Jurnalisme Warga

Sawit ‘Rimueng Kureng’ Mulai Mengaum

SAWIT merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam genus Elaeis dan ordo Arecaceae. Tumbuhan ini digunakan dalam usaha pertanian komersial

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Sawit ‘Rimueng Kureng’ Mulai Mengaum
IST
Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si., Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Unimal dan Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), melaporkan dari Nisam Antara, Aceh Utara.

OLEH Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si., Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Unimal dan Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), melaporkan dari Nisam Antara, Aceh Utara.

SAWIT merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam genus Elaeis dan ordo Arecaceae.

Tumbuhan ini digunakan dalam usaha pertanian komersial untuk memproduksi minyak sawit yang merupakan tumbuhan industri sebagai bahan baku penghasil minyak masak maupun bahan bakar.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Aceh tahun 2016 luas tanam sawit di provinsi ini tercatat 228.230 hektare (ha) dengan total produksi 399.618 ton.

Sektor ini menyerap tenaga kerja 75.030 jiwa.

Di Aceh Utara saja terdapat 17.911 ha kebun sawit dengan total produksi 39.643 ton.

Dari 61 perusahaan kelapa sawit yang bergerak di Aceh, yang masih beroperasi sekarang hanya 39 saja.

Delapan di antaranya masih dalam tahap pembangunan dan 14 lagi sudah dinyatakan kolaps.

Padahal, sawit merupakan komoditas strategis yang paling banyak menyumbang devisa negara.

Terdapat 75 lebih kasus sengketa pertanahan sejak tahun 2005.

Antara lain, konflik tanah sektor perkebunan, pertambangan, pembangunan, dan penyediaan instalasi pertanahan dan keamanan.

Harapannya, Raqan Pertanahan Aceh dapat mencegah meningkatnya sengketa pertanahan.

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Sawit, Rekonsiliasi Ekonomi dan Lingkungan (V)

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Aceh, ‘Daerah Modal’ Sawit & Kebutuhan Minyak Nabati Global Abad XXI (IV)

Upaya melepas lilitan masalah yang sengkarut dan seperti mengurai benang kusut ini kelak terlaksana dengan adanya Qanun Aceh tentang Pertanahan.

Mengutip ungkapan yang ada di dalam naskah akademik raqan tersebut, "Tanoh gampong keu rumoh, di gle nyang jioh ta meulampoh, tempat ta piyoh oh watee tuha."

Berarti di tanah kampung kita buat rumah, di hutan kita berkebun, agar bisa istirahat di masa tua. (Liputan6.com)

Di masa Covid-19, pandemi panjang ini berdampak terhadap ekspor salah satu komoditas andalan Indonesia, yakni sawit.

Tercatat sepanjang tahun lalu realisasi volume ekspor minyak sawit hanya 34 juta metriks ton, turun 9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Akan tetapi, nilai ekspor dari komoditas itu justru naik sebesar 13,6 persen secara tahunan, menjadi 22,97 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 321,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS) pada tahun 2020.

Dengan demikian, minyak kelapa sawit memiliki peranan yang besar terhadap perekonomian nasional.

Minyak sawit memiliki rata-rata porsi sebesar 14,19 persen terhadap total ekspor komoditas nonmigas nasional. (Kompas.com)

Di Aceh Utara, ada kebun sawit yang dikelola oleh eks kombatan GAM yang berasal dari pasukan “Rimueng Kureung”.

Di masa konflik Aceh, pasukan ini sangat disegani lawan. Pascakonflik, mereka menanam sawit di kawasan Nisam Antara, areal tanah subur yang terletak di lereng Gunung Geureudong Pasee.

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Rezim Transnasional Komoditi Sawit dan Reaganomics di Barsela (III)

Untuk memenuhi kebutuhan anggota beserta keluarganya, mereka memilih untuk berkebun kelapa sawit sebagai pekerjaan sehari-hari di masa perdamaian ini.

Dengan lahan yang diserahkan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA)--lembaga resmi pemeritah yang mengurus masalah reintegrasi pascakonflik--sekitar 200 ha, kini tanah tersebut sudah menjadi kebun sawit yang sangat produktif dan menjanjikan.

Ketekunan eks kombatan dalam mengelola kebun secara professional, membuat aktivitas tersebut sebagai penyumbang devisa terbanyak dari Aceh bagi bangsa dan negara.

Kebun yang telah tertata tersebut, sekarang menjadi contoh program reintegrasi yang berhasil, yaitu mampu menyejahterakan pihak yang terlibat bertikai saat konflik terjadi.

Keberhasilan pengelolaan kebun sawit tersebut, dijadikan sebagai model reintegrasi sosial-ekonomi eks kombatan GAM “Rimueng Kureung” berbasis usaha kelapa sawit di Kecamatan Nisam Antara yang dibiayai oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Baca juga: Digeluti Mayoritas Masyarakat Subulussalam, Sawit Jadi Penopang Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19

Inisiatif Dr Nirzalin MSi dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe mengangkat tema tersebut dalam usulan Grant Riset Sawit 2021 dinyatakan lolos dan masuk dalam 28 proposal yang akan dibiayai setelah berhasil mengungguli ratusan usulan yang masuk dari seluruh Indonesia.

Prestasi yang membanggakan tersebut tentu akan menjadi tambahan prestasi bagi Aceh dalam membangun perkebunan sawit Indonesia.

Potensi alam yang subur serta sumber daya manusia yang melimpah di Aceh, perlu digerakkan ke berbagai aktivitas produktif  yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Kampus yang merupakan tempat bercokolnya kaum intelektual, perlu digelorakan untuk membuat berbagai tindakan positif yang dapat mencerahkan masyarakat sekitarnya.

Lampu penerang yang berada di kampus hendaknya menjadi cahaya yang dapat membangkitkan roda pembangunan sehingga mampu menggerakkan perekonomian masyarakat.

Berbagai potensi serta peluang yang ada dalam masyarakat, sangat penting untuk disusun dalam berbagai konsep yang dapat dicerna oleh pihak terkait untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Produksi sawit Indonesia yang telah diakui masyarakat dunia sebagai sawit terbaik dunia, sangatlah penting untuk diproduksi dengan teknologi yang ramah lingkungan sehingga sangat perlu dilakukan berbagai riset agar memperoleh hasil yang lebih optimal.

Di pihak lain apa yang telah dilakukan eks kombatan di Aceh Utara itu merupakan salah satu model yang dapat dijadikan contoh dalam mengelola perkebunan sawit dengan baik dan profesional, sehingga dapat menyejahterakan anggota beserta keluarganya.

Bila tidak, kita khawatirkan para oknum eks kombatan terjerumus dalam berbagai aktivitas yang dapat merusak nama baik pribadi dan kropsnya.

Dukungan sebagaimana yang telah dilakukan oleh BRA dalam pemberdayaan, terutama bagi para pihak yang bertikai, perlu dilanjutkan oleh pemerintah daerah dalam berbagai program nyata.

Ketertinggalan pembangunan akibat konflik yang terjadi di Aceh 29 tahun perlu dipacu secara sunguh-sungguh dengan berbagai program yang dapat mempercepat pembangunan daerah.

Berbagai potensi yang dapat memicu konflik baru sangat penting untuk dihindari.

Penetapan anggaran yang dikelola pemerintah, hendaknya lebih diprioritaskan pada kegiatan yang dapat meningkatkan perputaran uang di daerah atau “capital inflow”, agar roda perekonomian Aceh benar-benar berjalan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) yang begitu banyak berada di daerah, sangat perlu pula dilindungi dengan berbagai regulasi yang menguntungkan mereka.

Pembangunan pabrik crude palm oil (CPO)  minyak nabati yang dihasilkan dari buah sawit sangat penting dibangun lebih banyak lagi di Aceh agar mampu mengolah sawit yang begitu banyak, serta dapat diekspor melalui Pelabuhan Lhokseumawe dan Malahayati, Aceh Besar.

Selain itu, diharapkan juga mampu memproduksi berbagai turunan dari CPO seperti keju, sabun, minyak wangi, dan lainnya yang tentunya akan meningkatkan nilai tambah bagi daerah.

Keberpihakan pemerintah terhadap UMKM yang jumlahnya lebih dari 90 persen dari pelaku ekonomi bangsa, seharusnya diberikan prioritas utama untuk dapat maju dan berkembang.

Mereka menjadi penggerak utama dari perekonomian seharusnya diberikan garansi terhadap keberlangsungan usahanya  terutama terhadap permodalan serta jaringan distribusi, supaya mereka berjaya di daerah sendiri.

Agar perkebunan sawit Rimueng Kureung mampu mengaum lebih besar lagi, maka sangat diperlukan penerapan masterplan peta jalan industri sawit yang lebih mumpuni oleh pemerintah, sehingga Aceh memiliki keunggulan di sektor perkebunan sawit.

Apa yang telah dirintis para eks kombatan tersebut, hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak. Moga ke depan Aceh dijadikan sebagai model pembangunan perkebunan sawit pascakonflik yang nyata-nyata melibatkan eks kombatan. 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved