Opini

Strategi Tata Kelola Energi Baru dan Terbarukan Aceh

Kehidupan masyarakat modern tidak terlepas dari kebutuhan akan energi. Sehingga konsumsi energi di suatu kawasan menjadi ukuran tingkat kemajuan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Strategi Tata Kelola Energi Baru dan Terbarukan Aceh
IST
Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M.Sc., Staf Pengajar di Jurusan Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala (USK)

Oleh Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M.Sc., Staf Pengajar di Jurusan Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala (USK)

Kehidupan masyarakat modern tidak terlepas dari kebutuhan akan energi. Sehingga konsumsi energi di suatu kawasan menjadi ukuran tingkat kemajuan peradaban penghuninya. Masyarakat yang maju, modern dan berkualitas biasanya akan mengonsumsi energi lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang lemah ekonominya. Karena energi diperlukan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan segala macam atribut kehidupan manusia.

Kebutuhan energi negara Indonesia dipenuhi dari sumber energi yang disebut energi primer yaitu minyak bumi, gas, batubara, dan energi baru dan terbarukan (EBT). Bauran energi primer tahun 2019 menunjukkan dominasi batubara (37,15%) diikuti oleh minyak bumi (33,58%) dan gas (20,13%). Sedangkan peran EBT masih minimal yaitu 9,15% yang kemudian sedikit meningkat menjadi 11,31% di tahun 2020.

Energi Baru dan Terbarukan (EBT) tidak akan habis, dapat terus dieksplorasi dan umumnya ramah lingkungan, seperti panas bumi, energi surya, air, biomassa, dan energi bayu (angin). Bauran

energi primer non-EBT berangsur-angsur akan diturunkan, selain karena cadangannya yang akan semakin terbatas juga bersifat merusak lingkungan dengan emisi CO2-nya. Negara-negara dunia telah bersepakat untuk menyusun target penurunan bauran energi primer non-EBT dan meningkatkan nilai bauran energi primer EBT. Demi mencapai kondisi dunia yang lebih bersih di masa depan.

Indonesia melalui Dewan Energi Nasional (DEN) telah berkomitmen dengan membuat target bauran energi primer EBT sebesar 23% di tahun 2025 dan 31,2% di tahun 2050.

Bagaimana dengan Aceh? Kita patut memberi apresiasi kepada Pemerintahan Aceh dan DPRA yang telah berhasil menyusun Qanun Nomor 4 tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Aceh. Di dalamnya tersusun komitmen Aceh mengatur kebijakan penggunaan energi primer Aceh yang intinya menuju kepada ketahanan energi Aceh di masa depan.

Secara umum Qanun ini bertujuan memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi energi, meningkatkan efisiensi pemakaiannya, menjamin akses yang adil, mengembangkan kemampuan teknologi energi, menciptakan lapangan kerja dan mengendalikan dampak lingkungan.

Gubernur Aceh Nova Iriansyah dalam suatu kesempatan mengutarakan target yang optimistis soal bauran energi primer EBT Aceh tahun 2022 sebesar 12,25%. Kemudian 33,9% untuk tahun 2025 dan 43,3% di tahun 2050. Jauh melebihi dari target bauran energi EBT di tingkat nasional.

Potensi ketersediaan energi terbarukan di Aceh memang sangat menjanjikan. Daerah ini sangat kaya akan sumber-sumber energi terbarukan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral (ESDM), peluang pengoptimalan EBT di Aceh mencapai 25,31 gigawatt (GW). Besaran tersebut terdiri dari 1,2 GW energi panas bumi, 16,4 GW energi surya, 6,6 GW energi hidro, 0,98 GW energi angin dan 0,22 GW bioenergi.

Namun ketersediaan energi terbarukan yang melimpah ruah ini belum dimanfaatkan. Karena kenyataannya sampai tahun 2019 pemanfaatan EBT di Aceh masih sangat minim terbatas pada pembangkit skala kecil Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya komunal (PLTS). Total pengoperasiannya di seluruh Aceh tidak mencapai 1% bauran energi listrik.

Lantas bagaimana cara merealisasikan target bauran EBT yang sebesar 12,25% di tahun 2022? Untuk itu diperlukan terobosan dan strategi yang `out of the box' agar Aceh mampu merelisasikan target muluk Gubernur ini.

Siapa yang harus merumuskan kebijakan energi untuk Aceh? Tentunya yang paling bertanggungjawab adalah Pemerintahan Aceh dalam hal ini Gubernur dan jajarannya, serta bekerjasama dengan DPRA. Namun diperlukan adanya masukan dan sumbang saran dari berbagai pihak yang berkepentingan. Antara lain dari pihak pelaku ekonomi, industri yang ada, aktivis energi, peneliti, akademisi dan masyarakat umum yang terdampak langsung dengan kebijakan energi ini.

Kita perlu mengidentifikasi pilihan energi terbarukan yang paling memungkinkan untuk dimanfaatkan. Dari target bauran energi EBT sebesar 33,9% di tahun 2025 dan 43,3% tahun 2050, maka kita perlu merumuskan berapa bauran energi yang sesuai untuk masing-masing jenis energi EBT yang tersedia.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved