Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati dan Denda Rp12,6 Triliun, Kuasa Hukum Sebut Berlebihan

Heru mendapat keuntungan tak sah dari pengelolaan saham PT ASABRI sekitar Rp12,6 triliun, keuntungan itu kemudian disamarkan oleh Heru dengan membeli

Editor: Faisal Zamzami
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Terdakwa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat (kanan) mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/9/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan dua orang saksi ahli yakni Dosen STIE Indonesia Banking School Batara Maju Simatupang dan Konsultan dan Trainer Perbankan, Manajemen dan Investasi M Kodrat Muis yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung. 

Kemudian Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT ASABRI periode 2012-2015 Bachtiar Effendi, Direktur Investasi dan Keuangan PT ASABRI periode 2013-2019 Hari Setianto, Presiden Direktur PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi.

Tanggapan Kuasa Hukum

Kresna Hutauruk, kuasa hukum terdakwa kasus korupsi PT Asabri Heru Hidayat, merespons tuntutan hukuman mati yang dijatuhkan jaksa kepada kliennya.

Diketahui dalam perkara yang disebut merugikan negara senilai Rp 22,7 tirliun ini, Heru Hidayat yang merupakan Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) dituntut hukuman mati.

Kresna menyatakan tuntutan hukum yang dijatuhkan kepada kliennya itu sangat berlebihan dan menyimpang.

"Ya tentunya tadi semua sudah dengar kan tuntutan dari jaksa terhadap Heru Widayat tuntutannya sangat fantastis, menuntut mati, yang menurut kami itu tuntutan yang sangat berlebihan dan menyimpang," kata Kresna kepada awak media usai persidangan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat yang dikutip Tribunnews.com, Selasa (7/12/2021).

Adapun maksud tuntutan hukuman menyimpang, kata dia, karena kliennya itu dituntut tidak selayaknya dengan dakwaan jaksa penuntut umum.

Dimana  tuntutan hukuman mati tersebut diatur dan tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan dalam dakwaan jaksa, lanjut dia, Heru didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

"Tuntutan Mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan, sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat (2), sedangkan dalam Dakwaan Bapak Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat(2) UU Tipikor dalam Dakwaannya," ucap Kresna.

  "Jaksa menuntut menyatakan Bapak Heru Hidayat bersalah di pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tindak pidana korupsi di mana pasal 2 ayat 2 nya? di dakwaan tidak ada tadi juga dinyatakan bersalah di pasal 2 ayat 1 jok tiba-tiba dituntutnya mati, ini yang kami katakan menyimpang kenapa menuntut di luar dakwaan? Itu pendapat kami," sambungnya.

Tak hanya itu, Kresna juga menanyakan terkait dengan pengulangan kasus yang menjerat kliennya itu.

Sebagai informasi, Heru juga merupakan terpidana hukuman seumur hidup dalam perkara korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.

Kasus pengulangan itu yang membuat jaksa menjatuhkan hukuman mati tanpa keringanan kepada Heru Hidayat.

Dimana kata Kresna, kondisi tempus perkara kedua kasus itu tidak secara pengulangan, melainkan dilakukan dalam kurun waktu dan proses hukum yang juga sedang berjalan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved