Gagal Jadi Negara Minyak, Timor Leste Kini Malah Terjebak dalam Jurang Kemiskinan
ekspektasi tinggi rakyat negara untuk hidup di negara kaya raya karena punya sumber minyak dan gas bumi yang melimpah ternyata isapan jempol semata
Timor Lorosa’e telah menikmati pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun berturut-turut dengan dukungan royalti dari minyak dan gas.
Baca juga: VIRAL Mantan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao Angkat Kardus Untuk Bantu Korban Banjir
Timor Leste mengikuti Norwegia yang menyimpan pendapatan dari minyak tersebut dalam dana kekayaan negara khusus.
Setelah lama absen pada tahun 2018, Timor Leste mencatatkan keberhasilan awal negara ini, yaitu rencana elektrifikasi pedesaan yang meningkatkan cakupan dari 20% rumah tangga pada tahun 2002 menjadi 80% telah membawa banyak desa keluar dari kegelapan.
Kemudian beberapa gedung tinggi mengilap di ibu kota Dili, dengan mal modern dan waralaba global sudah dibangun.
Namun, ledakan pariwisata yang diprediksi seperti pola yang ditetapkan oleh negara-negara pasca-konflik lainnya seperti Kamboja dan Myanmar tidak pernah terwujud.
Pada 2018, hanya 75.000 wisatawan yang berkunjung ke Timor Leste.
Dengan angka itu, kira-kira turis yang datang ke Bali selama empat hari.
Jalanan bahkan lebih buruk daripada satu dekade sebelumnya.
Sekarang, perjalanan 40 km dari Dili ke One Dollar Beach, tempat menyelam kelas dunia, memakan waktu dua jam di jalan tanah dengan lubang seukuran kawah bom, melansir Nikkei Asia (17/10/2020).
Ketika hujan turun pada suatu sore, bisa ditemukan sungai di tengah kota Dili.
Lalu kemana perginya $10 miliar yang diklaim pemerintah berturut-turut untuk infrastruktur selama 18 tahun terakhir?
Perubahan yang paling terlihat adalah sesuatu yang jauh lebih tidak nyata, yaitu hilangnya harapan.
Satu hal yang menonjol adalah harapan masyarakat Timor Leste untuk masa depan yang lebih baik, sekarang sudah hilang.
Di Tibar, pinggiran Dili, di mana pelabuhan komersial senilai $500 juta sedang dibangun, terlihat anak-anak berusia delapan tahun bekerja sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah.
“Saya lapar,” kata seorang pria, menyimpulkan penderitaan bangsanya.