Luar Negeri
Dulu Haramkan Internet, Kini Taliban Manfaatkan Media Sosial untuk Sebar Propaganda
Sejumlah cuitan saat itu menyebarkan kemenangan-kemenangan terkini Taliban sambil menyertakan beberapa tagar.
Cuitan pertama Mujahid langsung diblokir Twitter.
Namun pada akunnya yang baru, aktif sejak 2017, memiliki lebih dari 317.000 pengikut.
Di bawah pengawasan Mujahid ada satu tim relawan yang khusus mempromosikan idelogi Taliban secara daring.
Kepala tim itu, yang juga direktur media sosial IEA, adalah Qari Saeed Khosty.
Kepada BBC, Khosty mengungkapkan bahwa timnya memiliki grup-grup tersendiri yang terfokus pada Twitter yang mengupayakan tagar Taliban jadi tren dan penyebarluasan pesan lewat WhatsApp dan Facebook.
"Musuh-musuh kami punya televisi, radio, dan akun-akun terverifikasi di media sosial, sedangkan kami tidak punya. Namun kami tetap berjuang lewat Twitter dan Facebook dan bisa mengalahkan mereka," kata Khosty.
Tugasnya adalah, lanjut dia, membawa mereka yang sudah bergabung ke Taliban karena ideologinya ke platform media sosial sehingga mereka bisa memperkuat pesan Taliban.
Baca juga: Kisah Guru Afghanistan Terancam Dibunuh Taliban, Bersumpah Terus Mengajar Meski Nyawa Taruhannya
Baca juga: Tujuan Mulia AS di Afghanistan Gagal, Uang Miliaran Dolar Tidak Mampu Cegah Taliban Berkuasa
Lebih terfokus ke Twitter
Ada sekitar 8,6 juta pengguna internet di Afghanistan dan tiadanya jaringan dan layanan data yang terjangkau masih menjadi kendala utama.
Khosty mengatakan tim medsos IEA memberi insentif 1.000 Afghani (sekitar Rp164.000) per bulan untuk paket data kepada para anggota tim untuk "berjuang di medan perang online".
Dia mengklaim bahwa IEA punya empat studio lengkap dengan perangkat multimedia yang digunakan untuk meningkatkan pencitraan lewat audio, video, dan digital.
Hasilnya adalah video-video propaganda berkualitas tinggi yang menyanjung para petempur Taliban berikut peperangan mereka atas pasukan asing dan pemerintah, yang tersebar luas di akun YouTube mereka dan laman Al-Emarah.
Kelompok itu mempublikasikan konten secara gratis di Twitter dan YouTube, namun Facebook telah mencap Taliban sebagai "organisasi berbahaya" dan secara rutin menghapus akun dan laman yang dikaitkan dengan kelompok tersebut.
Facebook mengatakan akan terus melarang konten Taliban di platformnya.
Kepada BBC, Khosty mengaku bahwa Taliban sulit untuk menyebarkan publikasi mereka di Facebook, sehingga terfokus ke Twitter.