Opini
Ujian Kaum Intelektual
Dalam semester terakhir, berbagai ujian menimpa kaum intelektual. Kaum ini mendapat tempat begitu baik dalam ruang sosial
Masalahnya adalah banyak dari kaum intelektual ini yang menggarap hati nuraninya untuk kepentingan lain –di luar tujuan-tujuan intelektual. Keadaan ini dipicu oleh terbukanya persandingan antara kaum intelektual dengan kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan (pemegang) uang.
Akhir-akhir ini semakin terang benderang terlihat suasana saling membutuhkan. Kaum intelektual membutuhkan kemapanan (biasanya dari kekuasaan politik) untuk kehidupannya agar tidak memperoleh kesulitan hidup. Kita bisa lihat sekeliling kita dengan bertambahnya tingkat kemapanan orang-orang yang diklaim sebagai intelektual.
Sebaliknya, kekuasaan yang memegang uang juga membutuhkan kaum intelektual dalam rangka memberi legitimasi atas berbagai kebijakannya. Sesampai di sini lahir pertanyaan, yang diharapkan yang mana sebenarnya?
Apakah intelektual yang mendekat kepada kekuasaan, ataukah kekuasaan yang mendekat kepada intelektual? Namun yang jelas keduanya ada nuansa saling butuh.
Namun tidak adil bila hubungan timbal balik itu berlangsung dalam suasana yang tidak setara. Suasana seperti ini seyogianya tidak diukur oleh mereka yang saling membutuhkan semata, namun juga pihak lain yang berkaitan dengan pihak-pihak yang di sekelilingnya. Pihak yang berhubungan langsung dengan kebijakan adalah orang banyak. Sebab segala kebijakan dari tangan mereka yang memiliki kuasa, berimbas kepada rakyat banyak.
Penekanan saya seperti itu penting untuk disampaikan. Bahwa tidak ada persoalan intelektual akan mendekat kepada kekuasaan, apalagi dengan keinginan untuk mempercepat melakukan perubahan. Namun bayangkan, bila perubahan yang ingin dipercepat itu bukan untuk perbaikan masyarakat, tapi melakukan pembodohan, manipulasi, menyokong ketidakbenaran, memperkuat kekuasaan korup, bahkan ikut serta dalam perilaku korup, dan sebagainya. Orang pandai sering digunakan untuk “meluruskan” ketidaklurusan kebijakan. Bila ini yang terjadi, maka sungguh akan ada yang dirugikan. Persandingan seperti itulah yang harus kita tolak. Bahwa orang-orang yang pandai, tidak boleh berdiri di belakang kepentingan yang tidak berpihak kepada perbaikan.
Kerapkali seorang intelektual, ketika sudah bergandeng mesra dengan kelompok yang berkepentingan itu, ia tidak bisa lagi mempertahankan kemurnian nuraninya. Kekuatan intelektual kemudian dipergunakan untuk kelompok itu, dengan tetap mengatakan bahwa segalanya berdasar nurani.
Selain itu bukan berarti tidak ada tantangan bagi yang berdiri bebas di luar kekuasaan. Masalah utamanya adalah berbagai kebutuhan yang semakin hari semakin banyak –di mana alasan inilah yang membuat banyak intelektual tergoda. Bukan masalah ringan dalam memalingkan wajah dari godaan tersebut. Jadi ini juga menjadi tantangan.
Artinya tetap ada dua pilihan, dengan demikian melahirkan dua konsekuensi. Dua pilihan itu, bisa saja akan mendapatkan konsekuensi yang tidak dibayangkan. Ada intelektual yang berada dalam lingkaran kekuasaan, tapi ia tetap menempuh jalannya.
Namun pilihan ini diyakini sangat jarang. Demikian juga dengan intelektual yang berdiri bebas di luar kekuasaan, bukan berarti tetap bisa mempertahankan hati nuraninya.
Sekali lagi, inilah dua jalan intelektual, tergantung kita akan memilih jalan yang mana, atau bahkan memilih dua-dua jalan sekaligus. Tentu dengan konsekuensi masing-masing. Apapun jalan yang kita pilih, tentu tidak boleh ada yang dirugikan–khususnya keberpihakan terhadap kebenaran dan rakyat kecil.
Saya yakin perilaku segelintir itu, pada akhirnya akan berimbas kepada komunitas yang lebih luas. Jika hari ini ada sedikit yang melakukan kesalahan dan moralitas yang buruk, maka suatu saat komunitas parameter moral ini akan ditinggalkan dengan segala dampaknya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/sulaiman-tripa-5_20150412_071847.jpg)