Opini
‘Wot Ie Bu’, Tradisi di Bulan Puasa dari Pidie
Bagi masyarakat Kabupaten Pidie (Aceh), hampir semua kegiatan selama bulan Ramadhan berlangsung di meunasah
Oleh T.A. SAKTI, mantan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporka dari Pidie
Bagi masyarakat Kabupaten Pidie (Aceh), hampir semua kegiatan selama bulan Ramadhan berlangsung di meunasah (kecuali pada tahun 1441-1442 Hijriah ini karena merebaknya penyakit ta’eun/wabah, Covid-19).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di meunasah (langgar/surau) tersebut ialah tadarus Alquran, khanduri tamaddarus, buka puasa bersama, bayar fitrah dan wot ie bu. Kegiatan terakhir inilah yang jadi pokok bahasan saya kali ini.
Ie bu artinya bubur beras. Wot, maksudnya memasak, Jadi “wot ie bu” berarti pekerjaan memasak bubur beras. Orang yang bertanggung jawab untuk terselenggaranya acara ini adalah Teungku Peutuwa atau Teungku Sagoe (imam kampung). Semua persiapan, yaitu sejak dari mencari juru masak, menyediakan bahan, dan lain-lain diurus Teungku Sagoe.
Bagi juru masak bubur diberi ongkos menurut ukuran setempat. Sumber ongkos itu, bagi desa yang telah maju punya kas tersendiri, misalnya sepetak tanah sawah yang disebut “umong ie bu” Tapi bagi gampong di pedalaman, biasanya diambil dari kumpulan fitrah yang belum dibagi bagian senif-senifnya. Banyak ongkos 20 bambu (takaran di Aceh). Jumlah itulah yang berlaku sejak zaman dahulu. Tapi dewasa ini telah meningkat dari 24-32 bambu.
Dewasa ini untuk mencari seorang juru masak ‘ie bu’ pun sukar. Seminggu sebelum tibanya bulan puasa, dapur ‘wot ie bu’ telah selesai dibuat dari tanah liat. Biasanya ditempatkan di salah satu sudut meunasah (di tanah). Perlengkapan dapur yang lain, yaitu aweuek (iros) yang bertangkai panjang, beulangong beuso (kuala besar dari besi), sandeng (rak), dan sebuah sumbu penghancur beras. Sebagai bahan bakar untuk masak ‘ie bu’ adalah uram trieng (pangkal bambu kering).
Biasanya pada hari kedua masuk bulan Ramadhan, pekerjaan “wot ie bu” dimulai dan baru berakhir sampai sehari atau dua sebelum habis bulan puasa. Setiap sore sekitar pukul 15 WIB, juru masak bubur mulai bekerja. Dia mengambil beberapa bambu beras, kelapa, dan bahan lainnya dari rumah Teungku Peutua Meunasah. Jumlah bahan yang diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk desa setempat.
Khanduri ie bu
Sebagaimana telah saya jelaskan di atas bahwa sumber utama perlengkapan ‘ie bu’ berasal dari hasil panen padi dari ‘umong ie bu’ yang terdapat di semua meunasah di Aceh, kecuali sebagian daerah yang tidak mempunyai tradisi itu. Tapi selain itu, masyarakat juga memberikan perlengkapan bahan ‘ie bu’. Pemberian masyarakat itu disebut “khanduri ie bu”. Bahan ‘ie bu’ sumbangan masyarakat ini biasanya lebih lengkap, seperti adanya daging ayam atau udang. Pada sore itu, biasanya anak-anak lebih banyak yang mengambil ‘ie bu’ kanji (bubur kanji) ke meunasah.
Jenis-jenis ie bu
Jenisnya ada tiga macam, yaitu ‘ie bu biasa’, ‘ie bu leumak’, dan ‘ie bu on kaye’. Yang sangat populer dewasa ini adalah ‘ie bu biasa’. Ia mudah dimasak dan tidak membutuhkan modal banyak. Cukup hanya dengan beras, santan kelapa, garam, dan air bersih.
Jenis kedua adalah ‘ie bu leumak’ (lemak) yang memerlukan banyak modal. Di antara bahan pokok yaitu: minyak kelapa, kulit manis, bawang merah, serai, jahe, on teumeurui (daun kari), boh kaca kace (cengkih). Sudah pasti pula beras, santan kelapa, air bersih merupakan bahan utama.
Cara memasaknya adalah seperti orang syra’h eungkot (tumis ikan). Minyak kelapa dan bawang merah yang pertama dimasak. Kemudian baru santan dan beras. Sedang bahan-bahan lain baru dimasukkan ke dalam kuali setelah dibungkus dalam ‘iniem u’ (upih kelapa).
Adakalanya dimasak seperti orang menumis daging, yaitu dengan menggiling semua bahannya. Jenis ‘ie bu’ yang hampir sama dengan ‘ie bu leumak’ adalah ‘ie bu kanji’. Bahan tambahannya hanyalah salah satu dari hal berikut ini, yaitu baik daging sapi, daging bebek, ayam jago, kepiting, atau udang.
Yang ketiga disebut ‘ie bu on kaye’ (bubur daun kayu). Dewasa ini sudah agak jarang dipraktikkan orang. ‘Ie bu on kaye’ tidak menggunakan santan kelapa. Bahannya adalah beras, air bersih, dan 44 macam daun kayu. Dalam bahasa Aceh disebut “on kaye peuet ploh peuet”. Di Kabupaten Aceh Besar, sebutannya ‘ie bu peudah’.