Breaking News

Internasional

Kudeta Militer Myanmar: Kisah dari Jalanan, Pengorbanan dan Ketakutan

Setiap hari, orang-orang biasa di Myanmar membuat pilihan yang sulit dalam menghadapi tanggapan yang semakin keras terhadap demonstran.

Editor: M Nur Pakar
BBCNews
Ilustrasi demonstran mengangkat HP untuk memprotes penutupan jaringan internet di Myanmar. 

SERAMBINEWS.COM, YANGON - Setiap hari, orang-orang biasa di Myanmar membuat pilihan yang sulit dalam menghadapi tanggapan yang semakin keras terhadap demonstran.

Para pengunjuk rasa ingin kembali ke pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis, setelah militer mengambil kendali pada 1 Februari 2021, yang mengklaim ada kecurangan yang meluas dalam pemilihan tahun lalu.

Menurut PBB, sedikitnya 149 orang telah tewas selama pembangkangan sipil sejak 1 Februari 2021, meskipun angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.

Dilansir BBCNews, Minggu (21/3/2021), berikut adalah kisah mereka yang terus turun ke jalan, diceritakan dengan kata-kata mereka sendiri.

Naw adalah pemimpin dari General Strike Committee of Nationalities.

Dia mengatakan berpartisipasi dalam demonstrasi demi putrinya berusia satu tahun, yang dia harap bisa memiliki masa depan yang lebih baik.

"Saya adalah anggota kelompok etnis minoritas di Myanmar yang disebut Karen ,jadi protes bukanlah hal baru bagi saya," katanya.

Dikatakan, pengunjuk rasa hari ini menuntut pembebasan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint dan verifikasi hasil pemilu 2020.

"Tapi kami, etnis minoritas, memiliki tuntutan yang lebih dalam," tambahnya.

"Visi kami adalah untuk membentuk persatuan demokratis federal dengan semua kebangsaan di Myanmar," ujarnya.

Militer memerintah dengan strategi membagi dan menaklukkan selama bertahun-tahun, tetapi sekarang semua bangsa telah bersatu.

"Saya memiliki seorang gadis kecil," katanya.

"Saya tidak ingin dia menderita karena tindakan saya," tambahnya.

"Saya terlibat dalam protes untuk putri saya karena saya tidak ingin dia tumbuh di bawah kediktatoran seperti saya," ungkapnya

Sebelum saya ikut protes, dia membahasnya dengan sang suami.

Ilustrasi warga Myanmar terjebak di dalam rumah
Ilustrasi warga Myanmar terjebak di dalam rumah (BBCNews)

Baca juga: Demonstran yang Meninggal di Myanmar Capai 247 Orang, Jokowi Desak Junta Militer Hentikan Kekerasan

Dia mengatakan meminta suaminya untuk merawat bayi dan melanjutkan hidup jika saya ditangkap atau meninggal dalam gerakan ini.

"Kami akan menyelesaikan revolusi ini sendiri dan tidak menyerahkannya kepada anak-anak kami," tambah ibu muda itu.

Sedangkan Nanda bekerja di sebuah rumah sakit di kota Myeik.

Pekerja medis itu telah berada di garis depan protes di Myanmar, tetapi mengatakan orang-orang di Myeik harus bersembunyi karena takut dibawa oleh pasukan militer.

Ini adalah tanggal 7 Maret 2021, sebelum jam malam mulai berlaku.

"Saya mengendarai mobil dengan jendela berwarna, menjemput seorang ahli bedah ortopedi, istrinya, seorang dokter dan keluarganya di bawah kegelapan," kata Nanda.

"Kami mengemas tas mereka ke dalam mobil dan mengantarkan mereka ke rumah persembunyian," ungkapnya.

Sehari sebelumnya, pejabat pemerintah menelepon rumah sakit di Myeik untuk menanyakan nama spesialis, petugas medis, dan perawat yang berpartisipasi dalam Gerakan Pembangkangan Sipil.

"Ada ketakutan, mengapa mereka menginginkan nama mereka? Apa yang mungkin terjadi pada mereka jika mereka dipanggil oleh pejabat? tanyanya.

Semua dokter yang bertugas, mereka yang bekerja untuk pemerintah memutuskan akan bersembunyi, karena takut jika tertangkap.

"Saya telah ditugaskan untuk membantu beberapa dokter melarikan diri," ujarnya.

"Mengapa orang-orang seperti kita, dokter dan staf medis harus bersembunyi seperti penjahat, sementara mereka melakukan apa yang mereka suka?" tanya dokter.

"Saya merasa mual, saya tidak pernah membayangkan suatu hari harus menyembunyikan dokter karena tidak melakukan kesalahan apa pun," tambahnya.

Mulai besok, penduduk Myeik hanya memiliki beberapa spesialis untuk merawat mereka.

Ilustrasi seorang ibu di Myanmar yang tidak menginginkan anaknya dibawah junta militer.
Ilustrasi seorang ibu di Myanmar yang tidak menginginkan anaknya dibawah junta militer. (BBCNews)

Baca juga: Hlaign Thar Yar, Area Berpenduduk Terpadat Myanmar Terkena Dampak Terparah Penutupan Internet

Tidak akan ada cukup ahli bedah untuk memperbaiki patah jari, tangan, dan tengkorak para pengunjuk rasa dan demonstran yang dipukuli.

Tidak akan ada dokter kandungan dan ginekolog yang akan membantu wanita melahirkan di Myeik.

Pekerja medis telah menjadi bagian penting dan esensial dari gerakan ini, tetapi sekarang mereka telah pergi.

Sedangkan Maung adalah pembuat film di Yangon.

Ketika protes dimulai, dia memutuskan untuk mendokumentasikan setiap hari dalam upaya untuk menunjukkan bagaimana gerakan itu berkembang.

Itu adalah hari yang tak terlupakan pada 28 Februari 2021, dimana saya berada di garis depan di Jalan Bargaya di Yangon, berdiri di belakang barikade.

Saya sedang syuting dengan ponsel saya, dimana ratusan pengunjuk rasa meneriakkan slogan dan menggedor botol dan kaleng.

Sekitar 100 orang berbaris ke arah kami dengan cepat, saya tidak tahu apakah mereka polisi atau tentara.

Tanpa peringatan, mereka mulai menembaki kami dengan bom suara, peluru, dan bom gas.

Saya berlari ke jalan di mana saya telah mencari rute pelarian ketika mencoba melanjutkan syuting.

Sebagian besar dari kami berhasil melarikan diri.

Saat saya pergi ke protes sekarang, saya harus membawa helm dan sarung tangan tahan panas.

Kami mencoba membuang kembali tabung gas air mata jika diberi kesempatan.

Seringkali, untuk meredakan tabung gas, kita cukup menutupinya dengan pakaian basah dan menyiramnya dengan air.

Banyak yang memakai masker gas murah yang tidak dapat sepenuhnya melindungi mereka dari efek gas.

Kami menemukan minuman Coke paling efektif untuk membersihkan gas dari wajah kami.

Para demonstran anti-kudeta berlarian dari tembakan gas air mata yang ditembakkan oleh pasukan keamanan di Mandalay, Myanmar, Senin (15/3/2021).
Para demonstran anti-kudeta berlarian dari tembakan gas air mata yang ditembakkan oleh pasukan keamanan di Mandalay, Myanmar, Senin (15/3/2021). (AFP/STR)

Baca juga: Junta Myanmar Berlakukan Darurat Militer, Keselamatan Demonstran dan Penduduk Terancam

Sebagai pembuat film dan pengunjuk rasa, saya memutuskan untuk memprotes dan membuat film yang sangat pendek setiap hari.

Sekarang melihat kembali videonya, saya dapat mengalami kembali bagaimana perlawanan telah berubah, dari protes damai ke mempertaruhkan hidup.

Phyo seorang peneliti yang merupakan satu dari 200 orang yang menghadiri protes di Sanchaung, sebuah distrik di kota Yangon.

Ketika mereka mendapati diri terpojok oleh pejabat militer yang mencegah pergi., sedikitnya 40 orang ditangkap.

Saat itu 8 Maret 2021, sekitar jam 2 siang, ketika pasukan keamanan datang dan menjebak warga.

Kami mulai melihat pemilik rumah membuka pintu dan melambaikan tangan, ke rumah mereka.

Terjebak di Sanchaung dalam semalam

Aparat keamanan ada di luar, menunggu kami keluar.

Ada tujuh orang dari kami di rumah kami - enam wanita dan satu pria.

Tuan rumah sangat baik dan menawari kami makanan.

Kami pikir akan baik-baik saja untuk pergi beberapa jam kemudian sekitar pukul 18.30, mulai cemas.

Kami menyadari pasukan keamanan tidak akan pergi, sehingga memutuskan untuk membuat rencana melarikan diri.

Tuan rumah kami memberi tahu kami jalan mana yang aman untuk bersembunyi, dan tempat lain mana yang menawarkan ruang persembunyian.

Kami meninggalkan semua barang di rumah tuan rumah pertama.

Saya berganti mengenakan kain sarung jadi akan lebih terlihat seperti penduduk setempat dan meninggalkan rumah.

Saya juga mencopot banyak aplikasi di ponsel dan mengambil uang cadangan.

Kami menghabiskan sepanjang malam di tempat lain yang aman.

Pagi harinya, kami mendengar aparat keamanan sudah tidak ada lagi.(*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved