Opini
Memahami Makna Filosofi Puasa
Puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam. Biasanya disebut bahwa rukun Islam yang ketiga adalah puasa, namun dalam beberapa riwayat puasa

Namun, ada juga yang menyanggah itu sebagai sebuah tauhid namun memang untuk menjelaskan bahwa umat terdahulu juga berpuasa.
Dalam banyak riwayat disebutkan variasi puasa umat terdahulu, bahkan ada pula yang dilakukan oleh Rasulullah, seperti puasa Asyura. Dari `Abdullah bin Abbas berkata: "Nabi SAW tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa Asyura. Beliau
bertanya kepada mereka: "Ada apa ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini."
Kemudian Nabi SAW bersabda, "Saya lebih layak dengan Nabi Musa dibandingkan kalian". Maka beliau berpuasa Asyura dan memerintahkan shahabat untuk berpuasa (H.R. Bukhari dan Muslim).
Selain itu ada puasa Nabi Daud, hal mana Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik shalat di sisi Allah adalah shalatnya Nabi Daud. Dan sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud. Nabi Daud dahulu tidur di pertengahan malam dan beliau shalat di sepertiga malamnya dan tidur lagi di seperenamnya. Adapun puasa Daud yaitu puasa sehari dan tidak berpuasa di hari berikutnya." (HR. Bukhari).
Memahami hikmah puasa
Pelaksanaan puasa hendaknya didekati dengan dua pendekatan; secara fikih dan secara hikmah al-tasyri'. Dalam pendekatan fikih pembahasan puasa akan berbicara tentang hukum puasa, syarat rukun dan sah batalnya puasa.
Misalnya manakala seseorang telah menahan lapar dan haus serta hasrat seksualitasnya dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka secara fikih telah gugurlah taklif puasa atasnya.
Ilmu fikih mengajarkan cara-cara menjalankan puasa agar pengamalannya benar, apa yang harus dilakukan dan apa saja yang harus ditinggalkan dari hal-hal yang membatalkan puasa.
Dengan ilmu fikih ini dapat kita ketahui, apakah puasa yang dilakukan seseorang itu sah ataukah batal. Apabila terpenuhi syarat dan rukunnya dan tidak melanggar hal-hal yang membatalkannya, maka puasa seseorang itu sah. Maka sah atau batalnya puasa seseorang, dapat diketahui dengan ukuran ilmu fikih.
Adapun urusan apakah puasa itu diterima oleh Allah ataukah tidak, hal itu sudah bukan urusan ilmu fikih, dan manusia tidak berhak menentukannya kecuali ada penjelasan dari Syari', karena diterima atau tertolaknya ibadah puasa seseorang adalah hak Allah SWT secara mutlak.
Puasa yang tidak sah sudah tentu tidak diterima oleh Allah Swt, karena sama saja dengan tidak melakukan puasa. Sedangkan agar puasa yang sah menurut ukuran ilmu fikih dapat diterima dan mendapatkan balasan pahala dari Allah, harus bersih dari perbuatan-perbuatan yang tercela, sebab hanya puasa yang sah dan bersih dari perbuatan-perbuatan yang tercela yang akan diterima dan memperoleh pahala dari Allah SWT.
Sehingga di dalam hal ini Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan." (HR. Bukhari).
Dan hadis "Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja, akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kotor (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Ada juga hadis lain yang senada seperti: "Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Thabrani).