Jurnalisme Warga
Pulo Aceh di Tengah Cerita Tak Berujung
Pulo Aceh merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Aceh Besar yang terletak di ujung barat Pulau Sumatra

OLEH ALWAHIDI ILYAS, lahir di Gugop, Kecamatan Pulo Aceh, dan pemerhati bidang kajian keagamaan, sosial, serta budaya, melaporkan dari Pulo Aceh, Aceh Besar
Pulo Aceh merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Aceh Besar yang terletak di ujung barat Pulau Sumatra. Jarak tempuhnya dari Banda Aceh 16 mil laut.
Di sini beragam cerita tersimpan dan semakin banyak disoroti oleh para pihak. Cerita ini sangat sering didongengkan oleh para pemangku kebijakan, terlebih sejak Pulo Aceh ditetapkan sebagai kecamatan mandiri yang sebelumnya bergabung dengan Kecamatan Peukan Bada. Uniknya lagi, cerita dongeng ini terus dianulir oleh pihak-pihak tertentu sampai hari ini.
Slogan “cerita tak berujung”, barangkali paling tepat saya posisikan di tengah banyak pendapat dan sorotan terhadap Pulo Aceh, baik itu soroton yang mengarah ke bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, transportasi, maupun dalam konteks pengembangan kawasan. Sekalipun, notabenenya Kecamatan Pulo Aceh bagian dari Kabupaten Aceh Besar dan diakui oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 sebagai kawasan kepulauan yang masuk dalam wilayah pengembangan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).
Beberapa catatan saya rasa penting untuk diangkat kembali guna memperkuat pertanyaan masyarakat Pulo Aceh, apakah selama ini para pemangku kebijakan, terutama Pemkab Aceh Besar, serius atau tidak dalam memperhatikan Pulo Aceh?
Beberapa peristiwa yang terjadi di Kecamatan Pulo Aceh dan masih hangat diperbincangkan oleh para pihak sampai hari ini adalah tentang buruknya sistem pelaksanaan pendidikan. Peristiwa ini menjadi sorotan ketika salah seorang anggota DPD RI beberapa waktu lalu berkunjung ke Pulo Aceh, tepatnya di SD Negeri Lampuyang. Apa yang dilihat oleh saudara kita dari DPD RI tersebut bisa dikatakan bukanlah peristiwa baru.
Kondisi dan gaya guru ASN yang ditugaskan ke Pulo Aceh sudah menjadi fenomena statis sejak 30 tahun lalu. Keluhan masyarakat tentang kondisi ini pun juga bukan keluhan baru. Akan tetapi, respons yang diberikan oleh Pemkab Aceh Besar dan Provinsi Aceh, khususnya Dinas Pendidikan Aceh, kesan saya, tidaklah serius.
Masih segar dalam ingatan kita kunjungan resmi Ombusdman RI Perwakilan Aceh pada tanggal 8-9 Oktober 2019 ke Pulo Aceh untuk melakukan investigasi pelayanan pendidikan di Pulo Aceh.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin SH MS mengatakan, investigasi tersebut dilakukan karena adanya informasi dari sejumlah pihak yang mengadukan buruknya pelayanan publik di Pulo Aceh, terutama yang menyangkut dengan pelayanan pendidikan.
Seharusnya, hasil investigasi tersebut secepat mungkin ditindaklanjuti oleh dinas terkait, tetapi harapan dan kenyataan berbanding terbalik.
Fenomena yang muncul pada tahun 2019 kembali terusik di tahun 2021. Media dan pihak-pihak tertentu kembali menyorot buruknya pelaksanaan pendidikan di Pulo Aceh. Sorotan ini berdampak pada terusiknya “duduk santai” para petinggi Aceh Besar, termasuk Dinas Pendidikan, kembali pernyataan indahnya keluar, “Kami selalu menginstruksikan guru PNS wajib hadir ke sekolah untuk melaksanakan proses belajar-mengajar.” (Serambinews.com, 14/3/2021). Bagi guru PNS yang bandel dan tetap malas masuk kelas sesuai dengan tugasnya, Dinas Pendidikan Aceh Besar mengancam tidak melakukan pengamprahan dana sertifikasi bagi guru yang sudah mendapatkan dana sertifikasi.
Wacana pemberian ganjaran (punishment) semacam ini seharusnya diberlakukan sejak dulu dengan konsep guru ASN yang bertugas di Pulo Aceh harus menandatangani sebuah pakta integritas.
Tapi, apa lacur? Konsep seperti itu tidak juga diberlakukan, sehingga persoalan pendidikan di Pulo Aceh tidak terselesaikan sebagaimana diharapkan. Masyarakat Pulo Aceh tidak perlu pernyataan-pernyataan muluk dan indah. Yang kami perlukan adalah tindakan tegas dari dinas terkait terhadap oknum guru yang malas melaksanakan tugasnya di Pulo Aceh.
Persoalan lain Pulo Aceh yang sempat viral di media sosial adalah dirujuknya seorang ibu rumah tangga yang telah melahirkan dengan menggunakan boat nelayan ke Banda Aceh. Peristiwa ini pun telah memantik perhatian banyak pihak, semisal pernyataan Wakil Ketua Komisi V DPRK Aceh Besar, Eka Rizkina yang menyatakan prihatin melihat kondisi ibu seusai melahirkan di Pulo Aceh. Makanya, Eka berharap Pemkab Aceh Besar mempercepat pengadaan ambulans laut untuk kebutuhan penanganan masyarakat Pulo Aceh, khususnya bagi pasien darurat.
Membaca pernyataan Saudari Eka Rizkina tersebut perasaan haru masyarakat Pulo Aceh kembali membuncah. Namun, di balik semua itu cobalah disikapi kembali berita yang pernah dimuat di media sosial. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, 22 Desember 2018, saat itu Pemkab Aceh Besar bersama Dinas Perhubungan menggelar tepung tawar (peusijuk) KM Peunaso di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Sekretaris Daerah Aceh Besar yang saat itu dijabat Drs Iskandar. M.Si (alm) kepada Media Center Aceh Besar menyampaikan bahwasanya Kapal Peunaso yang berkapasitas 22 penumpang ini nantinya akan dijadikan sebagai alat transportasi pemerintah dalam rangka kunjungan kerja.
"Untuk saat ini KM Peunaso tidak melayani rute penyeberangan, kecuali dalam kondisi darurat, kapal ini bisa langsung digunakan," katanya.
Selain untuk kunjungan kerja, kapal ini juga akan digunakan sebagai alat transportasi untuk memajukan pariwisata bahari yang ada di Aceh Besar dan juga sebagai armada ambulans.
Lagi-lagi bobrok Pemkab Aceh Besar terkuak, omongan dan kenyataan tidak sinkron. Seharusnya, jika KM Peunaso itu dibeli untuk kepentingan mobilisasi pegawai ke Pulo Aceh serta bisa digunakan untuk kondisi darurat, yakinlah peristiwa guru malas datang ke Pulo Aceh, kalaupun terjadi barangkali akan berkurang. Selain itu, peristiwa masyarakat yang mengalami musibah, sakit, kecelakaan, dan melahirkan atau meninggal yang jenazahnya harus dibawa pulang ke Pulo Aceh tidak lagi menggunakan boat nelayan. Menyikapi kondisi tersebut masyarakat Pulo Aceh pun bertanya-tanya saat peristiwa darurat itu terjadi ke manakah kapal Peunaso?
Saat ini gema pembelian ambulans laut semakin berdentang. Angin segar kembali diembuskan oleh Pemkab Aceh Besar kepada masyarakat Pulo Aceh. Harapannya, sebelum pembelian kapal ambulans laut itu dilakukan, idealnya Pemkab Aceh Besar melakukan telaah ulang apakah dengan anggaran yang disediakan hari ini cukup untuk membeli sebuah kapal ambulan laut yang standar?
Atau barangkali, Pemkab Aceh Besar perlu mencari solusi dengan merefungsi kembali kapal Peunaso yang sudah ada untuk bisa dialihfungsikan sebagai ambulans laut. Analisis ini sangat penting dilakukan oleh Pemkab Aceh Besar agar apa pun pengadaan barang untuk kepentingan masyarakat Pulo Aceh benar-benar tepat sasaran dan bisa berfungsi secara maksimal.
Pada akhir reportase ini, meminjam istilah yang digunakan oleh Ketua DPRK Aceh Besar, Iskandar Ali, jangan jadikan Pulo Aceh sebagai objek “selfie politik” tanpa memberi solusi konkret. Ini penggalan kalimat yang sangat menyentuh, tetapi harapan kami masyarakat Pulo Aceh di bawah kepemimpinan Saudara hendaknya slogan tersebut benar-benar tidak terjadi dan Pulo Aceh ke depan benar-benar menjadi wilayah kepulauan yang tidak lagi menitikkan air mata. Dan, jangan pula menjadi untaian cetita yang tak berujung.