Opini

Fir’aun dan Delusi Kekuasaan

FIR’AUN merupakan gelar yang disematkan kepada raja-raja Mesir di zaman kuno. Gelar ini populer di zaman modern karena disebut dalam kitab suci

Editor: bakri
FOR SERAMBINEWS.COM
ADNAN Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh 

OLEH ADNAN,  Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh

FIR’AUN merupakan gelar yang disematkan kepada raja-raja Mesir di zaman kuno. Gelar ini populer di zaman modern karena disebut dalam kitab suci, khususnya berhubungan dengan kisah perjuangan Nabi Musa as dalam membawa risalah di wilayah Mesir.

Fir’aun pada masa kenabian Musa as dikenal dengan nama Ramses II (1304 – 1237 SM). Ia digambarkan sebagai sosok yang sombong, angkuh, otoriter, menakutkan, dan zalim terhadap rakyatnya (bani Israil), bahkan tak segan memproklamirkan diri sebagai Tuhan (Qs. An-Nazi’at: 24).

Dalam psikologi modern, Fir’aun merupakan sosok yang mengidap penyakit mental berupa delusi atau waham kebesaran, sehingga ia melakukan berbagai tindakan represif tanpa ampun agar rakyat tunduk kepadanya. Secara umum, delusi atau waham kebesaran ini dapat diartikan dengan suatu keyakinan akan kekuasaan (of power), kecerdasan (of intelligence), jaringan (networking), dan popularitas diri (image self) yang melambung tinggi.

Keyakinan irasional ini selalu menghantui dirinya, layaknya halusinasi bagi pengidap sakit jiwa (skizofrenia). Maka para ahli sering memasukkan delusi ini ke dalam penciri pengidap sakit kejiwaan. Bahkan, kadang tanpa sadar haus akan pengakuan terhadap keyakinan ini sering disebut-disebut di depan pihak lain, hingga memicu mimpi buruk. Padahal, realitas sosial menunjukkan banyak orang yang menolak anggapannya itu.

Maka untuk mendapatkan pengakuan terhadap keyakinan irasional ini, ia melakukan berbagai tindakan tercela dan bahkan melanggar kesepakatan kolektif, bertujuan untuk mendapatkan pengakuan akan keyakinannya itu. Delusi ini dapat mengidap pada siapa saja tanpa kenal profesi, status sosial, usia, pangkat dan jabatan, dan harta benda. Artinya, ketika seseorang telah merasa dirinya ‘paling berkuasa’, ‘paling pintar’, ‘paling senior’, ‘paling hebat’, ‘paling suci’, dan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh pengakuan atas keyakinan itu, maka ini indikasi sedang mengidap delusi atau waham kebesaran dan haus kekuasaan.

Sosok seperti ini tidak lagi punya kepekaan memiliki dan kolektivitas (sense of belonging), kepekaan sosial (social sense), dan kepekaan terhadap masalah (sense of crisis). Ia hanya berpikir tentang kemampuan pertahanan dirinya (self of defense) untuk melanggengkan kekuasaannya tanpa diganggu oleh pihak lain yang dianggap lawan. Dalam istilah William Graham Sumner (1910 - 1840) disebut dengan kelompok ‘kita’ (in-group) dan ‘mereka’ (out-group). Semena-mena Realitas inilah yang terjadi pada diri Fir’aun.

Ia merasa dirinya memiliki kekuasaan penuh terhadap rakyatnya dan tidak ada satu pun orang yang dapat menggantikannya. Ia bertindak semena-mena tanpa pernah berpikir keputusan itu menzalimi rakyatnya, demi mencapai keyakinan irasionalnya sebagai rajadiraja. Bani Israil yang tidak mengikutinya akan dipenjara dan dibunuh olehnya (Qs. Asy-Syu’ara: 29).

Tanpa sadar, delusi itu masuk ke dalam alam bawah sadar hingga memicu mimpi buruk, ahli nujum pada masa itu menafsirkan akan kedatangan sosok lelaki yang akan menggantikan kekuasaannya. Tanpa pikir panjang untuk melanggengkan kekuasaannya, ia memerintahkan algojo supaya membunuh bayi laki-laki di kalangan bani Israil, sebagai tindakan represif tanpa ampun untuk mencegah lahirnya sosok laki-laki yang akan memporak-porandakan dan menghancurkan tahta dan kekuasaannya (Qs. Al-Baqarah: 49, dan Qs. Al-Qashash: 4). Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain kepada ibunya Nabi Musa as.

Ia diberikan ilham untuk menghanyutkan Musa as kecil ke Sungai Nil (Qs. Al-Qashash: 7). Singkat kisah, Musa as kecil diambil oleh isteri Fir’aun dan dibesarkan di dalam istananya. Rupanya sosok yang ditakuti oleh Fir’aun, tanpa ia sadari berada di dalam istananya (Qs. Al-Qashash: 8-13). Hingga di kala dewasa, Musa as diangkat sebagai rasul yang bertugas untuk membebaskan bani Israil dari kekejaman Fir’aun, dan menyuruh Fir’aun untuk menyembah Allah Swt. Tapi, waham kebesaran dan delusi kekuasaan yang telah melekat pada dirinya, ia menolak ajakan dan seruan untuk mengikuti risalah kenabian Musa as dan enggan menyembah Allah SWT hingga ditenggelamkan dalam laut merah (Qs. Al- Baqarah: 50).

Artinya, seseorang yang memiliki waham kebesaran dan delusi kekuasaan jika menjadi pemimpin atau penguasa, ia akan bertindak semena-mena untuk melanggengkan dan mendapatkan pengakuan terhadap tahta dan kekuasaannya. Akan tetapi, jika ia tidak menjadi pemimpin atau penguasa, maka akan muncul pada dirinya sikap cemas, frustasi, depresi, bahkan bunuh diri, disebabkan tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang keyakinan irasionalnya. Sebab itu, kisah Fir’aun dan Nabi Musa as diulang-ulang dalam Alquran sebagai catatan reflektif bagi manusia beriman di masa modern ini. Tiga serangkai Di sisi lain, Fir’aun juga memiliki pembantu yang hebat sebagai penyokong kekuasaannya, yakni Haman dan Qarun.

Haman dalam Alquran diulang sebanyak 6 kali, Qarun disebut sebanyak 4 kali, sedangkan Fir’aun sendiri diulang sebanyak 74 kali. Mereka menjadi tiga serangkai dalam menolak kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa as dan saudaranya, Nabi Harun as. Haman merupakan sosok yang cerdas dan pintar, ia dipercaya sebagai tenaga ahli (pemberi fatwa/ pertimbangan) terhadap berbagai keputusan Fir’aun. Berbagai keputusan diambil untuk menyenangkan hati dan melanggengkan kekuasaan Fir’aun agar mendapatkan apresiasi (reward) dan langgeng dalam jabatannya.

Sedangkan Qarun sebagai sosok yang kaya raya diangkat sebagai bendahara raja. Di zaman modern, Fir’aun menjadi simbol pemimpin atau penguasa mati rasa, zalim, otoriter, tidak memiliki kepekaan terhadap rakyat. Ia akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya, baik keinginan perut (syahwiyah al-bathnih), keinginan ego/marah ) maupun keinginan berkuasa (syahwilyah –al-mulkiyah).

Haman merupakan simbol intelektual/akademisi/ilmuan penjilat, mati rasio, tuna moral, dan haus kekuasaan. Sebuah karakter keingkaran terhadap nilai-nilai (values) dan filosofi keilmuan itu sendiri. Mestinya, ilmu dapat memapah seseorang menjadi pribadi yang harmonis secara teologis, sosiologis, dan kosmologis, sehingga adanya keseimbangan dalam menjalani kehidupan.

Sedangkan Qarun sebagai simbol orang kaya yang menyokong kekuasaan demi langgengnya kekayaan. Ia berusaha sekuat tenaga sebagai penyuplai dana/biaya untuk merebut dan mempertahankan posisi orang-orang tertentu, dengan tujuan agar mendapatkan posisi strategis atau ‘proyek basah’ selama berkuasa untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, meski dengan cara yang melanggar konstitusi negara dan aturan agama.

Realitas politik menunjukkan bahwa banyak pengusaha ala Qarun yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri dan golongan. Mestinya, kekuasaan adalah jalan pengabdian bukan delusi, jalan menguatkan yang lemah bukan untuk mempertahan ego pribadi, dan jalan untuk beribadah bukan untuk memperkaya diri. Semoga!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved