Berita Aceh Tamiang

Kisruh Perbatasan, Dua Warga Tenggulun Aceh Tamiang Ditangkap Polisi Sumut, Dijemput ke Rumah

Keduanya, Indra dan Edi ditangkap saat berada di rumah dan dilaporkan langsung dibawa ke Sumatera Utara.

Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Mursal Ismail
SERAMBINEWS.COM/RAHMAD WIGUNA
Asisten Pemerintahan Setdakab Aceh Tamiang, Amiruddin (kanan) bersama dengan Datok Penghulu Tenggulun, Abidin dalam rapat kerja pembahasan eksekusi lahan oleh PN Stabat, Selasa (30/3/2021). 

Keduanya, Indra dan Edi ditangkap saat berada di rumah dan dilaporkan langsung dibawa ke Sumatera Utara.

Laporan Rahmad Wiguna | Aceh Tamiang

SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG - Polisi dari Sumatera Utara atau Sumut dilaporkan menjemput paksa dua warga Aceh Tamiang dari kediamannya di Kampung Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang.

Penjemputan ini dilakukan, Senin (11/10/2021) sore.

Keduanya, Indra dan Edi ditangkap saat berada di rumah dan dilaporkan langsung dibawa ke Sumatera Utara.

“Iya, ada dua warga saya ditangkap di rumahnya. Infonya dari (polisi) dari Sumatera Utara,” kata Datok Penghulu Kampung Tenggulun, Abidin.

Abidin mengaku belum mengetahui alasan penangkapan itu karena dirinya sedang berada di Kota Kualasimpang ketika petugas mendatangi rumah Indra dan Edi.

Baca juga: Komisi I DPRA Dijadwalkan Tinjau Perbatasan Aceh-Sumut di Aceh Singkil

“Katanya terkait perbatasan, ini yang belum jelas, persoalannya di mana,” kata dia.

Abidin menduga penangkapan ini berkaitan dengan aksi pengusiran masyarakat Tenggulun terhadap penggarap yang berasal dari Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.

Lahan itu sendiri diakui Abidin masih simpang siur karena belum ada ketegasan dari Pemerintah Aceh atas putusan PN Stabat yang mengabulkan eksekusi yang diajukan Bukhari, warga Sumatera Utara.

Abidin pun berharap tindakan cepat dan tegas dari pemerintah untuk menegakkan Permendagari 28/2020 untuk mengakhiri polemik kepemilikan tanah itu.

“Kalau bukan patuh terhadap Permendagri, jadi harus patuh sama apalagi kita. Ini sama saja mengangkangi peraturan pemerintah,” ungkapnya.

Baca juga: Tak Miliki Sertifikat Vaksin, Satgas PPKM Perintah Putar Balik 53 Kendaraan di Perbatasan Aceh-Sumut

Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar sempat mengeluarkan pernyataan memberi waktu selambatnya tiga bulan untuk Pemerintah Aceh menyelesaikan kasus pencaplokan sebagian kawasan Tenggulun, Aceh Tamiang oleh seorang warga Sumatera Utara.

Limit waktu ini diberikan agar masyarakat Aceh yang telah menggarap lahan di kawasan itu memiliki kepastian hukum dan menghindari terjadinya bentrokan.

“Dan yang terpenting jangan sampai ada nyawa melayang, karena saya dapat informasi ternyata tahun lalu sudah ada yang bacok-bacokan,” kata Wali Nanggroe melalui staf khususnya, Abu Razak ketika meninjau lokasi sengketa pada 1 Juli 2021.

Dia mengakui banyak kejanggalan ditemukannya, misalnya plang klaim pemilikan atas nama Bukhari yang mendapat restu dari PN Stabat untuk menguasai lahan seluas 1.100 hektare.

“Pertanyaannya, apa memang dibenarkan di republik ini atas nama pribadi memiliki lahan seluas itu. Saya rasa BPN di Langkat terlalu berani mengeluarkan kebijakan ini,” kata dia.

Sejumlah tokoh masyarakat Tenggulun yang ditemuinya menceritakan kawasan itu sudah sejak lama digarap oleh masyarakat, namun tidak pernah diberi izin karena alasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Baca juga: Konflik Perbatasan India vs China Berujung Bentrokan, Seberapa Kuat Militer Kedua Negara?

“Tiba-tiba ada satu warga Sumatera Utara diberi izin memiliki tanah 11 ribu hektera dan membuat 300 masyarakat lokal yang sudah lebih dahulu membuka lahan terusir dan dilarang masuk ke lokasi,” ungkapnya.

Dia menambahkan persoalan ini telah merusak komitmen Wali Nanggore Malik Mahmud AL Haytar dan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi untuk menyelesaikan tapal batas merujuk MoU Helsinki 1 Juli 1956.

“Wali Naggroe dan Gubernur Sumatera Utara sudah bertemu karena belum jelas titik perbatasan, belum lagi ada pembahasan tiba-tiba kok muncul berita Tenggulun,” ujarnya.

Abu Razak mengatakan seluruh temuan ini telah dilaporkannya ke Wali Nanggroe untuk dibahas bersama Gubernur Aceh, BPN Aceh dan sejumlah pihak yang berkompeten dalam persoalan ini.

Menurutnya persoalan ini harus menjadi prioritas pemerintah untuk segera diselesaikan selambatnya tiga bulan.

“Dua atau tiga bulan ini harus selesai, tidak mungkin bertele-tele. Harus ada keputusan tegas apakah miliki kita atau milik orang itu (Langkat),” tegasnya.

Namun ketika dikonfirmai ulang pada pekan lalu, Abu Razak menyatakan persoalan ini merupakan ranah Pemkab Aceh Tamiang. “Sudah dibahas di level provinsi, dan ini harus ada sikap dulu dari kabupaten,” ungkapnya.

Tim Forkopimda Aceh Tamiang sebelumnya telah melakukan survei dan tracking di kawasan yang telah dieksekusi PN Stabat pada Selasa (6/4/2021).

Asisten Pemerintahan Setdakab Aceh Tamiang Amiruddin ketika itu menjelaskan survei dan tracking ini untuk memastikan objek eksekusi PN Stabat masih berada di wilayah administratif sesuai Permendagri 28/2020.

“Dan setelah kita ambil tiga sampel titik koordinat, objek eksekusi masih berada di wilayah administratif Aceh Tamiang,” kata Amiruddin.

Proses pengambilan sampel pada titik pertama dan kedua dilalui tanpa hambatan. Hasil koordinat yang dihasilkan memastikan kawasan itu berada di wilayah administratif Aceh Tamiang. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved