Seorang Kepala Dinas Nikah Siri dengan Bawahan, Tak Tahan dengan Istri Sah yang Banyak Nuntut
Dia juga paham konsekuensi dari pernikahan siri. Kadis ini terpaksa menikah siri karena sudah tidak tahan dengan sikap istri sahnya.
Meskipun usianya lebih tua, namun dia merasa hidupnya lebih nyaman dibandingkan bersama istri sah.
"Anak saya dari istri siri sudah ada tiga. Alhamdulillah kalau keluarga besar tidak mempersoalkan, asal adil lahir batin. Dia pun (istri sah) juga tidak mau diceraikan. Ya sudah saya jalani dua-duanya," tambahnya.
Soal waris dan harta gono gini, pihaknya mengaku sudah mengatasnamakan beberapa rumah, kendaraan, dan tanahnya kepada istri siri.
"Soal harta sudah ada beberapa yang saya atasnamakan istri siri. Jadi biar dia ayem, tidak perlu khawatir jika suatu saat nanti saya sudah tidak ada," pungkasnya.
Baca juga: Ternyata, Vicky Prasetyo & Kalina Menikah Siri, Belum Pamer Buku Nikah saat Akad, Ini Alasannya
Baca juga: Ririe Fairus Buka Suara soal Isu Nikah Siri Ayus dan Nissa Sabyan, Tetap Berkomunikasi soal Anak
Nikah Siri Marak di Semarang
Nikah siri bukan hal baru di Indonesia. Berdasar hukum Agama Islam, nikah siri dianggap sah bila memenuhi syarat dan rukun nikah.
Antara lain ada mempelai pria dan wanita, wali nasab, dua orang saksi laki-laki dewasa (mukalaf), ada mahar (mas kawin), dan ijab kabul.
Tapi nikah siri dianggap tidak punya kekuatan hukum positif karena tidak didaftarkan kepada negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan.
Maka bila terjadi sesuatu, yang paling dirugikan adalah pihak perempuan atau istri dan anak-anaknya.
Nah, selama pandemi ini terjadi banyak pernikahan siri di Kota Semarang dan Jawa Tengah pada umumnya, dengan berbagai alasan.
Namanya juga nikah siri maka sulit untuk menghitung jumlahnya karena tersembunyi, alias sirr/silent.
Meski hal itu lama-lama akan diketahui juga oleh orang lain, tetangga atau kerabat bahkan keluarga kedua pihak.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan tiap-tiap perkawinan harus dicatat negara.
Bagi yang beragama Islam, hal ini berarti pernikahan harus dicatat di KUA.
Sedangkan bagi nonmuslim, dicatat di Kantor Catatan Sipil atau Disdukcapil tingkat Kabupaten Kota.