Opini

Memahami Makna Filosofi Puasa

Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam. Biasanya disebut bahwa rukun Islam yang ketiga adalah puasa, namun dalam beberapa riwayat puasa

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Memahami Makna Filosofi Puasa
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Yuni Roslaili, MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Oleh Dr. Yuni Roslaili, MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam. Biasanya disebut bahwa rukun Islam yang ketiga adalah puasa, namun dalam beberapa riwayat puasa disebutkan setelah syahadat, shalat zakat, baru puasa dan haji.

Di antara haditsnya bersumber dari Umar ibn Khattab tentang seorang malaikat yang datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW tentang apa itu iman, Islam dan ihsan. Kelima hal ini kemudian disebut sebagai rukun Islam.

Namun kata Islam dalam rukun Islam di sini tidak semaksud dengan Islam dalam pengertian Dinul Islam atau agama Islam, sebab iman, Islam dan ihsan sebagaimana hadits bagian dari Dinul Islam dan Dinul Islam itu sendiri dibagi kepada tiga aspek, yaitu aqidah, syariah dan akhlak meskipun memang keduanya mempunyai arti etimologi yang sama, yaitu tunduk dan pasrah.

Tunduk dan pasrah adalah sebuah manifestasi dari sesuatu, dalam hal ini adalah iman. Karena iman letaknya di hati, maka ia butuh kepada bukti dalam bentuk realisasinya.

Maksudnya, ia butuh bukti kongkrit dalam bentuk perilaku. Akibatnya sikap pasrah dan tunduk hanya bisa dipahami jika diberikan dan dibuktikan dalam contoh-contoh langsung dan dalam bentuk tindakan langsung.

Jika tidak, iman akan menjadi sebuah omong kosong belaka. Untuk itu agama Islam memberikan tuntunan praktik tentang pasrah dalam bentuk ritual peribadatan, yaitu berupa syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji dalam rangka membuktikan keimanan.

Terkait dengan puasa Ramadhan, karena hal itulah Allah memanggil orang- orang beriman untuk membuktikan keimanannya dengan berpuasa (Q.S Albaqarah:183).

Puasa adalah sebuah ritus ibadah yang mengorbankan fisik untuk tunduk dan patuh kepada penciptanya. Membuktikan keimanan dengan berpuasa bukanlah hal yang mudah, karena harus mengorbankan dua hal yang azasi, primer dan fitrah dari manusia yaitu kebutuhan makan-minum dan naluri seksualitas.

Mungkin, jika bukan sang Pencipta yang mewajibkannya, tiada manusia yang mau berlapar-lapar dan menahan rasa haus sepanjang hari di bulan Ramadhan yang mempunyai arti leksikal panas dan membakar itu.

Namun karena puasa adalah sebentuk bukti iman dari seorang hamba kepada pencipta maka orang-orang beriman mau melaksanakannya, begitu juga dengan umat dari nabi-nabi terdahulu.

Puasa umat terdahulu

Dalam surah Albaqarah ayat 183 Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".

Ayat ini setelah menetapkan kewajiban berpuasa dan tujuannya juga menjelaskan bahwa umat terdahulu juga diwajibkan berpuasa.

Di dalam kitab-kitab tafsir berbeda pendapat dalam memahami maksud frasa ini. Ada yang menafsirkan kata "sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu" sebagai sebuah taukid (penekanan) atas perintah puasa itu.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved