Linguistik
Peneliti Temukan Asal-usul Bahasa Jepang, Korea, Turki Hingga Mongolia
Ilmu sejarah manusia menunjukkan bahwa sejarah semua bahasa, budaya, dan masyarakat adalah salah satu dari interaksi dan campuran yang diperluas.
SERAMBINEWS.COM - Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa berbagai bahasa modern, mulai dari bahasa Jepang dan Korea hingga bahasa Turki dan Mongolia, memiliki asal-usul yang sama. Tim peneliti meyakini semua bahasa itu berasal dari Tiongkok kuno sekitar 9.000 tahun yang lalu.
Tim peneliti internasional dalam studi baru ini mengatakan bahwa bahasa-bahasa dari keluarga Transeurasia, yang juga dikenal sebagai rumpun bahasa Altai, dapat ditelusuri kembali ke para petani millet awal di lembah Liao dan penyebarannya didorong oleh pertanian. Lembah ini sekarang menjadi bagian dari wilayah timur laut Tiongkok.
Asal-usul dan sejauh mana keterkaitan lima kelompok bahasa yang membentuk keluarga bahasa ini telah lama menjadi perdebatan di antara para ilmuwan. Namun tim dalam studi baru ini mengatakan bahwa studi mereka "telah menunjukkan inti bukti yang dapat diandalkan" yang mendukung teori bahwa bahasa-bahasa itu muncul dari nenek moyang yang sama.
Berdasarkan bukti genetik dan arkeologi serta analisis linguistik, para peneliti mengatakan bahwa bahasa-bahasa itu menyebar ke utara dan barat ke Siberia dan wilayah stepa, dan ke timur ke Korea dan Jepang saat para petani itu bergerak melintasi Asia timur laut.
Hasil studi ini seolah menentang "hipotesis pastoralis" tradisional yang mengusulkan penyebaran bahasa-bahasa dipimpin oleh para pengembara saat mereka bermigrasi jauh dari stepa timur.
Namun menurut studi ini, rumpun bahasa Sinitik—yang mencakup bentuk bahasa Tiongkok modern seperti Mandarin dan Kanton—memiliki asal usul yang berbeda.
"Menerima bahwa akar bahasa seseorang—dan sampai batas tertentu budaya seseorang—berada di luar batas-batas nasional saat ini bisa memerlukan semacam reorientasi identitas, dan ini tidak selalu merupakan langkah mudah bagi orang-orang untuk mengambilnya," ujar Martine Robbeets, ahli bahasa komparatif yang penjadi peneliti utama dalam studi ini, seperti dilansir South China Morning Post.
"Namun ilmu sejarah manusia menunjukkan kepada kita bahwa sejarah semua bahasa, budaya, dan masyarakat adalah salah satu dari interaksi dan campuran yang diperluas," kata pemimpin kelompok penelitian arkeolinguistik di Max Planck Institute for the Science of Human History di Jerman.
Baca juga: Kisah Kapal Hantu Bajak Laut Flying Dutchman yang Tak Pernah Bisa Berlabuh
Baca juga: Hasil Indonesia Open 2021 – Greysia/Apriyani Kunci Tiket Final usai Tumbangkan Unggulan Ketiga
Para peneliti dari Inggris, Tiongkok, Republik Ceko, Prancis, Jerman, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, Belanda, dan Amerika Serikat telah memublikasikan temuan mereka ini di jurnal Nature pada pekan ini.
"Keterkaitan linguistik dari bahasa Transeurasia—juga dikenal sebagai 'Altai'—adalah salah satu masalah yang paling diperdebatkan dalam prasejarah linguistik," kata tim peneliti, mengacu pada keluarga bahasa yang tersebar di seluruh Eurasia, dari Jepang, Korea, dan Siberia di timur hingga Turki di barat.
Studi baru ini menyimpulkan bahwa rumpun bahasa Transeurasia memiliki nenek moyang yang sama yang "telah tertutupi oleh interaksi budaya yang luas sejak Zaman Perunggu."
Para peneliti mengatakan kumpulan data yang mewakili lebih dari 250 konsep kosakata dalam 98 bahasa menunjukkan akar rumpun bahasa itu mencapai 9.181 tahun yang lalu bagi para petani millet yang tinggal di wilayah Sungai Liao Barat.
Tim peneliti mengatakan inti kecil dari kata-kata warisan yang berkaitan dengan budi daya tanah, seperti "ladang", "tabur", "tanaman", dan "tumbuh", serta penyebutan millet tetapi bukan padi atau tanaman lain, mendukung hipotesis mereka.
Sementara itu, hasil analisis arkeologi tim peneliti pada cekungan Liao Barat, mengungkapkan bahwa tempat pertanian millet broomcorn yang ada di sana mulai beroperasi sekitar 9.000 tahun yang lalu.
Analisis lebih lanjut menemukan hubungan antara situs Zaman Perunggu di daerah Liao Barat dan situs Mumun di Korea dan situs Yayoi di Jepang, menunjukkan bahwa pertanian padi dan gandum telah diperkenalkan ke daerah Liaodong-Shandong sebelum menyebar ke semenanjung Korea di awal Zaman Perunggu dan dari sana ke Jepang sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Baca juga: MK Putuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Rafli: Kesempatan Penyesuaian dengan UUPA
Baca juga: Rahasia Dominasi Pelaut VOC Belanda Terungkap Melalui Penelitian Bangkai Kapal Batavia