program Manajer HAKA Banda Aceh.
Seusai pertemuan, Adli Abdullah yang ditanyai Serambinews.com mengatakan, kearifan lokal (local wisdom) yang dijunjung tinggi masyarakat Bunin sudah berlangsung lama. Mereka warisi secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
“Misalnya saja tradisi menjaga hutan secara bergiliran, itu konsisten mereka lakukan, walaupun dalam kenyataannya mereka juga takut kalau-kalau ada pihak luar yang tidak mematuhinya,” kata Adli.
Ia juga menjelaskan tentang sanksi adat jika ada warga Gampong Bunin yang melanggar pantangan ke hutan pada hari Jumat.
“Larangan itu dibuat supaya pada hari Jumat seluruh pria yang sudah akil balig di desa tersebut fokus untuk ibadah shalat Jumat.
Kalau mereka tetap nekat pergi ke hutan pada hari Jumat, dikhawatirkan ada yang tidak sempat kembali dari hutan pada saat jadwal shalat Jumat sudah tiba,” kata Adli.
Lalu, kalau ada juga warga setempat yang nekat pergi ke hutan pada hari Jumat, maka mereka akan dijatuhi sanksi.
Sanksinya berupa denda adat yang dalam masyarakat Gayo Bunin dinamakam “tawar kampung”, berupa peusijuek (tepung tawar) dan membayar denda adat sesuai dengan kemampuan si pelanggar pantang.
“Kalau dia orang yang tergolong mampu, maka harus kenduri dengan menyembelih seekor kambing,
Sedangkan pelanggar yang bukan orang mampu, ya kendurinya cukup dengan menyembelih ayam saja,” terang Adli mengutip temuan yang ia dapatkan di desa tersebut.
Menurut Adli yang memimpin penelitian itu, tujuan mereka datang ke Bunin adalah untuk mengidentifikasi kekayaan adat istiadat dan ‘local wisdom’ di desa tersebut.
“Kepada perangkat gampong juga kami berikan pemahaman tentang konsep sanksi dalam adat yang kadang-kadang berbeda dengan sanksi dalam konsep hukum negara,” kata Adli.
Secara adat, lanjut Adli, warga setempat masih membutuhkan penguatan terkait posisi hutan adat dalam istilah hukum.
“Hal yang juga intens kami diskusikan di sini adalah tentang adat hutan, misalnya larangan bagi seluruh warga pergi ke hutan pada hari Jumat.
Ini unik, karena tidak semua komunitas di Aceh memiliki adat hutan seperti ini, apalagi banyak sekali gampong yang kini tak lagi punya hutan,” tukas Adli Abdullah.
Dalam pertemuan yang berlangsung di rumah Sekretaris Gampong Bunin itu Adli menyatakan, pengakuan terhadap hukum adat sudah kuat, baik dalam bentuk hukum nasional maupun qanun Aceh.
“Kita sudah memiliki Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dan Qanun Aceh Nomor 10 Rahun 2008 tentang Lembaga Adat di Aceh,” sebut Adli.
Jadi, lanjut Adli, mendokumentasikan hukum adat ini adalah salah satu bagian penting yang harus dilakukan oleh akademisi.
“Insya Allah, saya bersama anggota tim siap membantu masyarakat Bunin mencatat dan mengidentifikasi kembali adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di sini. Ini juga bagian dari ikhtiar kita menjaga warisan budaya dari generasi ke generasi,” urai mantan sekretaris jenderal Panglima Laot Aceh ini.
Ketua Tuha Peuet Gampong Bunin, mengucapkan terima kasih kepada HAKA dan akademisi USK yang berkenan hadir ke desa mereka.
Kami berharap Bapak-bapak akademisi berkenan membantu menuliskan kembali adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di sini.
Sudah setahun ini kami ingin didokumentasikan hukum adat Bunin, tetapi baru kali ini kami bisa bertemu dengan para akademisi yang meminati hukum adat,” kata Saiful Bahri selaku Ketua Tuha Peuet Gampong Bunin.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada HAKA yang telah memfasilitasi pertemuan penting itu.
Gampong Bunin berjarak 437 km dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.
Bagi yang ingin datang ke desa ini dapat menempuh Jalan Banda Aceh-Medan, lalu masuk ke simpang Kampung Besar Peureulak.
Sekitar 80 km ke arah Lokop akan ditemukan Gampong Bunin yang merupakan wilayah hukum Aceh Timur.
Berada sehari penuh di Bunin, Adli dan kawan-kawan berkesempatan melihat keanekaragaman flora di hutan Bunin.
Karena terjaga dengan baik, banyak di antara pohon di hutan itu yang tumbuh sangat besar. Diameternya di atas satu meter dengan ketinggian menjulang di atas 40 meter.
Di hutan yang seperawan itu banyak margasatwa yang tidak diusik hidupnya oleh warga Bunin. Misalnya kawanan burung, kalong, orang utan, dan lainnya.
“Sarang orang utan terdapat banyak di dahan-dahan kayu besar. Setiap kali masyarakat Bunin melakukan patroli hutan, hampir selalu mereka temukan sarang orang utan,” kata Adli.
Karena itu pula, menurutnya, warga setempat dengan ikhlas berbagi durian kepada orang utan, yakni dengan cara membiarkan durian mereka yang masak di batang dimakan oleh kawanan orang utan.
Setelah itu, barulah mereka panen.
“Toh yang dimakan orang utan itu tak sampai 10 persen dari total panen durian mereka setiap tahun,” kata Adli mengutip keterangan Ketua Tuha Peuet Gampong Bunin.
Sungguh harmonis interaksi manusia dan satwa di desa terpencil itu. (*)