Jurnalisme Warga
Surat Terbuka dari Seorang Dokter Paru
Face shield dan masker yang saya pakai membuat suasana makin sunyi senyap. Kulit terasa panas, peluh mengalir deras, mulut mulai terasa kering

Oleh Dr. dr. BUDI YANTI, Sp.P Dokter Spesialis Paru dan Dosen FK USK, melaporkan dari Banda Aceh
Saya masuk ke ruang Pinere di sebuah rumah sakit.
Face shield dan masker yang saya pakai membuat suasana makin sunyi senyap.
Kulit terasa panas, peluh mengalir deras, mulut mulai terasa kering.
Tapi penderitaan saya tak sebanding dengan penderitaan para pasien yang bernapas dengan terengah-engah.
Alat oksigenasi berkantong dengan karet yang ketat melingkar di kepala mereka, membantu mereka untuk terus berjuang bertahan hidup.
Suara napas mereka membuat bulu roma berdiri, mengingatkan saya pada deburan ombak tsunami yang menghantam pagar rumah 17 tahun silam.
Para pasien tanpa riwayat vaksin ini juga sedang menghadapi badai yang sangat besar.
Sambil memeriksa, saya coba berdialog.
Tentu berdialog dengan diri sendiri, karena mereka tidaklah sadar.
Saya bertanya-tanya: Mengapa Anda bisa sampai di sini? Mengapa bisa separah ini? Mengapa Anda menghindar dari vaksin? Atau Anda merasa tak akan pernah sakit? Oksigen konsentrasi tinggi kami alirkan ke paru Anda.
Pasti rasanya tak nyaman.
Tapi kami terpaksa membantu Anda dengan berbagai pipa karena udara biasa tidak lagi mampu melewati pita suara Anda.
Walau sakit, Anda hanya bisa pasrah dan berharap diberi seribu nyawa lagi.
Dan setelah berbulan-bulan, mungkin warga kota ini akan bosan mendengar cerita yang begini begini saja dari kami, para tenaga kesehatan.
Penderitaan Anda yang sangat perih akan dilupakan orang.
Kadang saya bertanya, apakah Anda hanya korban dari informasi yang salah atau berita bohong di luar sana?
Saya ingin teriak sekuatnya kepada semua penyebar berita bohong itu, “Ini akibat perbuatan kalian!”
Tapi saya terlalu lelah untuk berteriak, setelah bekerja lebih dari setahun dalam pandemi ini.
Terlalu sering saya menghadapi orang-orang yang selalu saja merasa benar sendiri.
Mereka tak mau mendengarkan dokter, tak mau menerima fakta di sekitarnya, tak mau menggunakan akal logika pengetahuan.
Akibatnya, kini saya merasa sama dengan pasien saya: lemah tak berdaya.
Sisi lain dari perang ini di balik ketidakberdayaan, Anda tetaplah misteri menarik bagi saya.
Walau usia, pekerjaan, maupun histori penyakit Anda sudah ada pada rekam medik, saya tetap ingin mengenal Anda dari sisi lain.
Ingin tahu sesuatu di balik mata lemah Anda yang begitu mendung.
Pernah saya lihat sosok Anda dalam foto keluarga yang dibawa anak Anda.
Di sana Anda tampak penuh harapan dan cita.
Anda tampak sangat dicintai, dipeluk hangat oleh anak Anda.
Tapi mengapa Anda menolak vaksin? Bukankah Anda mencintai keluarga Anda, dan keluarga adalah hal yang penting di dunia?
Pernah saya bertanya pada anak Anda, “Kenapa ayahmu dulu tidak ikut vaksinasi?” Saya sedih melihat dia yang masih terlalu muda jika kehilangan ayahnya.
Lebih pahit lagi, ternyata ibunya telah lama mendahului.
Bagaimana hidup anak Anda nanti, jika ia harus tinggal sebatang kara?
Mungkin saya tidak perlu menanyainya, tapi rasa penasaran saya tak bisa ditahan.
Sejenak saat saya bertanya, bulir panas deras mengalir dari matanya.
Anak Anda terdiam sejenak, lalu menghela napas.
Dia katakan bahwa dia sudah berkali-kali memohon Anda untuk segera divaksinasi.
Tapi Anda bersikeras menolaknya.
Sekarang dia sungguh menyesal, seharusnya dia dulu memaksa dan mendorong Anda untuk pergi ke tempat vaksinasi.
Penyesalannya sangat dalam, tapi kini sudah tak akan berguna lagi.
Memang tidak ikut vaksinasi adalah keputusan Anda, kemauan sendiri, tidak ada yang mengancam.
Tapi saya ingin sekali tahu, apakah penolakan itu sebanding dengan kondisi parah yang terjadi sekarang?
Seorang ayah yang menderita penyakit sangat berat, anak yang sudah kehilangan ibunya dan mungkin beberapa hari lagi akan kehilangan ayah selamanya.
Saya pikir, ini sangat tidak adil.
Anak Anda menangis sepanjang waktu saat saya berbicara dengannya di telepon.
Tangisnya pilu. Saya mungkin akan sangat sulit melupakan kejadian ini.
Saya selalu menganggap bahwa diri saya adalah pribadi yang kuat.
Karena bila tidak, mungkin saya tidak akan sanggup menjalani profesi ini.
Tapi menghadapi kondisi pasien seperti Anda membuat saya menangis, tak bisa menahan air mata.
Anak Anda memohon pada saya agar berjanji mengupayakan agar Anda tetap hidup.
Saya bilang bahwa itu sangat sulit.
Sebagai dokter yang terlatih dengan kondisi berat nan payah ini, saya tak boleh menawarkan harapan semanis apa pun pada Anda dan keluarga.
Tapi melihat air mata yang mengalir deras dari anak remaja yang masih butuh kasih sayang ayahnya, saya tak sanggup menolak.
Walau bergetar, bibir saya bergerak dan saya katakan padanya,
“Saya berjanji akan berusaha keras, Dik.”
Saya bekerja siang malam. Tapi, para penipu di media sosial juga demikian.
Mereka memengaruhi orang-orang baik dan mempertaruhkan segalanya hanya berdasarkan pada kata-kata bohong dan bodoh.
Marah bukanlah kata yang tepat untuk apa yang saya rasakan.
Justru stres dan frustrasi begitu mendera saya.
Tapi kekuatan datang saat saya melihat Tinsyah, perawat di ruang pinere.
Dia merawat pasien di ruang itu dengan sangat baik.
Mulai dari perawatan sehari-hari hingga mengajak pasien senam pernapasan secara pasif.
Bukan demi bayaran yang besar, ucapan terima kasih, atau penghargaan di media sosial.
Dia kerjakan semuanya ikhlas agar seluruh pasien dapat segera membaik dan bisa pulang ke rumah.
Tapi saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia bisa bekerja ikhlas seperti itu?
Tiada ucapan terima kasih untuk kami pekerja di garis depan.
Yang ada hanya ejekan, hasutan, dan cacian dari para penyebar kebohongan yang menyapa kami di dunia nyata ataupun yang berseliweran di media sosial.
“Orang Aceh sudah tidak ada lagi urusan dengan dengan Covid. Bagi kami, Covid tidak ada. Aceh kebal Covid- 19,” kata mereka.
Kekuatan plus keistikamahan juga menghampiri hati saya saat melihat Karolia, sang terapis pernapasan.
Perempuan berhijab itu menghabiskan waktunya melatih pernapasan pasien yang mulai membaik.
Sungguh tak mudah menghadapi para pasien dengan berbagai tingkah.
Tapi Karolia adalah orang paling berempati yang saya kenal.
Merasakan ketabahan teman-teman saya itu, saya merasa lebih kuat, tak goyah ataupun lemah.
Walau pandemi sudah berjalan lebih dari 16 bulan, deru empati kami masih sama seperti dulu.
Meskipun kami difitnah meraup rupiah dari penyakit menular ini, kami tetap bekerja dengan setulus mungkin untuk pasien-pasien yang kami rawat.
Di malam sunyi sering saya bisikkan doa pada Allah Yang Mahakuasa, pemilik tubuh manusia.
Mohon bantu saya menepati janji pada anak-anak pasien saya.
Meskipun saya sulit untuk bisa memahami dan merasionalisasi keraguan dan penolakan Anda tentang vaksinasi, Anda akan tetap mendapatkan terapi yang terbaik dari seluruh tenaga kesehatan di sini.
Saat saya melihat tubuh Anda yang terbaring lemah, payah tak berdaya, saya tak melihat ada keinginan politis di sana.
Saya melihat seseorang yang membutuhkan bantuan saya.
Itulah alasan kami semua, para tenaga kesehatan, melakukan pekerjaan mulia ini.
Alangkah indahnya jika kita bersama-sama saling bantu, seperti yang diperintahkan Allah Swt, “Saling bertolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan saling menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Sumber: Website PRISB USK