Berita Banda Aceh
Untuk Memutus Rantai Penularan Covid, 3T dan 3M Sama Pentingnya bagi Aceh
peningkatan kasus positif Covid-19 boleh jadi dikarenakan tidak lagi maksimalnya praktik 3T dilakukan di tengah masyarakat
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Muhammad Hadi
Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Melonjaknya kembali jumlah warga Aceh maupun pendatang yang terinfeksi Covid-19 di provinsi paling barat Indonesia ini mengundang keprihatinan Dr dr Azharuddin SpOT K-Spine FICS.
Dosen senior Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (FK USK) ini menduga peningkatan kasus positif Covid-19 boleh jadi dikarenakan tidak lagi maksimalnya praktik 3T dilakukan di tengah masyarakat.
Sebagaimana diketahui, 3T terdiri atas tiga langkah, yakni pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment).
"Pemeriksaan dini (testing) tentunya menjadi sangat penting dilakukan agar pasien bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita bisa menghindari potensi penularan terhadap orang lain," ujar Azharuddin menjawab Serambinews.com, Senin (17/5/2021) pagi.
Baca juga: Petugas Ambulans India Buang Puluhan Mayat Korban Covid-19 ke Sungai
Kemudian, kata Azharuddin, pelacakan harus dilakukan terhadap kontak-kontak yang terdekat dengan pasien positif Covid-19.
"Setelah diidentifikasi oleh 'petugas kesehatan', kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan (treatment) lebih lanjut," sarannya.
Seandainya ketika dilacak si kontak erat menunjukkan gejala, maka perlu dilakukan tes, yakni kembali ke praktik pertama (testing).
"Dalam hal 3T ini nanti benar-benar jelas siapa harus mengerjakan apa. Jadi, pihak yang berwenang harus sangat proaktif," imbuh Azhar yang pada tahun pertama pandemi di Aceh kaya pengalaman menangani pasien-pasien Covid-19 di RSUZA Banda Aceh.
Baca juga: VIDEO Serangan Israel Makin Brutal, 10.000 Warga Palestina Tinggalkan Rumah di Gaza
Ia mengingatkan bahwa penerapan praktik 3T itu sama pentingnya dengan penerapan perilaku 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak).
"Kedua hal tersebut adalah upaya sistemik untuk memutus rantai penularan Covid-19, termasuk di Aceh," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Azhar, penerapan praktik 3T masih perlu ditingkatkan pemahamannya di tengah masyarakat, mengingat masyarakat lebih mengenal 3M yang kampanyenya dilakukan terlebih dahulu dan gencar.
Nah, khusus untuk praktik 3T itu, ulas Azhar, peran dinkes provinsi dan kabupaten/kota adalah mandatory/mutlak, meskipun pihak lain bisa saja ikut membantu.
"Tapi sayangnya sekarang tidak pernah lagi kita dengar keseriusan tentang 3T itu. Kalau semua pihak lengah atau abai dari tanggung jawabnya memutus mata rantai Covid, maka Aceh akan panen kasus Covid yang lebih parah lagi," ujarnya memprediksi.
Baca juga: Raja Abdullah II Siap Membantu Mengakhiri Konflik di Jalur Gaza dan Jerusalem
"Tidak terbayangkan bakal tak habis-habisnya terjadi tularan dalam komunitas jika edukasi dan perlakuan yang seharusnya terhadap mereka yang terpapar tidak ada yang mengurus dengan semestinya," tambah Azharuddin.
Ia juga menekankan pentingnya pelayanan yang prima di klinik-klinik penyakit infeksi new emerging dan reemerging (pinere) mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota di Aceh.
"Jika pengalaman/kualitas layanan di klinik pinere tidak berjalan dengan baik atau dengan kualitas yang substandard, ujung-ujungnya menjadi mimpi buruk bagi masyarakat," ucapnya.
Azhar mengemukakan hal itu setelah mencermati dua realitas yang kini mengemuka di Aceh.
Pertama, meningkatnya kembali jumlah warga yang positif terinfeksi Covid-19 dalam dua minggu terakhir. Rata-rata di atas 50 hingga 100 kasus per hari.
Realitas kedua, meningkatnya jumlah pasien yang harus dirawat intensif di klinik pinere.
Baca juga: Bendera Palestina Dibentangkan Saat Leicester City Rayakan Gelar Juara Piala FA
Bahkan di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh maupun di Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) Aceh Utara kini semua kamar pinerenya hampir penuh dengan pasien.
Azhar berharap, setelah Klinik Pinere RSUZA dan RSUCM yang nyaris penuh dengan pasien gawat tidak ada lagi rumah sakit di Aceh yang keadaannya seperti itu.
Menurut Azharuddin, dalam dua minggu ke depan pasca-1 Syawal ini akan makin jelas terlihat arah Covid di Aceh. "Apakah hijau, kuning, atau merah? Semoga yang terbaik," ujarnya berharap.
Azhar menambahkan, faktanya belakangan ini banyak pihak tidak lagi melakukan peran mereka sebagaimana mestinya.
"Istilah saya dulu pasien selamat karena Allah masih sayang saja pada mereka, bukan karena peran kita yang hadir di sana," tukasnya.
Ia juga mengajak jurnalis dan para penyuluh kesehatan cobalah pikirkan bagaimana cara terbaik untuk mengangkat kembali persoalan-persoalan nyata yang dialami masyarakat seputaran Covid saat ini, agar kesadaran masyarakat terhadap bahaya Covid tetap tumbuh.
Baca juga: Indonesia Usulkan Tiga Langkah Kunci kepada OKI untuk Hentikan Serangan Israel ke Palestina
Azhar tak ingin ada cerita-cerita sedih berikutnya untuk masyarakat Aceh terkait Covid-19 dan varian barunya.
Apalagi kalau sampai terjadi tsunami Covid di Aceh seperti yang kini terjadi di India.
Ia juga menyarankan perlu terus diaktifkan forum testimoni seperti pada tahun lalu di RSUZA.
Minimal seminggu sekali, lakukan komunikasi secara online dengan mantan pasien/keluarga secara acak diikutkan.
"Jadi, genuine masukan yang kita dapatkan. Apa yang sudah baik dipertahankan dan apa lagi yang perlu terus diberi perhatian ya kita optimalkan pencapaiannya," saran spesialis bedah tulang ini.
Bicara tentang thermogun, Azharuddin menilai, thermogun selama ini hampir tidak ada yg bisa "menangkap" si terduga Covid.
"Yang tetap diyakini ampuh adalah prokes yang ketat dan bukan sekadar formalitas belaka," imbuhnya.
Azharuddin menyebutkan, orang tanpa gejala (OTG) itu 99,9% tidak demam, jadi tidak terdeteksi dengan thermogun.
"Sudah 15 bulan ini kita diajari apa oleh thermogun? Mending yang konsisten adalah prokes, jika semuanya mau bergerak mungkin bisa, tapi kenyataannya yang bergerak hanya 10-15% saja," keluhnya.
Baca juga: Israel Negara Kecil Penguasa Dunia, Fakta Sejarah Ulasan Pria Kashmir India
Ia sarankan, coba saja secara berjenjang semua pihak sama keras dan konsistennya, mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati wali kota, camat, lurah, RW, dan RT, barulah Covid itu terjepit.
"Sekarang kan 80-an persennya basa-basi saja. Mestinya tugas pemerintah ya memerintah, bukan lagi sekadar mengharapkan, mengimbau, dan sejenisnya berupa retorika saja. Memang kerja berat, kerja berisiko, kerja tidak populer, tapi memang itulah kewajibannya," tukas Azharuddin.
Terakhir, ia pesankan untuk semua pihak bahwa akhir-akhir ini dengan munculnya varian baru/mutasi Covid-19 didapatkan gejala klinis yang dirasakan/dikeluhkan pasien bahwa sudah tidak begitu khas lagi. Tapi malah lebih berat dan fatal.
Contohnya, seorang lelaki usia 50-an tahun yang relatif masih muda, mengeluh hanya lemas, sangat kelelahan, sakit semua sendi-sendi dan badan, mencoba istirahat, minum obat standar yang biasa diminumnya.
Baca juga: Israel Semakin Brutal, PM Netanyahu Perintahkan Semua Alutsista Digunakan untuk Bombardir Gaza
Namun, 3-4 hari tidak juga membaik kondisinya, malah makin parah. Nah, hari ke-5 dia datang ke ruang emergency di rumah sakit. Ketika diperiksa ia memang positif terinfeksi Covid-19.
Nah, meski sudah diupayakan pertolongan maksimal, tetapi tidak tertolong dan orang tersebut meninggal.
"Lesson learned-nya adalah waspada, waspada, dan waspada. Jika merasakan sesuatu gejala yang tidak biasanya segeralah datang ke fasilitas kesehatan.
Jangan anggap sepele, sampai dipastikan apakah mengarah ke Covid atau tidak. Jangan 'gambling', apalagi menganggap remeh Covid-19 atau si makhluk halus itu," demikian saran Dr Azharuddin. (*)
Baca juga: Hari Ini Bupati Aceh Singkil Ikut Rakor dengan Presiden Jokowi