Gubernur Aceh Targetkan Rumah Bantuan untuk Korban Longsor di Lamkleng Selesai Dalam Dua Bulan
Pembangunan rumah untuk korban bencana tanah bergerak ini, kata Nova, adalah bukti kehadiran negara saat warga membutuhkannya.
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Amirullah
Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah MT melakukan peletakan batu pertama pembangunan rumah untuk korban bencana tanah bergerak di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar, Sabtu (3/7/2021) pagi.
Menurut Nova, pembangunan rumah-rumah bantuan itu ditargetkan paling lama selesai dalam masa dua bulan.
Pembangunan rumah untuk korban bencana tanah bergerak ini, kata Nova, adalah bukti kehadiran negara saat warga membutuhkannya.
"Segera setelah kunjungan ke lokasi pada Februari lalu, saya langsung instruksikan kepada pihak terkait untuk membangun hunian baru untuk korban. Dan mekanismenya adalah dengan menggunakan dana CSR (PT Bank Aceh Syariah), karena kita yakini itu yang paling cepat dan fleksibel untuk hal tersebut," kata Nova.
Kegiatan ini, lanjut Nova, sekaligus menjadi bukti sinergi yang kuat antara pemerintah provinsi, kabupaten, perusahaan milik pemerintah daerah, dan masyarakat.
Baca juga: Lupa Matikan Kamera, Mahasiswa Ini Ketahuan Mesum Saat Kelas Online, Dosen: Apa yang Kamu Lakukan?
"Sinergi ini bisa jadi model untuk respons terhadap masalah-masalah sosial di lapangan," kata Gubernur Nova Iriansyah.
Pemerintah Aceh, lanjut Nova, melalui CSR PT Bank Aceh Syariah membangun 18 rumah, sedangkan Pemkab Aceh Besar menyediakan tanah untuk delapan keluarga korban longsor di Gampong Lamkleng yang tidak memiliki tanah.
"Kita berharap semoga rumah ini menjadi tempat beribadah, tempat di mana keluarga bisa hidup tanpa waswas lagi, tempat di mana anak-anak bisa berkembang dengan baik," timpal suami Dr Dyah Erti Idawati MT ini.
Gubernur juga mengucapkan terima kasih banyak atas kontribusi semua pihak, yakni PT Bank Aceh Syariah, Pemkab Aceh Besar, satuan kerja perangkat Aceh (SKPA) terkait, serta warga Lamkleng sehingga pembangunan rumah ini bisa berjalan dengan lancar.
"Kita targetkan bisa selesai paling lama dalam dua bulan," kata Nova tentang target waktu penyelesaian sepuluh dari 18 rumah bantuan tersebut.
Baca juga: Rumah untuk Korban Longsor di Lamkleng Mulai Dibangun, Gubernur Aceh Lakukan Peletakan Batu Pertama
Hadir dalam acara itu Direktur Bank Aceh Syariah, Haizir Sulaiman MH; Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali; Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Dr Ir Ilyas MP; Kepala Dinas Sosial Aceh, Dr Drs Yusrizal MSi; Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Ir Mahdinur MM, Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, dan seluruh direksi PT Bank Aceh Syariah.
Hadir juga Kepala Bappeda Aceh Besar, Kadis Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh Besar, serta Kabag Humas Setdakab Aceh Besar, dan sejumlah pejabat lainnya.
Total korban tanah bergerak di Gampong Lamkleng tercatat 18 kepala keluarga (KK). Untuk tahap awal, hanya sepuluh rumah yang dibangun, khusus untuk korban bencana yang ada tanahnya.
Sedangkan delapan KK lagi yang tak memiliki tanah, rumahnya akan dibangun kemudian setelah persil tanahnya disediakan Pemkab Aceh Besar.
Baca juga: Wanita Pembuat Video Arisan Ritual Tumbal Berondong Diperiksa Polisi, Begini Pengakuan Sebelumnya
Sebagaimana diberitakan terdahulu, harapan 18 KK warga Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, untuk mendapatkan rumah baru di lokasi yang aman dari fenomena tanah bergerak, mulai jadi kenyataan.
Pemerintah Aceh dengan menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) PT Bank Aceh Syariah mulai membangun sepuluh dari 18 rumah di lokasi baru, jauh dari titik longsor, tapi masih dalam kawasan Gampong Lamkleng.
Lokasi baru tersebut berada di areal persawahan, jauh dari sungai, lebih mengarah ke kaki Gunung Seulawah Agam. Tepatnya berada di sebelah utara desa agraris tersebut.
Sebagai tahap awal pembangunan rumah untuk korban tanah bergerak tersebut, pagi ini, Sabtu (3/7/2021) sekitar pukul 10.30 WIB dilakukan peletakan batu pertama oleh Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah MT di lokasi pembangunan rumah bantuan tersebut.
Baca juga: Ini Daftar 10 Instansi Teratas dan Terbawah yang Dilamar CPNS dan PPPK 2021, BKKBN Terbanyak
Hal senada diakui Edi Fadhil SH dari Pembangunan rumah bantuan tersebut dipercayakan manajemen PT Bank Aceh Syariah kepada Yayasan Cet Langet yang dipimpin Edi Fadhil SH.
Berdasarkan kontrak, rumah bantuan tersebut dibangun dengan biaya Rp 78 juta per unit, tidak termasuk tanah.
Persil tanah untuk pembangunan rumah bantuan tersebut milik pribadi masing-masing korban yang rumahnya berada di lokasi longsor atau terancam longsor.
Sejauh ini, kata Munzir, pelaksana lapangan pembangunan rumah bantuan itu hanya sepuluh dari 18 KK yang memiliki tanah di lokasi sawah, tempat dibangunnya rumah-rumah baru tersebut.
Oleh karenanya, untuk tahap awal hanya sepuluh rumah yang dibangun.
"Sedangkan sisanya yang delapan unit lagi akan dibangun setelah para korban tanah longsor mendapatkan bantuan tanah dari Pemkab Aceh Besar," kata Munzir.
Jadi, pada prinsipnya, Pemerintah Aceh melalui CSR PT Bank Aceh Syariah hanya membantu pembangunan fisik rumah. Sedangkan tanahnya milik masing-masing KK yang terdampak longsor.
Khusus korban tanah longsor yang tak memiliki tanah sawah di lokasi pembangunan rumah baru, akan dibantu pengadaan tanahnya oleh Pemkab Aceh Besar.
Baca juga: Ditegur Ayah Gegara Unggah Foto Pacaran di Facebook, Bocah SMA Ini Nyemplung dari Jembatan 15 Meter
Lokasi sawah, tempat rumah-rumah bantuan itu mulai dibangun berjarak sekitar 300 meter dari permukiman penduduk.
Terus amblas
Sebagaimana kerap diberitakan Serambinews.com, pelan tapi pasti, permukaan tanah yang kini merekah dan amblas di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, terus bertambah.
Kedalamannya kini sudah mencapai 7,5 meter, panjang 200 meter, dan lebarnya 250 meter (termasuk longsor di kawasan lereng sungai).
Bertambahnya kedalaman, lebar, dan panjang tanah yang longsor tersebut akibat hujan deras akhir-akhir ini yang kerap mengguyur kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh.
"Saya ukur kedalaman titik longsor, berkisar antara 7-7,5 meter dalamnya," kata Munzir (35), tokoh pemuda setempat yang dihubungi Serambinews.com via telepon dari Banda Aceh, Sabtu siang.
Menurut Munzir, warga Gampong Lamkleng kini berada dalam kondisi dilematis. Bila hujan turun maka permukaan tanah terus bergerak dan longsor, meski penurunannya tak sedahsyat pada medio hingga akhir Januari lalu.
Di sisi lain, bila hujan tidak turun tiga hingga enam hari, maka sawah-sawah penduduk Lamkleng kekeringan. "Maklum, sawah di desa ini masih sistem tadah hujan," kata Munzir.
Baca juga: China Jarang Jawab Kekhawatiran Vaksin Sinovac Lemah Lawan Covid-19, Indonesia Tetap Ngotot Pakai
Tenaga Administrasi Komputer pada SMP Negeri 1 Kuta Cot Glie ini juga menambahkan bahwa jumlah pengungsi di desa itu kini jauh berkurang. Hanya tinggal satu keluarga lagi.
Mereka masih tinggal di bawah tenda, karena rumah permanennya tak mungkin lagi ditempati. Dapur dan toiletnya sebagian sudah menggantung karena tanah di bawahnya terus amblas. Demikian pula septic tank, pondok, dan rumpun pohon pisang di belakang rumah tersebut.
Pohon-pohon besar di desa ini juga banyak yang bertumbangan karena berada di lokasi tanah bergerak, di antaranya pohon asam jawa, pohon hagu, dan pohon ceubrek.
Di lokasi pohon yang bertumbangan itu terdapat belasan makam tua dan makam baru. Beberapa di antaranya kini tenggelam, tapi kerangka di dalamnya belum terlihat dari luar.
Ceruk atau bidang gelincir yang selama ini turun, kini tambah turun, itulah yang titik terdalamnya mencapai 7,5 meter. Panjangnya bertambah sedikit, dari sebelumnya sekitar 150 meter kita sudah menjadi 200 meter.
Penambahan rekahan yang signifikan justru terjadi di sebelah selatan desa itu, tepatnya arah ke sungai. Di lokasi itu bukan saja rekahannya bertambah banyak dan lebar, dari bawahnya juga keluar air tanah.
Saat hujan deras mengguyur, kata Munzir, di ceruk yang amblas bertahap sejak 10 Januari lalu itu kini terperangkap air hujan sehingga membentuk seperti kolam dangkal. Airnya mengalir deras ke arah sungai bila hujan lebat dan kering saat kemarau.
Baca juga: Cara Menghilangkan Komedo, Coba 4 Cara Dengan Memakai Bahan Alami
Dalam suasana kemarau para pengungsi umumnya meninggalkan tenda dan kembali ke rumah. "Tapi bila malam turun hujan lebat, warga kembali ke tenda untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan," kata Munzir.
Di bagian utara desa yang dipimpin Muhammad Fajri itu terdapat hamparan sawah pola terasering.
Terasering adalah suatu pola atau teknik bercocok tanam dengan sistem bertingkat (berteras-teras atau berundak-undak) sebagai upaya pencegahan erosi tanah.
Setelah hamparan sawah tersebut, melebar ke arah selatan sekitar 300 meter terdapat sungai, yakni Krueng Aceh.
Di antara sawah dan tebing sungai itulah terdapat permukiman penduduk. Di tengah permukiman ini ada jalan aspal selebar 3 meter. Satu setengah meter di antaranta ikut amblas sepanjang 40 meter akibat fenomena tanah bergerak sejak 10 Januari lalu.
Bukan saja badan jalannya yang amblas, tapi beton penahan tebing jalan pun ikut patah dan amblas. Pengemudi sepeda motor harus sangat hati-hati melintas di tempat itu, karena hanya setengah meter lagi badan jalan yang tersisa.
Hanya dua meter ke arah selatan badan jalan yang amblas itu terdapat areal kuburan. Beberapa batu nisan kuburan tersebut tampak terguling dari tempat asalnya.
Sejumlah kuburan juga terpotong oleh garis longsoran. Namun, sejauh ini belum ada kerangka manusia yang tersembul atau terlihat dari luar.
Satu-satunya lokasi yang tak terdampak longsor di desa itu adalah areal sawah di sebelah utara desa. Nah, ke areal sawah itulah para korban longsor direlokasi sesuai dengan lokasi kepemilikan tanahnya.
Dengan demikian, rumah yang kini dibangun tidak berdekatan, melainkan terpencar secara sporadis, sesuai dengan lokasi tanah milik para korban longsor. (*)