Kupi Beungoh
Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)
Sekalipun hampir seluruh mukanya tertutup, namun di ujung matanya dan di dahinya, nampak rona senang dan ramah.
Ahmad Humam Hamid*)
“Bergulir dan mengalir”, itulah coretan kecil yang ditulis oleh Iwan Maulana Pirous, anak lelaki AD Pirous di salah satu sudut masuk ke galery lukisan AD Pirous, di kawasan Dago Pakar, Bandung.
Tiba-tiba dari lantai atas turun seorang lelaki mengenakan sweater merah hati, memakai topi Sherlock Holmes, dengan muka yang dibalut masker ketat, dan kacamata.
Sekalipun hampir seluruh mukanya tertutup, namun di ujung matanya dan di dahinya, nampak rona senang dan ramah.
Senyum itu adalah keramahan anak Meulaboh, sang maestro, dan the living legend, seniman kaligrafi kelas dunia, Abdul Djalil Pirous.
Kemarin, tanggal dua Ramadhan saya mendapat rahmat Allah SWT, berkunjung ke galery AD Pirous, dan sangat merasa terhormat mendegar penjelasannya tentang lukisannya, dan tentang imajinasi sufistiknya terhadap yang Maha Agung melalui seni.
Keberuntungan itu tidak lepas dari kebaikannya terhadap menantu saya yang tinggal di Bandung, yang juga secara kebetulan mahasiswanya ketika menyelesaikan studi seni rupa di ITB Bandung.
Itu adalah salah satu hadiah Ramadhan terbaik dalam hidup yang pernah saya alami.
Sukar menjelaskan tentang kata “hadiah terbaik”, karena memang tak ada kata yang mampu menjelaskan tentang sebuah “pengembaaraan rohani” dalam tempo kurang dari satu jam melalui berbagai eskpresi seni lukis yang menghunjam sukma.
Awalnya, hanya tiga kata kunci yang ada di benak saya tentang lukisan Pirous, Keesaan, Kemahakuasaan, dan Kemurahan Allah SWT.
Kesan itu tidak lama, ketika saya mulai melihat secara sepintas dalam ruangan yang lebih besar.
Segera saya meraskan lautan “asmaul husna” yang tidak hanya dalam lukisan fisik.
Deretan lukisannya seolah menjadi sebuah kuantum energi yang membuat seluruh isi ruangan itu padat dengan asma Allah, namun memberikan relaksasi yang luar biasa.
Seluruh lukisan Pirous di ruangan itu sesungguhnya bertasbih tiada henti dan itu adalah tasbih Pirous yang dititipkan dan membuat siapapun yang mampu menghayatinya tergerak untuk bertasbih.
Saya merasa lunglai secara jiwa, seolah merasa memasuki sebuah taman mekar halaman depan pengembaraan sufistik yang sangat luas tak bertepi.
Saya bergumam dalam hati, “opium sufistik” itu mulai bekerja, paduan goresan dan warna dari ujung jari Pirous kembali menyentuh kalbu, semakin lama semakin menghunjam, dan itu adalah kenikmatan yang sukar dilukiskan.
Saya mulai bertanya seindah inikah pengembaraan sufistik dalam berbagai bentuk ekspresi ibadah dan seni yang dilakukan oleh indatu dan diteruskan hari ini oleh orang biasa yang dibimbing para ulama.
Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (3- Habis)
Baca juga: VIDEO Pemuda Thailand Nasrudin Muelee Mahasiswa Ganteng Cinta Aceh, Anak Vespa Pandai Muay Thai
Bertasbih dengan Lukisan
Saya terkesima melihat sejumah lukisan terakhir Pirous, terutama ketika dunia dilanda pandemi Covid-19.
Pirous, yang karena pandemi nyaris tidak keluar, ternyata bertasbih dengan belasan lukisan, bahkan mungkin mencapai dua puluh lukisan pada tahun 2020.
Ia menangis, pasrah, dan memuja kebesaran sang Khalik dengan lukisan-lukisan itu.
Ia membawa kami ke sebuah lukisan dengan warna yang sangat kontras yang meresepresentasikan kelemahan, kekecilan, dan ketidakberdayaan bumi dengan garis kecil yang kemudian besar seperti panah menembus langit.
Garis itu menuju ke Maha Digdaya, Maha mengetahui, dan Maha Memaafkan, dan itu adalah munajat Pirous, munajat kemanusiaan, dan munajat kita semua.

Itulah mungkin tasbih master piece Covid-19 Pirous yang membuat siapapun yang mampu melihat karya itu dengan perasaan dan mata hati, mampu merasakan kerapuhan dan kefanaan makhluk di hadapan sang penguasa tunggal, Raja diRaja Allah SWT.
Itu adalah tangis dan tasbih, dan munajat Pirous yang tiada tara.
Kenikmatan itu menjadi bertambah tamabah ketika melihat lukisan, bersambung oleh penjelasan sang Maestro sendiri tentang berkuasanya sang Azza Wajalla.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah pengakuan yang tulus dan sungguh-sungguh tentang setiap partikel kecil lukisannya tentang pengabdian, penyerahan, dan penyembahan kepada Allah SWT yang sangat hakiki.
Ujung jari Pirous dalam lukisan itu mewakili mereka yang kecewa, pasrah, dan mungkin juga putus asa, untuk kemudian segera harus sadar, manusia tak lebih dari seorang “pengembara” untuk jangka waktu yang sangat pendek.
Pirous dengan sangat anggun meletakkan manusia sebagai sebuah “nano” dalam sebuah semesta yang tak terbatas dan, dalam kekuasan pengawasan sang tak Terbatas.
Ada tasbih dan zikir yang tak berhenti mengalir di lukisan itu disertai dengan tangis nestapa ummat dan kemanusiaan.
Pirous nampak di situ mengakui kebesaran, sekaligus memohon kemurahan dan kasih sayang Nya yang juga tak terbatas.
Ada sebuah lukisan lain yang didomiansi warna hijau tentang ka’bah yang lenggang sepi dari thawaf akibat Covid-19.
Awalnya lukisan itu seolah menunjukkan kegundahan dan kegelisahan Pirous tentang sepinya “Rumah Allah”, akibat pandemi yang membuat umrah dan shalat berjamaah di Masjidil Haram menjadi tidak biasa.
Kata “protokol kesehatan” seolah telah menjadi pengunci yang membuat lingkaran zikir, takbir, dan taqwa hamba selama 24 jam selama ribuan tahun kini menjadi terkunci untuk waktu yang tidak ditentukan, terutama ketika pandemi mulai terjadi.
Pirous tidak bisa menerima protokol itu dalam abstraksi sufistiknya.
Ia melawan dan ia meyakini, zikir, takdir, dan taqwa di berbagai garis saf di sekeliling ka’bah tidak pernah berhenti.
Goresan titik-titik kecil yang memutar ka’bah seolah mewakili para malaikat, mewakili roh para ambiya yang telah meninggal, dan bahkan membawa jiwa mereka yang bersih dan zuhud dan masih hidup yang tinggal diberbagai belahan bumi untuk berthawaf memuji Allah SWT yang tak pernah berhenti.
Abstraksi sufistik itu adalah “pemberontakan” Pirous terhadap kecerdasan intelektual manusia yang kadang lupa dan lalai, dan selalu tetap saja lalai terhadap Kemahakuasaan sang Khalik.
Pirous telah membuat lukisan itu menjadi dakwah yang sangat indah.
Ada sebuah lukisan lain yang juga sangat menyentuh tentang kecintaan Allah kepada hambanya.
Kaligrafi Pirous yang meletakkan kutipan dari surat Afajr ayat 30 di dalam lukisannya yang sangat indah itu sungguh menyentak kita tentang hakekat nafs muthmainnah yang secara taratur mengalir dari ayat 27-30 surat Alfajr.
Merasakan getaran sufistik Pirous dari ayat itu saya yakin ia telah melahap pemahaman para mufassir klasik sekelas Ibnu Katsir (1301-1372) yang terkenal dengan tafsir Al-Azhim atau tafsir karya Imam Jalaludin Al-Mahali, Al-Jalalain yang kemudian disempurnakan oleh muridnya Jalaludin Suyuti pada tahun 1505.
Ia tidak pernah mau sombong mengobral apa yang ia baca, namun isi pembicaraannya ketika menjelaskan nuansa seni dari ayat-ayat Allah yang ia patrikan dalam lukisannya juga mengingatkan kita kepada Tafsir kontemporer, Al Azhar, yang ditulis oleh Buya Hamka.
Secara sengaja Pirous mengambil ayat 30 surat AlFajr memaksa kita untuk memahami sebuah aliran sebuah kata penting nafs dari ayat 27 pada surat yang sama.
Banyak kita tidak sadar, dalam Alquran ditemui penyebutan kata Nafs sebanyak 297 kali, dalam bentuk singular (mufrad) sebanyak 153 kali, dan dalam bentuk jamak nufus 2 kali, jamak anfus 153 kali, dan dalam bentuk kata kerja (fiil) sebanyak 2 kali.
Baca juga: Revitalisasi Sastra Nazam di Tanah Tauhid Sufi
Baca juga: Subulussalam dan Keagungan Sastrawan Sufi
Apakah Muthmainnah Itu?
Lukisan Pirous dengan konfigurasi warnanya yang sangat indah seolah menggambarkan jiwa yang lembut namun berpinsip, yang dibalut oleh keagungan takwa yang menyertainya.
Di Ayat 30 Allah SWT mempersilakan hambanya yang mutmainnah untuk masuk kedalam kerjaan surganya yang abadi, seolah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada hambanya yang tak henti bersamaNya dalam setiap detik niat, ucapan, pekerjaan, dalam bingkai ridha Allah SWT.
Dengan lukisan itu Pirous dengan sangat menyentuh menyampaikan tentang berita gembira sekaligus mengingatkan tentang indahnya balasan Allah ketika roh kita memasuki kerajaanNya.
Ia juga mengajak kita berjalan dalam ruang sufi yang ecstacy, ruang abstrak yang penuh rindu dan ingin merasakan keintiman dengan Allah SWT.
Lukisan itu mengelus sukma kita tentang kebahagian dan kedamaian abadi yang bergelora dan secara perlahan membawa dan mendorongkita untuk menjadi yang “terpilih” dengan cinta yang agung kepadaNya.
Derai hujan sore Bandung dua Ramadhan yang mengiringi perjalanan spritual saya di ruang galery Pirous selama kurang dari setengah jam tak terasa.
Hari telah mengeling senja, buka puasa telah menanti.
Ramadhan hari kedua itu mungkin salah satu hari Ramadhan terindah yang pernah saya jalani.
Di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah anak saya, ecstasy rohani kembali mengalir, menyembuhkan dan mengggairahkan. Alhamdulillah, terimaksih AD Pirous.
Bandung, 16 April 2021.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.