Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Bakongan: Sawit, Pemerintah Daerah, dan Inspirasi Revisi Teori Boeke (VII)
Tidak jarang program penanaman kelapa sawit yang digerakkan pemerintah hanya sebatas pra TBM yang hanya berlangsung dalam hitungan 1-2 tahun anggaran
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Program pemerintah pada umumnya lebih sering terfokus pada penanaman dengan penyediaan sarana produksi, yang seringkali bergelimang dengan berbagai penyalahgunaan, serta pengadaan bibit seringkali menjadi arena permainan kotor.
Indikator sukses program juga kerap berurusan dengan indikator “nomenklatur” sukses proyek.
Ini semua karena birokrasi sangat sering dipaksa menjadi alat pejabat publik untuk menjadi mesin uang dari berbagai proyek pembangunan pertanian, tak terkecuali kelapa sawit.
Tidak jarang program penanaman kelapa sawit yang digerakkan oleh pemerintah hanya sebatas pra TBM yang hanya berlangsung dalam hitungan 1-2 tahun anggaran, tanpa sebuah pandangan jauh ke depan.
Bahkan ada kasus penyediaan bibit dari pemerintah bukan hanya tidak membantu, tapi juga merusak.
Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)
Paling kurang banyak kawasan penerima bantuan pemerintah yang saat ini telah memasuki masa TM-tanaman menghasilkan-, 10 tahun terakhir adalah bibit yang sangat tidak berkualitas, korban dari persekongkolan pengusaha dan birokrat.
Cerita tentang ongkos angkut yang mahal karena jalan ke sentra produksi yang rusak, tentang pengetahuan petani yang rendah karena tidak ada penyuluh yang mendampinginya, tentang kesulitan mendapatkan modal berurusan dengan perbankan, karena tanahnya belum bersertifikat, adalah beberapa contoh struktural tentang ketertinggalan petani sawit kita.
Karena ketimpangan dan ketertinggalan struktural itu tudak tertangani dengan baik dari awal, sangat sukar membangun kepercayaan publik dan komunitas petani.
Tidak jarang karena kelalaian pemerintah daerah, terjadi sengketa lahan antara petani dengan perusahaan yang mendapatkan hak dari pemerintah.
Kalau saja ketimpangan struktural itu menjadi “momok” publik dalam melihat keberadaan pemerintah dan sektor sawit, bagaimana mungkin pula pemerintah mampu meyakinkan petani sawit untuk bergabung dalam koperasi.
Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (II)
Semua itu adalah realitas yang sangat menghambat untuk membuat petani sawit tidak tertinggal jauh dan bahkan menjadi entitas yang amat berbeda dari perusahaan.
Dan itu adalah kelemahan dan kesalahan struktural yang berkelanjutan yang terus dijalani oleh pemerintahan.
Ketika ada satu dua pejabat publik yang baik “terbawa” ke dalam pemerintahan, mereka menjadi orang yang sering “dibodohkan” oleh birokrat yang sudah terbiasa dengan realitas struktural itu.
Ketika ada satu dua birokrat “berintegritas” yang ingin meyakinkan pejabat publik untuk membongkar kelemahan struktural itu, tidak jarang mereka sekaligus “dibodohkan” dan “disingkirkan”.
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Rezim Transnasional Komoditi Sawit dan Reaganomics di Barsela (III)